Jumat, 21 Desember 2007

BAGAIMANA CARA BERBICARA DENGAN TUHAN ?

Ketika masih kecil, saya berpikir bahwa nenek adalah Tuhan. Di sekolah minggu, para guru memberitahu bahwa Tuhan itu sangat tua, lebih tua dari seluruh bumi, dan nenek adalah orang paling tua yang saya tahu. Nenek biasanya duduk di kursi kulit warna kuning yang sudah pudar di pojok ruangan dan mengamati para tamu yang menemuinya. Sedangkan saya duduk di lantai di depannya dan menduga-duga apa yang nenek pikirkan di atas singgasananya. Para pengajar berkata bahwa tidak ada yang tahu seperti apa Tuhan, tetapi menurut saya itu karena mereka belum pernah bertemu nenek saya. Tuhan mempunyai rambut putih dan ditata dengan gulungan krul setiap selasa jam 9 pagi, dan memakai kacamata tebal yang membuat matanya yang maha tahu memandang jelas pada semua orang. Juga punya pipi sangat lembut yang selalu ingin saya cium saat memeluknya. Tuhan selalu memakai baju panjang lengkap, dan juga memakai sepatu ortopedi. Mungkin sudah dipakainya saat melintasi gurun pasir bersama dua belas suku Israel. Dia berjalan dengan memakai tongkat, yang saya pikir tongkat itu dipakai Musa untuk dirubah menjadi ular dan memakan semua ular firaun. Semua itu adalah gambaran penampilan nenek. Tidak ada seorang pun yang berdebat dengannya, karena nenek selalu benar. Rabbi di sekolah minggu mengajarkan bahwa Tuhan itu bijaksana dan tahu segala sesuatu, dan Tuhan dihormati manusia di seluruh dunia karena kebijaksanaanNya. Ya, nenek tahu segala sesuatu dan kenal semua orang, bahkan tahu rumus matematika, dan semua keluarga datang hanya untuk mendengarkan nasihatnya. Dia tahu apa yang menjadi masalah dalam pernikahan dan menjawab semua pertanyaan yang sulit. Tidak ada yang sepintar nenek. Mereka berkata bahwa Tuhan menciptakan segala seusuatu cukup dengan memikirkannya. Ya, tiap saat kami mengunjungi nenek, perut saya selalu lapar akan pai blue berry dan roti daging buatan nenek yang sangat terkenal. Saat mobil mulai masuk ke jalan tol, saya selalu berharap ada roti daging dan pai blue berry di rumah nenek. Apakah anda tahu apa yang pertama kali dikatakan nenek ketika saya memeluknya, "Roti daging dan pai blue berry-mu ada di atas meja. Cepat dimakan saat masih panas." Saya segera mencari, dan menemukan ada di atas meja tepat seperti yang dikatakan nenek! Bagaimana nenek bisa tahu? Di dalam pikiran seorang anak seperti saya, tidak ada keraguan; bahwa nenek pasti adalah Tuhan. Saat saya bertambah besar, saya mulai menghormati nenek sebagai seorang manusia dan dibandingkan sebagai Tuhan. Dia adalah wanita Selatan murni yang menjadi salah seorang pendiri sinagoga. Dia adalah pilar dari komunitas kami, dan semua orang mengenalnya. Kami pergi kebaktian di hari Jumat malam, dan dia selalu berjalan dengan martabat yang tinggi menuju kursinya di deretan tempat duduk deretan ketiga. Kami mengikutinya berjalan ke tengah jemaah, dimana semua orang akan bangkit berdiri untuk menyapanya. "Selamat hari Sabat, bu Aaron!" "Apa kabar, bu Aaron?" "Senang bisa melihat keluarga anda datang bersama, bu Aaron!" Nenek akan menganggukkan kepalanya dan menyapa satu-persatu nama mereka. Dia adalah anggota tertua dari majelis, dan dia memiliki kebanggaan yang tinggi sebagai seorang sesepuh. Walaupun sudah tidak bisa berjalan, saat saya mendorong kursi rodanya melewati gang tengah tempat duduk - kepalanya tetap tegak dengan rahang yang terkatup mantap. Ketika saya mengikuti nenek melewati jalan tengah menuju ke kursinya, orang-orang akan bangkit berdiri meemberikan penghormatan saat nenek lewat; saya merasa seperti sedang mengikuti Musa melewati laut Merah. Pada satu kesempatan yang khusus, akhirnya saya mengetahui bagaimana nenek adalah orang suci tetapi tetap seorang manusia. Saat itu umur saya sekitar enam atau tujuh tahun, dimana saya mulai belajar doa-doa bahasa Ibrani yang dinyanyikan pada kebaktian hari Sabat. Saya sangat bersemangat pergi mengikuti kebaktian dengan nenek untuk menunjukkan apa yag telah saya pelajari di sekolah agama! Kami duduk di tengah jemaat dan ketika dalam ibadah diucapkan doa Shema dan V'ahavta (Ulangan 6:4-9), saya dengan gembira bernyanyi bersama dengan semua orang dewasa yang lain. Saya menoleh ke arah nenek dan memperlihatkan kemampuan bahasa Ibrani yang telah saya pelajari. Saya melihat nenek tersenyum dengan bangga. Tetapi saat itu saya melihat bahwa bibir nenek tidak bergerak; nenek tidak ikut menyanyi bersama kami tetapi hanya bersenandung! "Nenek," saya berbisik, "Mengapa nenek tidak menyanyi bersama kami?" "Nenek tidak tahu kata-katanya, sayang," jawabnya dan melanjutkan bersenandung. Saya benar-benar heran. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana nenek saya yang sangat bijaksana dan maha tahu ini tidak mengerti kata-kata lagu yang dinyanyikan? "Tapi nek" kata saya, "Kata-katanya ada tertulis di halaman ini." Nenek tersenyum pada saya, sebuah senyum yang sangat jarang saya lihat. "Sayang," katanya dengan sabar, "Nenek tidak bisa membaca kata-kata bahasa Ibrani." Saat itu saya sama sekali bingung. Kepala kecil saya hampir meledak saat memikirkan apa yang dikatakan nenek. Nenek saya, pahlawan bangsa Yahudi saya, tidak mengerti bahasa Ibrani? Setelah dewasa saya baru tahu bahwa wanita yang dibesarkan di daerah Selatan pada awal abad sembilan belas, umumnya tidak menerima pendidikan agama Yahudi ataupun pelajaran bahasa Ibrani. Masa itu saatnya belum tiba pemikiran wanita dihargai seperti laki-laki. Dan nenek yang telah mendirikan sinagoga dan mempertahankan adat Yudaisme hidup di tengah keluarga kami, tidak pernah menerima pendidikan agama Yahudi. Tetapi sebagai seorang anak kecil, saya belum bisa memikirkan semuanya itu; yang saya tahu adalah mengapa 'Tuhan' tidak bisa membaca bahasa Ibrani! Saya menyenderkan badan dan menarik lengan bajunya untuk menyela senandungnya. "Nenek! Nenek!" "Ya sayang?" nenek berbisik. "Jika nenek tidak bisa membaca bahasa Ibrani di Sinagoga, bagaimana nenek bisa berbicara dengan Tuhan?" Nenek melihat saya dengan matanya yang maha tahu dan menunduk - kedua tangannya yang lembut memegang wajah saya. Dia mencium pipi saya dan berbisik di telinga, "Jangan kuatir sayang. Tuhan tahu semua yang nenek katakan." -
(Oleh Rabbi Scott Aaron)
PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam) ALUMNI

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag