Sabtu, 13 Oktober 2007

MBOK PARIYEM NDHEREK GUSTI (MENGIKUT TUHAN)

Mbok Pariyem tetap seperti dulu tetap berjualan dhawet [1] di pinggiran buk [2] dekat pasar Gempol; meskipun sudah "ndherek Gusti" demikian dia menyebut dirinya setelah memeluk agama Kristen. Memang demikian makna Kristen yakni mengikut Kristus. Hanya saja dia sedikit lebih ramah dan betah berbincang dengan para pembelinya, dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ia tetap berseri meskipun kadang dhawetnya tidak habis terjual karena hujan. Dia selalu menjawab dengan istilah "Gusti mboten Sare" ketika ditanya komentarnya tentang dhawetnya tidak habis. Maksudnya Tuhan tetap memperhatikan, dia tidak memakai istilah-istialah asing seperti "Jehova Jireh" meskipun istilah itu sering didengarnya dari pak Anton yang mempunyai mobil sedan dan menulis kata asing itu di kacanya. Namun sejak "ndherek Gusti" mbok Pariyem membuat dhawet dua kali sehari untuk dijual ke sawah-sawah yang sedang panen. Bukan karena ia ingin kaya, karena ia tahu cara mencukupkan diri. Melainkan karena ingin bercerita tentang rasanya "nderek Gusti" dan berbincang dengan tetangganya disawah, karena selama ini ia sibuk berjualan di buk dekat pasar itu. Ia juga ingin membeli baju yang lebih pantas untuk ke gereja, membeli "kidung pasamuan" [3] meskipun untuk membaca saja ia terbata-bata. Ia juga ingin mengumpulkan uang agar setiap minggu bisa "Asung syukur" kepada Tuhan melalui gereja, karena ia tahu Tuhan tidak membutuhkan uangnya yang tidak seberapa itu. Ia tahu Tuhan lebih butuh dirinya. Karena hal-hal diatas dia lakukan dengan tekun banyak orang-orang "biasa" seperti: para petani, pedagang yang ikut "ndherek Gusti". Bahkan Pak Wignyopranoto yang punya penggilingan padi pun tertarik "ndherek Gusti" setelah melihat para buruhnya yang semakin rajin bekerja setelah ikut-ikutan mbok Pariyem "ndherek Gusti". Seperti juga halnya Pak Anton yang ndherek Gusti karena anaknya Nonik yang tertarik akan kidungan yang diajarkan Mbok Pariyem ketika membeli dhawet. Gereja kecil yang semula hanya pasamuan beberapa orang itu, sekarang semakin ramai apalagi ketika hari raya "Undhuh-undhuh" sehabis panen, semua penuh sukacita membawa "Asuk Syukur" berupa hasil panennya. Sekarang gereja itu semakin besar, punya pendeta yang bergelar STh. Pak Anton dan Pak Wignyo jadi Majelis, gereja dibangun dengan megah dan memakai marmer lantainya, lonceng besar di menaranya, bahkan banyak lagu-lagu dan kata-kata asing seperti "Jehova Rafa", "Jehova Jireh", "Anak Radja" yang sering terdengar. Musik angklung yang biasa mereka mainkan sekarang sudah diganti piano dan keyboard, yang tidak bisa mereka mainkan bersama-sama. Sayang sejak saat itu teman-teman mbok Pariyem yang dulu setiap minggu rajin beribadah, mereka mulai jarang pergi kegereja. Mereka mendengar lagu-lagu gereja dari rumah mereka masing-masing. Ketika ditanya mbok Pariyem mengapa mereka jarang lagi ke gereja mereka berkata "Dereng gadhah sepatu" belum mempunyai sepatu katanya. Mbok Pariyem mengelus dadanya dengan berlinang air mata ia melihat gerejanya yang megah dan berdoa "Gusti sayektosipun meniko sadoyo berkat punopo laknat" [4]. Meskipun demikian dia masih pergi ke gereja setiap minggu karena ia sudah punya terompah dari hasil tabungannya. Dia duduk dipojok belakang sambil berharap pak Wiro dan mbah Dhinah hadir pagi ini.
[1] Cendol khas Jawa, menggunakan tepung beras dan air gula merah.
[2] Adalah jembatan kecil, sedangkan jembatan besar biasanya disebut kreteg.
[3] Kidung Jemaat.
[4] Terjemahan bebas: "Tuhan sebenarnya ini semua berkat atau kutuk ?".
Dikutip dari : PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam) -ALUMNI

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag