Rabu, 25 Agustus 2021

PEMURIDAN: PENGABAIAN TERBESAR?

 Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,...” (Matius 28:19)



Saya yakin anda tahu bahwa ayat ini adalah perintah Tuhan Yesus, bahkan sadar bahwa  perintah ini dikenal dengan Amanat Agung (dalam bahasa Inggris dikenal sebagai “Great Commission”). Ini merupakan perintah terakhir Tuhan Yesus kepada gereja. Suatu perintah yang sangat penting. Apa kita menaatinya?

Suatu waktu saya melihat sebuah buku yang berjudul “The Great Ommission ditulis oleh Dallas Willard. Sub judul buku itu adalah Rediscovering Jesus’ Essential Teaching on Discipleship.” Buku ini menyadarkan saya bahwa perintah Tuhan yang mengutus para murid-Nya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya sangatlah mudah diabaikan oleh kita. Semudah kita menghilangkan huruf C dari kata Commission (yang berarti pengutusan) menjadi kata ommission (yang berarti pengabaian). Sehingga penulis buku ini memberi judul Pengabaian Terbesar. Karena yang kita abaikan adalah salah satu Perintah Terbesar.


Kondisi Pemuridan di Mahasiswa dan Alumni

Dibanyak persekutuan kampus, pemuridan menjadi semakin lemah bahkan sudah sekarat. Secara program atau aktivitas masih ada, namun dalam kenyataannya sudah tidak jalan. Kalau ditanya, kelompok kecil pemuridan hanya berjalan beberapa kali lalu mulai tersendat-sendat dan akhirnya tidak jalan lagi. Berbagai alasan yang dapat diberikan mengenai tidak berjalannya pemuridan ini. Pemuridan di kampus makin terancam akan punah.

Bagaimana dengan alumni persekutuan medis? Seharusnya mereka akan tetap dalam pemuridan (whole-life discipleship), baik dalam kelompok kecil alumni maupun dalam bentuk-bentuk kreatif lainnya. Mereka bisa meneruskan pemuridan di PMdK atau di gereja-gereja. Namun berapa banyak yang masih dalam kegiatan dan pelayanan pemuridan? Kembali berbagai alasan yang bisa menjadi pembenaran untuk mengabaikan amanat agung itu. Mulai dari kesibukan baru kerja, baru menikah, baru pindah kota, baru dipromosi, baru studi lanjut, dan sebagainya.

 

Alasan Pengabaian Perintah Pemuridan

Jika kita mempelajari Kitab Suci maka minimal ada 3 alasan kenapa pemuridan diabaikan bahkan tidak dilakukan:

1.       Masih Adanya Keterikatan.

Contoh yang paling nyata yaitu kisah seorang muda yang kaya (Lukas 18:18-25). Tuhan Yesus berkata kepadanya: “"Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (ay. 22) Suatu ajakan untuk menjadi murid-Nya: “...datanglah kemari dan ikutlah Aku.” Ini adalah ajakan yang sangat mulia, karena yang mengajak yaitu Tuhan Pencipta langit bumi. Ia pribadi yang sangat mulia, lebih mulia dari semua raja atau presiden. Bagaimana dengan respon orang kaya ini? Apakah ia menyambut dengan gembira? Dan merasa itu sebagai kehormatan? Sayang sekali tidak. Di ayat 23 ditulis: “Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.” Di Markus 10:22 ditulis: “Mendengar perkataan itu ia menjadi kecewa, lalu pergi dengan sedih, sebab banyak hartanya.” Dari kedua ayat, terlihat bahwa alasan ia menampikan ajakan menjadi murid Yesus yaitu hartanya. Ia sangat kaya dan banyak hartanya. Dan kekayaannya itu telah membutakan dia untuk melihat kemuliaan Tuhan yang jauh lebih berharga daripada seluruh hartanya. Sekarang inipun kekayaan dan kemewahan sering membutakan kita untuk menyadari kekayaan dan kemuliaan Allah yang melebihi semua kekayaan di dunia. Tidak sedikit mahasiswa atau alumni medis Kristen yang  menampikkan panggilan pemuridan di kampus atau di PMdK demi mengejar kesuksesan dalam karir yang diharapkan akan menambah pundi-pundi kekayaannya di masa mendatang.

Kenapa manusia sangat mengutamakan kekayaan? Karena biasanya kekayaan akan membuat kita merasa lebih dihormati di keluarga, masyarakat bahkan di gereja. Kekayaan juga lebih memberi rasa aman bagi kita dalam menyongsong masa depan hidup kita yang akan menghadapi berbagai kebutuhan. Kekayaan juga memungkinkan kita untuk hidup lebih menyenangkan dan lebih bisa menikmati hidup. Namun Tuhan Yesus mengingatkan murid-Nya: “"Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu(Lukas 12:15). Artinya kebahagiaan, rasa aman, kesenangan dan kehormatan tidaklah bergantung pada kekayaan kita. Mother Teresa adalah contoh bagaimana ia lebih dihormati, bahagia, dan memiliki rasa aman daripada Lady Diana yang jauh lebih kaya daripadanya.

Tidak heran dalam mengajarkan syarat untuk menjadi muridNya, Tuhan Yesus berkata: “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Lukas 14:33)Keterikatan orang muda kaya terhadap kekayaan atau hartanya telah menyebabkan dia tidak bisa menjadi murid-Nya. Untuk menjadi murid Kristus tidak cukup hanya mengetahui pentingnya mengikut kegiatan kelompok kecil pemuridan, dan kesediaan untuk mengikut kelompok kecil. Sebab jika kita masih terikat dengan segala milik kita, apa itu harta, kekayaan, atau hal yang lain yang berharga bagi kita. Maka kita akan sulit memprioritaskan kegiatan pemuridan yang sudah kita ikuti. Setelah berjalan beberapa kali kita akan kehilangan motivasi jika itu tidak sejalan keinginan kita untuk menjadi kaya. Tanpa sadar kita akan lebih mengutamakan kegiatan yang sejalan dengan mental materialistik kita. Padahal jika kita mau lepaskan diri dari segala milik kita dan mengikut Yesus, maka kata Yesus:  “...maka engkau akan beroleh harta di sorga.” Ini baru harta yang sesungguhnya, yang ngengat tidak akan mengerogoti, pencuri tidak bisa ambil, dan nilainya abadi. Jadi menjadi murid Kristus yang menuruti firman-Nya bukanlah orang yang paling miskin, sekalipun di dunia mereka dipandang miskin tapi sesungguhnya mereka memiliki harta di sorga yang jauh lebih berharga dari mereka yang memiliki banyak harta di dunia. Coba renungkan kebenaran ini secara serius.

 

2.       Menghindari penderitaan dan ejekan.

Dunia kita sekarang penuh dengan gaya hidup yang mengejar kesenangan dan kenikmatan hidup yang lebih dikenal dengan istilah hedon atau hedonisme. Hedonisme berasal dari kata Yunani “hedonismos” atau “hedone” yang berarti kesenangan atau kenikmatan. Merupakan falsafah hidup yang mengutamakan kesenangan atau kenikmatan hidup. Falsafah hidup seperti ini sangat menghambat pemuridan. Kenapa? Sebab pemuridan menuntut keseriusan dan kedisiplinan kita dalam mempelajari dan menaati firman Tuhan. Sementara pengejaran akan kesenangan dan kenikmatan hidup tentu tidak sejalan dengan jiwa dan suasana pemuridan. Dan jika pemuridan kita lakukan tanpa kedisiplinan dan keseriusan, maka akan kehilangan dampak pemuridan yang merubah hidup kita menjadi murid yang makin serupa dengan Kristus.  Apakah pemuridan itu harus kita lalui dalam suasana yang kaku dan tegang? Tentu tidak, sebab jika kita lakukan pemuridan secara benar maka kita akan alami sukacita dan damai sejahtera yang melebihi kesenangan dan kenikmatan dunia yang fana.

Memahami akan kecenderungan manusia akan kesenangan dan kenikmatan hidup, maka Tuhan memberi syarat pemuridan sebagai berikut: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Lukas 14:27). Syarat ini menyadarkan setiap kita yang mau menjadi murid-Nya bahwa kita harus bersedia menderita segala ketidaknyamanan bahkan ejekan untuk menjadi muridNya. Selain syarat ‘memikul salibnya’ juga ada syarat ‘dan mengikut Aku’, kata Tuhan Yesus. Ini bisa berarti ketaatan dan kesetiaan untuk mempelajari dan menaati firman Tuhan, serta menaati perintah dan kehendakNya. Kita harus belajar menjadikan firman Tuhan dan kehendakNya itu suatu kesukaan bagi kita (Mazmur 1:2; 40:9). Jika kita mengenal Tuhan Yesus secara memadai maka menderita bagi Dia adalah satu kehormatan yang memberi kegembiraan, seperti yang kita lihat pada pengalaman para rasul (Kisah Para Rasul 5:41). Teladan yang indah juga bisa kita lihat pada kehidupan dan pelayanan rasul Paulus, bagaimana sikapnya dalam hadapi penderitaan dan penganiayaan (Kisah Para Rasul 20:22-24). Atau pengajaran rasul Petrus yang terkenal tentang kasih karunia jika kita menderita sebagai murid Kristus (1 Petrus 2:19-24).

 

3.       Belum mengutamakan Kristus.

Masalah lain yang menyebabkan pemuridan diabaikan yaitu kita lebih mengasihi dan mengutamakan keluarga dan diri kita daripada Tuhan. Seperti yang diajarkan Yesus: "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Lukas 14:26). Ini tidak berarti kita harus mengabaikan isteri, suami, anak-anak, orang tua, dan saudara-saudara kita demi Tuhan. Yang Tuhan maksudkan disini ialah jangan sampai kita lebih mengutamakan keluarga, sehingga pemuridan melalui persekutuan, kelompok kecil, waktu teduh terabaikan. Seharusnya kita mengajak keluarga untuk turut mendukung dan menaatinya. Sekalipun kita harus memelihara keluarga kita dengan baik, namun secara bijak kita harus mengingatkan keluarga kita tentang pentingnya takut akan Tuhan dan lebih menghormati, mengasihi dan mengutamakan Tuhan. Sebab jika tidak maka kita tidak bisa menjadi muridNya.

Ingatlah “If Jesus is not the Lord of all, He is not the Lord at all.” Salah satu tujuan pemuridan yaitu agar lebih mengenal Yesus sebagai Tuhan, tidak hanya Juruselamat. Dan belajar bagaimana men-Tuhan-kan Kristus dalam seluruh kehidupan kita.

 

Pentingnya Roh Kudus dalam Pemuridan

Padahal Roh Kudus sudah dicurahkan kepada kita, namun problemanya kita tidak hidup oleh Roh. Hidup kita tidak dipimpin dan dipenuhi oleh Roh Kudus tapi oleh berbagai hawa nafsu kita. Hal ini lebih dikenal dengan hidup dalam keinginan daging, sehingga: “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Galatia 5:19-21).

Salah satu syarat untuk pemuridan yaitu kita tidak lagi hidup menuruti keinginan daging tetapi hidup oleh Roh Kudus. Jika kita hidup oleh Roh dan dipimpin oleh Roh Kudus, maka buah Roh yaitu: “...kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” akan nyata dalam hidup kita (Galatia 5:22-23). Buah Roh ini dikenal sebagai karakter yang serupa dengan Kristus. Ini merupakan akibat dari kehidupan kita yang dipimpin dan dipenuhi Roh selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan beberapa tahun.

 

Persekutuan kampus dan alumni yang mengutamakan pekerjaan Roh Kudus melalui kedisiplinan, keteraturan, ketekunan dan kesetiaan:

1.       Membaca, studi, perenungan dan penerapan firman Tuhan.

2.       Berdoa dimana ia bersekutu dengan Bapa di Sorga.

3.       Bersekutu dengan saudara-saudara seiman, dalam kelompok besar dan kelompok kecil.

4.       Kesungguhan melayani; 

akan tidak mengabaikan pemuridan tapi menghidupinya secara sukacita dan damai sejahtera. Dengan demikian kita akan menjadi saksi Kristus yang memuliakan Tuhan melalui kehidupan kita sebagai mahasiswa atau alumni medis Kristen. 

 ___________________________________________

PEMURIDAN: PENGABAIAN TERBESAR ? oleh Tadius Gunadi, M.C.S

Dalam Majalah Samaritan Edisi 1 Tahun 2017

Rabu, 24 Maret 2021

Membangun Bangsa Secara Holistik

Tiap bangsa di sepanjang masa punya pergumulannya masing-masing. Dan tiap bangsa membutuhkan pembangunan secara holistik, termasuk Indonesia. Belajar dari Kitab Nehemia, yang berhasil membangun bangsa Israel secara holistik, paling tidak kita dapat menemukan tiga hal yaitu: pertama, dia melakukan pembangunan fisik (tembok)  dan pembangunan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang singkat yaitu lima puluh dua hari. Pencapaian ini dapat terjadi tentu saja  karena campur tangan dan penyertaanTuhan (Nehemia 6.15-16). Penyertaan Tuhan tersebut diresponi dengan  kepemimpinan Nehemia yang efektif dan peran partisipasi aktif dari komponen bangsa. Mengapa ini hal pertama yang dibangun Nehemia,...kelihatannya hal ini terkait dengan kondisi pada masa itu dimana tembok yang mengelilingi suatu kota merupakan lambang kedaulatan dan keamanan. Hancurnya tembok suatu kota berarti hilangnya lambang tersebut. Sehingga pembangunan tembok menjadi prioritas agar kehidupan sosial dan kehidupan ibadah di Yerusalem dapat ditata dan dipulihkan kembali.

Kedua, pembangunan kerohanian (Nehemia 9). Nehemia memahami bahwa kehancuran Yerusalem bukan sekedar masalah sosial politik tetapi akarnya adalah pemberontakan mereka terhadap Tuhan yang kemudian mendatangkan murka-Nya. Untuk memulihkan Yerusalem diperlukan pembaharuan rohani, yang ditandai dengan pembacaan Taurat, pengakuan dosa dan pembaharuan janji setia mereka dihadapan Tuhan.  Pembacaan kitab Taurat yang dilakukan  memberikan perspektif tentang kehidupan mereka yang sesungguhnya yaitu sejarah telah membuktikan bahwa sejak kehidupan nenek moyang mereka hingga saat itu, anugerah Allah senantiasa tercurah kepada mereka (6-15). Allah dengan kesetiaan-Nya senantiasa menuntun, membimbing, melindungi, dan memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Perspektif yang diberikan oleh firman Tuhan inilah yang menuntun mereka kepada pertobatan sejati. Kebangunan rohani sejati tersebut dapat terlihat melalui : (1) mereka merendahkan diri di hadapan Allah. Hal ini diekspresikan dalam bentuk berpuasa, mengenakan kain kabung dan debu di kepalanya. Merendahkan diri di hadapan Allah timbul dari kesadaran akan ketidaklayakan mereka di hadapan-Nya untuk menerima anugerah dan kasih setia Allah yang luar biasa, (2)  mereka memisahkan diri dari semua orang asing. Ini merupakan lambang bahwa mereka tidak mau mengikuti cara hidup bangsa asing yang tidak mengenal Allah, (3)  adanya pengakuan dosa. Mereka mengaku bersalah dan mau berbalik kepada-Nya, (4) mereka mempunyai kehausan dan kerinduan yang dalam untuk membaca firman Tuhan. Untuk mengetahui kehendak Allah dan mengenal Dia lebih dalam dan lebih intim.

Ketiga, pembaharuan sosial (Nehemia 10.28-39). Pembaharuan kehidupan rohani tidak selesai hanya dengan pembacaan firman dan doa pertobatan. Pembaharuan tersebut perlu diwujudkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Nehemia menggunakan wewenangnya untuk menata agar kehidupan sosial mereka bisa diselaraskan kembali dengan aturan-aturan dalam firman Tuhan.

Kini,  bangsa Indonesia pun membutuhkan pembangunan secara holistik. Ini bukan tugas dan tanggungjawab sebagian orang saja di negri ini. Setiap komponen bangsa diharapkan ikut ambil bagian. Penyertaan Tuhan sudah pasti tersedia. Saatnya kita responi penyertaan Tuhan dengan partisipasi aktif kita dalam berbagai bidang kehidupan bangsa ini.

 ___________________________________________

Membangun Bangsa Secara Holistik oleh Ir. Indrawaty Sitepu, MA

Dalam Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2013

Jumat, 05 Februari 2021

FINDING YOUR CALLING IN LIFE

As a fresh doctor, newly graduated from medical school, I stood on the platform of the railway station in my town, ready to undertake the longest journey of my life, to discover my calling, brimming with hope, excitement and youthful enthusiasm.

Now almost forty years later I still keep journeying, and it is difficult to say if I have found the calling in my life.

Calling, to me, embodied what I did to give maximum joy, sense of satisfaction and accomplishment, and more importantly being aware that I was fulfilling a role in life beyond myself, being a channel of God’s blessing to others.  People who find their calling or what gives them purpose and maximum joy early in life are very fortunate.   They are the ones who arrive at their destination directly.  I must confess that it was not so with me.  My life’s journey has been a voyage of exploration and i am still on the road traveling.

Finding  calling  in life  meant assuming  diverse roles and accepting various situations - student, social worker, surgeon, scientist, teacher - in India, in Bhutan, in Australia, in small mission hospitals or outposts, in state of the art tertiary centres.  A single overwhelming sense of calling persisted through the decades – the desire to be a healer, to be an instrument of healing for the injured, whether physical, psychological, emotional or relational.

I do not equate calling to career. To me career is a job which provides the means to live. Sometimes your career and your calling merge and then the synergy leads to immense satisfaction.

At different phases in my life I have considered varying career options, pilot, priest, researcher, and administrator.  But whatever career I have chosen I believe I may have persisted in seeking to be a healer.  The urge to heal has been the recurring compulsion, perhaps the mission of my life.  Often my career helped me to fulfil my calling.  There were times when the healing was merely superficial.

As I look back at life, it is on those occasions when my career enabled me to be a healer in its holistic sense that I found pure joy and subsequently developed a passion for that experience.

Passion, in my understanding, is that which inspires one to choose a preferred way of working and living that permeates every aspect of life. It is the one thing in life that you want to experience and which makes you willing to forego many other things in life.

But now we go on to the difficult question of how one realises one’s calling or find a passionate pursuit in life?  Many of us (assuming my readers are associated with health care in some way) were convinced that we wanted to be involved in medical care while we were growing up, well before embarked on formal medical training. This conviction may have been influenced by our perception that this is a profession which is a means to attain status, position, power, prestige or becoming wealthy. But none of these in itself can bring happiness or fulfilment.

Search and discover your God- given gift

I believe that in each of us God has placed an inherent ability or gift.  Ssome of us are creative and artistic, some of us have the ability to be good listeners, some are patient, some of us can be persistent and persevering even while doing mundane repetitive tasks. Some have a taste for adventure; others are good with people management skills or networking. A few are good at writing or are articulate.  I feel that we should look for a career in an area of medicine that will potentiate our natural God- given gift or talent.

Having then gifts differing according to the grace that is given to us,let us use them –Romans 12:6

Look for what gives you maximum joy

We should look for an avenue that gives us the most joy while we are doing it, be it teaching, surgery, administration, research or patient care.  At various stages in my life I have had the opportunity to play these different parts.  Interestingly I felt elated when I managed to align these roles to my desire to be a healer.  It is difficult to find Joy in being a teacher if you are uncomfortable being with young people or is a poor communicator.  It is difficult to be happy in a sterile research laboratory if your desire is to interact with people.  You can not be a paediatrician and dislike noisy children.  Look for avenues that will give you joy and fulfilment.

Ask  and you will recieve, that your joy may be full-John 16:24

Follow your dream

Each of us has dreams about life. Dreams, plans and ambition are necessary and very often they embody a desire that you want to achieve beyond reality and limitations. Dreams can inspire one to move beyond the ordinary and at times to something spectacular.  Dreams inspire you into action, but without action dreams will remain mere dreams.  Several of my dreams have remained elusive, but many have been fulfilled.  We must dare to dream and carry our dreams in our heart.

"And it shall come to pass afterward, that I will pour out my spirit upon all flesh; and your sons and your daughters shall prophesy, your old men shall dream dreams, your young men shall see visions:"-Joel 2:28

Don’t be afraid to be a failure

When there are choices to make in life, any of us can make the wrong choice or fail in what we set out to do. Do not be disheartened because if any one says that they have not made a mistake they are not being truthful.  Or else they have not tried anything bold in life. God and life always give every one another chance in life, may be not the same things to choose from, but frequently something different and better.  Do not be afraid to fail or make a mistake.

 So I went down to the potter's house, and there he was working at his wheel.  And the vessel he was making of clay was spoiled in the potter's hand, and he reworked it into another vessel, as it seemed good to the potter to do

Jermiah 18:3,4

Have a plan

Have a rough road map of where you want to go in life. Everything may not go according to plan. Be ready to stop, take detours, and change directions along the way. It is always good to have a rough plan or mental map of your trip.  Having a plan makes the expedition easier

I am the Lord your God, Who teaches you to profit, Who leads you in the way you should go. Isaiah 48:17



Start some where

No matter how fantastic your dreams are, how much of details you have planned and mapped out your course, unless you set out you will never get there.  Opportunities do not come looking for us; we have to look out for them. Sometimes we have to work hard to create opportunities in the challenges we face.  So get off your seat and start.

.Work out your own salvation with fear and trembling; for God is at work in you, both to will and to work for his good pleasure. Philippians 2: 12-13

Start small

Most great endeavours started small and most great lives had modest beginnings.   Our tendency is to look for million dollar opportunities and miss the apparently insignificant ones which may eventually turn out to be massive ventures with hard work and perseverance.  We wait for spectacular opportunities to come by while we let ordinary ones slip by, which may eventually turn out to be magnificent.  Do not disregard the small and the ordinary openings.

Though thy beginning was small, yet thy latter end should greatly increase.

Job 8:7

 

 

Be accepting of life

Accept what life gives you. I have not got many things I wanted in life.  That made me realise one is not given what one likes, but when one starts liking whatever one gets life becomes meaningful.  Accept what life offers you rather than only accepting what you like.

for I have learned in whatever situation I am to be content.-Philipians 4:11

Have an attitude of gratitude

Fulfilment in life or finding your calling does not happen in a day. It is good to have an attitude of gratitude for the ordinary opportunities each day. This  adds to the joy of each day and makes you look forward to life and the good things life and career have to offer. It also helps you to cope with disappointments and obstacles along your voyage.  Be grateful for small steps of progress on the sojourn.

Be joyful always; pray continually;give thanks in all circumstances,for this is Gods will for you in christ jesus -1Thessolonians 5:16-18

Seek Gods Will

Some times in frantic planning and cativity one cannot hear the small voice of God promting us about Gods will in our lives. It is in moments of quietness reading the word of God , in prayer or some times silent contemplation that i have had the sense of Gods promtings and leadings in many choices I have made. At times it has been through the voice of those who love me and care for me like teachers, family as well as close friends.

I wait for the lord,my soul waits and in his word I put my hope-Psalms103:5

 

Trust in God’s guidance and His goodness

Finally trust God and His goodness. He knows us, our desires, and our capabilities more than we ourselves. He can correct our mistakes and compensate for our bad choices and make our life beautiful.  Discovering your calling is a life long journey

Who ever can completly accept the will of God in every situation has learned something which will fill oned life with peace and joy

And we know that in all things God works for the good of those who love him, who have been called according to his purpose.- Romans 8:28

Finally, brothers, whatever is true, whatever is honorable, whatever is fair, whatever is pure, whatever is acceptable, whatever is commendable, if there is anything of excellence and if there is anything praiseworthy-keep thinking about these things.- Philippians 4:8

______________________________________________________________
FINDING YOUR CALLING IN LIFE - Prof Dr George Mathew
Dalam Majalah Samaritan Edisi 1 Tahun 2012.

Rabu, 22 April 2020

Sasaran Pelayanan Manusia Seutuhnya

Bicara tentang misi berarti bicara tentang pengutusan. Karena kata latin missio berarti pengutusan. Siapa yang mengutus, siapa yang diutus, dan aspek-aspek penting apa saja yang terdapat dalam pengutusan tersebut? Saya akan mulai drngan menjawab dua pertanyaan pertama. Siapa yang mengutus? Siapa yang diutus?

Salah satu ayat yang banyak diacu oleh para sarjana setiap kali berbicara tentang misi adalah Yohanes 20:21. Bunyinya dalam bahasa Latin, sicum misit me Pater, et ego mittos vos. Artinya, "sama seperti Bapa mengutus (misit) Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus (mitto) kamu." Siapa yang mengutus? Pertama-tama, Allah Bapa. "Bapa mengutus...," kata Tuhan Yesus. Selanjutnya, Allah Anak. "Aku mengutus ...." Dari sini, muncullah salah satu tema utama dalam Misiologia, yaitu Missio Christi. Pengutusan Kristus. Dalam arti, pertama, Kristus diutus oleh Allah, dan selanjutnya, Kristus mengutus murid-murid-Nya.

Siapa yang diutus? Pertama, Anak Allah. "Bapa mengutus Aku,"  kata Tuhan Yesus. Selanjutnya, para murid. "Aku mengutus kamu." Dan akhirnya, Gereja alias orang-orang percaya di segala abad dan tempat, yang merupakan buah pelayanan dan sekaligus pewaris ajaran dari para rasul. Dari sini, muncullah tema utama lainnya dalam Misiologia, yaitu Missio Ecclesiae. Pengutusan Gereja. Dalam arti, Gereja diutus oleh Kristus atau Kristus mengutus Gereja.

Apa hubungan antara Missio Ecclesiae dan Missio Christi? Jawabnya, sesungguhnya Missio Ecclesiae adalah kelanjutan dan perluasan dari Missio Christi. Dan keduanya, bersama-sama dengan Missio Apostolarum (Pengutusan Para Rasul), merupakan bagian dari Missio Dei (Keseluruhan Pekerjaan Allah Menyelamatkan Dunia).

Pokok Missio Ecclesiae sebagai kelanjutan dan perluasan dari Missio Christi inilah yang ditunjukan oleh penulis Injil Markus dalam pasal 6. Khususnya ay.7-30, yang merupakan satu unit (tentang pengutusan kedua belas murid). Perhatikan kesejajaran yang sangat kuat antara penutup bagian sebelumnya, pasal 6:6b ("Lalu Yesus berjalan berkeliling dari desa ke desa sambil mengajar"), dan penutup bagian ini, pasal 6:30 ("Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepada-Nya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan").  Yang pertama merangkum misi Yesus. Sedangkan yang kedua misi murid-murid. Dalam keduanya, muncul kata Yun. didasko. Artinya, mengajar. Dengan demikian, penulis menyejajarkan misi Yesus dengan misi murid-murid. Murid-murid melanjutkan apa yang Kristus kerjakan. Setiap orang yang menyebut dirinya murid Kristus mengerjakan hal yang sama. Missio Ecclesiae adalah kelanjutan dan perluasan dari Missio Christi. Misi Gereja adalah kelanjutan dan perluasan dari Misi Kristus.

Kalau begitu, aspek-aspek penting apa saja yang terdapat dalam Misi Gereja? Tentunya itu juga aspek-aspek penting yang terdapat dalam Misi Kristus.

Nats kita hari ini mengajak kita melihat setidaknya tiga aspek penting dari Misi Gereja. Pertama, sasaran dari Misi. Kedua, agenda utama dari Misi. Dan ketiga, penyertaan ilahi dalam Misi.


Sasaran dari Misi (ay. 12-13)
Sasaran dari misi adalah manusia seutuhnya. Itu berarti bukan hanya manusia lahiriah, tetapi juga manusia batiniah. Tugas seorang misionaris atau utusan Injil adalah menjawab kebutuhan-kebutuhan baik jasmani maupun rohani.

Perhatikan baik-baik apa yang dikatakan oleh Kitab Suci tentang pokok ini. Rangkuman dari semua yang dikerjakan oleh murid-murid selama masa pengutusan tertulis dalam ayat 12-13: "Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka." Pertanyaannya, apa yang menjadi obyek atau sasaran pelayanan mereka? Kita perlu menemukan jawaban yang benar dari pertanyaan ini, agar tidak terjerumus atau terjebak dalam kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada program. Atau pada uang. Atau pada minat-minat dari kelompok-kelompok tertentu.

Gereja sebagai lembaga harus memiliki program yang jelas. Gereja juga membutuhkan uang untuk menjalankan program tersebut. Dan di dalam gereja, tidak dapat dipungkiri, hadir banyak kelompok dengan minat masing-masing. Tetapi program dan uang tidak boleh menjadi tujuan akhir. Keduanya hanya sarana untuk mencapai sasaran sesungguhnya. Juga minat-minat kelompok. Mereka tidak boleh memaksakan diri untuk menjadi tujuan akhir, tetapi harus tunduk dan mengabdi kepada minat Allah sendiri.

Kembali kepada pertanyaan, apa yang menjadi obyek atau sasaran pelayanan para murid? Jawabnya, bukan program. Bukan uang. Bukan juga minat mereka. Tetapi manusia seutuhnya. Mereka bukan melayani program. Bukan mengabdikan diri kepada uang. Bukan juga memuaskan minat manusia. Tetapi melayani manusia seutuhnya. Mengabdikan diri kepada manusia seutuhnya. Dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia seutuhnya. Bagaimana caranya? Mengajak manusia bertobat dari dosa-dosanya. Tetapi juga menyembuhkan manusia dari sakitnya. Dengan kata lain, dengan menjawab kebutuhan-kebutuhan baik jasmani maupun rohani. Kesehatan dan keselamatan jiwa-raga.

Bagaimana cara para murid mengajak umat bertobat dari dosa-dosa mereka? Apa isi berita mereka? Tidak lain dari isi berita Kristus sendiri: "Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!" (1:15).

Bagaimana cara mereka menyembuhan orang-orang yang sakit? Menarik sekali. Kitab Suci menjawab, "Mengoles .... dengan minyak." Minyak apa ini? Dapat dipastikan, minyak zaitun. Di dunia kuno, minyak tersebut digunakan secara luas sebagai obat (lih. Yes. 1:6; Luk 10:34; Yak 5:14).

Di sini kita berjumpa dengan aspek medis dari Injil. Injil bukan hanya menyadarkan manusia berdosa akan keberdosaan mereka, mengatar kepada penyesalan yang sejati dalam hati mereka, serta membangkitkan iman yang sejati kepada anugerah Allah yang menyelamatkan. Tetapi juga memperbarui aspek lahiriah manusia dan memberikan kesembuhan. Dengan kata lain, pekerjaan Injil atas hidup manusia bersifat holistik. Artinya, memperbarui manusia seutuhnya. Lahir dan batin. Jiwa dan raga. Roh dan tubuh.

Apa yang Kitab Suci ajarkan tentang keutuhan dalam diri manusia? Amsal 14:30 berkata, "Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang." Terjemahan NIV berbunyi, "A heart at peace gives life to the body, but envy rots the bones." "Hati yang damai menghidupkan tubuh, ...." Pernyataan ini menyatakan dan menegaskan, bahwa kondisi batiniah kita memengaruhi kondisi lahiriah kita. Aspek rohani dan aspek jasmani dari manusia demikian menyatu. Keduanya harus menjadi sasaran dari pekerjaan Injil.

Tuhan Yesus sendiri melayani manusia seutuhnya. Apa yang murid-murid lakukan selama masa pengutusan mereka mengacu kepada teladan-Nya yang sangat agung. Contohnya, apa yang diperbuat-Nya terhadap seorang perempuan yang sakit pendarahan dalam bagian sebelumnya (pasal 5:25-34). Si wanita sudah dua belas tahun lamanya menderita pendarahan. Mungkin karena ketidakseimbangan hormon dalam tubuhnya. Akibat pendarahan tersebut, ia kurang darah, lemah dan tidak mampu mengerjakan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik. Menurut analisis seorang dokter, karena faktor ketidakseimbangan hormon, ia tidak dapat hamil. Ia mengalami masalah ginekologi yang sangat serius dan menahun. Belum lagi kenyataan, bahwa ia dipandang najis oleh masyarakat. Menurut Imamat 15:19, seorang perempuan najis selama masa menstruasi dan tujuh hari sesudahnya. Tetapi si wanita najis selama dua belas tahun, karena selama itu pendarahannya tidak pernah berhenti. Ia menajiskan semua yang disentuhnya. Kalau ia sudah menikah, yakinlah bahwa suaminya telah menceraikannya. Keluarganya telah mengusirnya. Teman-temannya telah menjauhinya. Akhirnya, seperti dilaporkan oleh Kitab Suci, seluruh uangnya telah dihabiskannya untuk berobat dan hasilnya sia-sia.

Bayangkan juga kondisi psikologisnya. Sedih, tertolak, berbeban berat, pahit dan mungkin marah kepada masyarakat. Bahkan kepada Allah. Bisa jadi beban hidupnya yang paling berat adalah masalah rohani. Karena najis, ia tidak dapat pergi ke tempat ibadah untuk berdoa kepada Tuhan. Ia tidak dapat mengakui dosa-dosanya dan memohon pertolongan Tuhan.

Kedatangan Tuhan Yesus membangkitkan sedikit harapan di hatinya. Tapi ia sadar, bahwa dengan kondisi seperti itu, ia tidak dapat menghampiri Tuhan Yesus untuk memohon pertolongan-Nya. Bisa-bisa, belum juga sampai ke hadapan-Nya, ia sudah mati dirajam batu oleh orang banyak. Sebenarnya ia bisa meminta sanak keluarganya untuk menghampiri Tuhan Yesus dan memohon pertolongan baginya. Tapi apa daya, mereka semuanya telah menyingkirkannya. Dalam kesedihannya, ia melakukam tindakan nekad. Kitab Suci berkata, bahwa ia mendekati Yesus dari belakang dan menjamah jubah-Nya.

Apa yang terjadi? Seketika itu juga ia merasa, bahwa tubuhnya sudah sembuh dari sakit. Seharusnya persoalan selesai sudah. Kesembuhan jasmani yang dinantikannya selama bertahun-tahun akhirnya diperoleh. Tetapi ternyata kisah berlanjut. Tuhan Yesus mengetahui, bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya, lalu berpaling dan bertanya, "Siapa yang menjamah jubah-Ku?" Si wanita menjadi takut dan gemetar, lalu maju dan tersungkur di hadapan Yesus serta mengakui perbuatannya. Ia hanya bisa pasrah menunggu kata-kata kutukan dari banyak orang karena menajiskan mereka dengan kehadirannya. Tapi, apa yang terjadi? Sebaliknya dari kutukan, ia memdengar ucapan yang begitu indah: "Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu!"

Apa yang Yesus berikan kepadanya? Ada tiga. Pertama, penerimaan. Kedua, kesembuhan. Dan ketiga, pemulihan posisinya di tengah-tengah masyarakat.

Para sarjana medis telah menemukan bukti-bukti ilmiah yang mendukung pernyataan Kitab Suci berusia ribuan tahun tersebut. Mereka menjumpai kenyataan, bahwa stres atau tekanan hidup yang berlarut-larut akan mempengaruhi hormon adreno-corticak, yang pada gilirannya akan mempengaruhi fungsi dan banyak sistem organ tubuh.

Pengalaman klinik sendiri menunjukan ketidakcukupan pelayanan pada aspek fisik saja. Ternyata, banyak jenis penyakit fisik, sebutlah tekanan darah tinggi, gangguan kekebalan diri, sindrom radang kronis, bahkan beberapa kanker ganas, menyangkut unsur kejiwaan, yaitu ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi stres. Stres juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Memperlemah resistansi tubuh dari infeksi, serta menghambat proses kesembuhan dan pemulihan. Karena itu, pelayanan jasmani perlu dilengkapi dengan pelayanan rohani. Dan telah terbukti juga secara klinis, bahwa aktivitas-aktivitas rohani ternyata memiliki dampak positif yang sangat besar terhadap proses pemulihan dari penyakit.

Jadi, baik ilmu kedokteran maupun pengalaman klinik memastikan, bahwa pikiran, perasaan dan tubuh manusia merupakan aspek-aspek yang sangat terkait dan berpengaruh satu terhadap yang lain. Injil harus menyentuh semuanya itu.

Konon, di Rumah Sakit Vanga, di Republik Demokrasi Kongo, pernah bekerja seorang staf wanita bernama Matala. Orang-orang di rumah sakit itu menyebutnya "dokter hati". Ia bukan kardiolog. Tapi ia tahu, bagaimana menyembuhkan hati yang patah dan jiwa yang terluka. Pekerjaannya adalah memperkenalkan Tuhan Yesus kepada setiap penderita sakit di rumah sakit tersebut. Dan banyak sekali pasien yang sembuh karena pelayanannya. Saudara mungkin tidak bisa jadi dokter medis, tapi Saudara bisa jadi "dokter hati".


Agenda Utama dari Misi (ayat 7)
Kitab Suci berkata, "Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat" (ay 7b). Perhatikan baik-baik. Apa yang Tuhan Yesus berikan kepada murid-murid ketika mengutus mereka? "Kuasa atas roh-roh jahat." Hal yang sama juga dikemukakan dalam ps. 3:15, "kuasa untuk mengusir setan."

Pernyataannya, mengapa kuasa atas roh-roh jahat, bukan atas alam atau penyakit? Padahal, bukankah keduanya sering menghancurkan hidup manusia? Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab, supaya kita mengerti secara tepat apa yang seharusnya menjadi agenda utama dari misi Kristen. Kalau agenda utama dari pelayanan kira adalah memberitakan kesembuhan dari luka-luka fisik, yang kita butuhkan adalah kuasa atas alam atau penyakit. Tetapi bukan itu yang diberikan oleh Tuhan kita. Berarti, agenda utama dari pelayanan kita bukan memberitakan kesembuhan dari luka-luka fisik. Lalu, apa? Kitab Suci berkata, "Lalu pergilah mereka memberitakan bahwa orang harus bertobat" (ayat 12). Murid-murid diutus untuk mengajak umat bertobat dari segala dosa mereka. Agenda utama dari pelayanan mereka adalah memberitakan pertobatan dari segala dosa. Kalau begitu, apa yang murid-murid butuhkan? "Kuasa atas roh-roh jahat". Yang menghalangi manusia untuk bertobat bukan malapetaka. Bukan juga penyakit. Malah keduanya seringkali Tuhan pakai untuk mendorong manusia untuk bertobat. Yang menghalangi manusia untuk bertobat adalah roh-roh jahat. Karena itu, harus diusir dengan kuasa Tuhan Yesus. Karena itu, murid-murid membutuhkan kuasa atas roh-roh jahat.


Pernyataan Ilahi dalam Misi (ay. 8-11)
Kebanyakan manusia berusaha membingkai hidup mereka dengan kemapanan. Di dalam bingkai itu, mereka berusaha melukiskan hidup mereka yang terpelihara dengan baik. Ada rumah yang besar, mobil yang mewah, tabungan yang berlimpah, dan sebagainya. Tetapi, apakah kemapanan mampu memelihara hidup manusia secara sempurna? Kitab Suci berkata, "Apa gunanya ...." Bingkai hidup orang Kristen bukan kemapanan, tetapi Misi Gereja. Yang membingkai bukan dia, tetapi Kristus sendiri. Ingat Yobanes 20:21. Dia yang mengutus kita. Dan di dalam bingkai itu, tangan Tuhan sendiri memainkan kuas untuk melukiskan hidup hamba-Nya yang dipelihara secara sempurna. Yang muncul bukan seorang yang dikelilingi oleh rumah yang besar, mobil yang mewah, tabungan yang berlimpah, dan sebagainya. Tetapi orang yang sangat sederhana. Tanpa roti di tangan. Tanpa bekal di punggung. Tanpa uang di saku. Cuma tongkat di tangan. Sepasang alas kaki. Dan baju satu-satunya yang menempel di tubuh. Di hadapannya, jalan yang panjang, berliku-liku, penuh kerikil dan berbatu-batu. Memang banyak rumah di sekelilingnya. Tapi tidak satupun miliknya. Ada yang membuka pintu baginya dan mempersilahkannya masuk. Tapi banyak yang menutup pintu rapat-rapat baginya. Namun demikian, lihat! Dengan wajah berseri-seri ia melangkah dengan tegap. Tidak ada kekuatiran tentang apa yang akan ia makan, minum, atau pakai. Tidak juga ada ketakutan mengalami penolakan dari orang lain yang dihampirinya. Mengapa? Ah, jawabannya ada di langit. Di sana, wajah Allah yang lembut dan penuh cinta kasih memandangnya untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkannya setiap saat.

_____________________________________________________
"Sasaran Pelayanan Manusia Seutuhnya" oleh Pdt. Erick Sudharma
Dalam Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2003.

Jumat, 03 April 2020

Apakah yang Aku Peroleh?


Petrus pernah mengajukan satu pertanyaan kepada Tuhan Yesus. Pertanyaan Petrus sederhana saja. Petrus bertanya: ‘Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?’. Pertanyaan Petrus kelihatannya sederhana, apa yang akan kami perolehPermohonan yang wajar. Tetapi Tuhan Yesus menjawabnya secara panjang lebar. Jawaban yang menyingkapkan pertanyaan Petrus tidak sesederhana seperti yang terlihat. 

Pertanyaan Petrus suatu pertanyaan serius. Tetapi sebelum kita membedah pertanyaan Petrus, perlu ditelusuri mengapa Petrus sampai mengajukan pertanyaan itu. Jawabnya terungkap dalam peristiwa sebelumnya yang direkam dalam Matius 19:16-26. Seorang muda yang kaya datang kepada Yesus dan bertanya bagaimana memperoleh hidup kekal? Yesus menjawab pencarian orang muda yang kaya itu dengan suatu perintah untuk menjual segala milikmu dan mengikut Yesus. Tetapi orang muda yang kaya itu tidak siap untuk menukar keutamaan hartanya dengan Yesus. Orang muda yang kaya itu lebih mengasihi harta ketimbang Yesus. Petrus mengamati peristiwa ini. Dalam logika Petrus, jika ia sudah mengikut Yesus dan meninggalkan segalanya, tentulah upah yang diterimanya lebih besar dari harta yang dimiliki orang muda yang kaya itu. 

Sekarang waktunya untuk bertanya kepada Yesus, apa yang akan diperoleh Petrus? Bagaimana Tuhan Yesus menjawab permintaan Petrus? 

Yesus memenuhi permohonan Petrus dengan menunjuk tiga hak istimewa yang diterima para pengikut-Nya. Tiga hak istimewa itu adalah: menghakimi dua belas suku Israel dan menerima seratus kali lipat serta memperoleh hidup kekal (Matius 19:28-29). Tiga hak istimewa yang membedakan murid-murid Yesus dengan manusia lainnya yang bukan murid Yesus. Istilah menghakimi dapat menunjuk kepada jabatan atau tugas. Murid-murid diangkat menjadi hakim atau murid-murid diberi tugas untuk menghakimi selama periode tertentu. Murid diberi hak istimewa sebagai pemimpin pada waktu penciptaan kembali (19:28). Apa maksudnya penciptaan kembali? Ungkapan penciptaan kembali menunjuk kepada periode antara kenaikan Yesus ke surga setelah bangkit dari kematian dan kedatangan Yesus yang kedua kali. Tidak hanya jabatan dan tugas sebagai pemimpin, murid juga diberi hak istimewa menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup kekal.

Tuhan Yesus mengabulkan permintaan Petrus. Ada upah tersedia bagi mereka yang mengikut Yesus. Itu hak istimewa yang diberikan kepada murid-murid Yesus. Tetapi Tuhan Yesus segera mengingatkan mereka melalui suatu perumpamaan bahwa semua manusia pada dasarnya setara. Perumpamaan yang lebih tepat disebut sebagai perumpamaan tuan dan pekerja Tuhan Yesus mengajarkan tentang kesetaraan manusia. Tidak ada manusia yang lebih berharga atau lebih tinggi dari manusia lainnya. Apa maksud setara disini? Kesetaraan dalam hal apa? Kesetaraan dalam kesempatan? Kesetaraan dalam ekonomi? Bukan! Kesetaraan yang dimaksud adalah kesetaraan sebagai manusia. Pengakuan manusia lain sebagai manusia. Itulah kesetaraan. Maksudnya manusia harus memperlakukan manusia lainnya sebagai manusia, bukan sebagai benda atau objek. Yesus menyadarkan murid-murid-Nya akan kesetaraan semua manusia. Jika mereka menyadari kesetaraan manusia, tidak masuk akal bila mereka menuntut, seperti pertanyaan Petrus, apa yang akan kuperoleh? Meskipun murid-murid menerima tiga bentuk hak istimewa, mereka harus menyadari bahwa itu semua adalah pemberian. Pemberian yang berasal dari kasih Yesus. Kasih itu memberi bukan menuntut. Yesus menjawab tuntutan Petrus karena kasih-Nya kepada Petrus. Tuntutan Petrus dijawab Yesus dengan kasih yang memberi. Lebih jauh Yesus memperlihatkan bahwa kasih dalam bentuk terdalam berarti memberi hidup kepada orang lain (Matius 20:17-19).

Tetapi apakah murid-murid mengerti ajaran Yesus? Tidak. Dua murid lain yang juga dekat dengan Yesus, disamping Petrus, yakni Yakobus dan Yohanes meminta posisi terhormat dalam kerajaan Yesus. Ungkapan ‘tahta kemuliaan’ pada 19:28 membuat mereka cemas dan cemburu. Apakah Petrus memperolehnya? Bagaimana mereka berdua? Apa yang mereka peroleh? Mereka tidak rela jika Petrus memperolehnya. Apa akal? Yohanes dan Yakobus melibatkan ibunya dalam pertarungan memperoleh kemuliaan lebih besar dari Petrus.Yakobus dan Yohanes meminta kuasa pada Yesus. Mereka ingin lebih besar dan berkuasa dari Petrus. Bagaimana Yesus merespons permintaan mereka? 

Yesus mengingatkan Yakobus dan Yohanes bahwa permintaan mereka tidak seperti yang mereka bayangkan. Mereka membayangkan posisi mulia di samping tahta kemuliaan Yesus. Tetapi Yesus menunjuk pada arah berbeda yakni ke arah salib. Itulah sebabnya Yesus menjawab ‘Dapatkah kamu meminum cawan yang harus Kuminum’ (20:22). Cawan yang dimaksud di sini adalah murka Allah atau penghukuman Allah. Yesus melihat salib. Salib adalah tempat di mana Allah mencurahkan murka-Nya. Dalam penglihatan demikian tentu tidak mungkin kedua murid berada di salib di sisi kiri dan kanan-Nya. Posisi di kiri dan kanan Yesus adalah para pencuri seperti dilaporkan dalam 27:38. 

Posisi yang dalam pengertian Yesus telah ditentukan oleh Bapa-Nya seperti tertulis dalam Yesaya 53:12 ‘ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak’. Terhadap jawaban Yesus kedua murid menegaskan bahwa mereka sanggup meminum cawan. Tetapi maksud murid-murid seperti terlihat dalam 26:33-35 merupakan suatu sikap bahwa mereka bersedia membayar harga untuk memperoleh kemuliaan kelak yang akan diberikan Yesus di sisi kiri dan kanan-Nya. Mereka memahami penderitaan Yesus yang disampaikan pada 20:17-19 hanya sebatas penderitaan dalam perjuangan untuk mencapai kesuksesan. Kekuasaan dan sukses diperoleh setelah melewati penderitaan. Ini pikiran murid-murid, bukan pikiran Yesus. Meski demikian, Yesus membenarkan bahwa murid-Nya akan meminum cawan. Apa maksudnya? Apakah kedua murid kelak akan mati martir? Hanya Yakobus yang martir sekitar tahun 44 EK (Kisah Para Rasul 12:1-2), sedang Yohanes tidak. Mungkin maksudnya menunjuk kepada kesediaan murid kelak untuk meneladani Yesus. Teladan dalam hal apa? Kasih. Mengasihi manusia berarti melayani bahkan memberi hidup. Melayani dan memberi hidup tidak lain merupakan suatu bentuk kuasa. Kuasa yang berbeda dengan kuasa dunia ini (20:25). Yesus tidak menolak kuasa dunia ini. Tetapi Yesus sedang memberi alternatif lain terhadap suatu bentuk kuasa yang dikenal manusia. Kuasa yang lebih besar yakni melayani dan memberi hidup. Yesus memberi hidup-Nya kepada semua orang, bukan ‘banyak orang’ seperti terjemahan LAI-TB. Istilah ‘polloi’ lebih bersifat inklusif (semua) ketimbang eksklusif (banyak). Terjemahan yang tepat adalah ‘untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi semua orang’.

Pertanyaan Petrus, kelihatannya sederhana. Tetapi jawaban Yesus yang panjang menyingkapkan pertanyaan Petrus merupakan pertanyaan penting. Pertanyaan Petrus menyingkapkan tiadanya kasih karena ingin memperoleh ketimbang memberi. Pertanyaan Petrus menafikan kesetaraan manusia karena ia memiliki hasrat untuk mengekploitasi manusia lainnya untuk kepentingan diri sendiri. Pertanyaan Petrus menguak sikap ingin menguasai karena ingin dilayani ketimbang melayani. Jika Petrus, seorang murid yang dekat dengan Yesus, sampai mengutarakan keinginan demikian, barangkali tidak salah jika dikatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki mentalitas apa yang kuperoleh dalam dirinya. Ada manusia yang berhasil mengartikulasikan hasrat tersebut bahkan menggapainya dengan berbagai cara. Tetapi lebih banyak manusia tidak memenuhinya. Mentalitas seperti itu perlu ditransformasi secara radikal. Mentalitas apa yang kuperoleh tidak sesuai dengan norma kerajaan Allah. Cara pandang Petrus demikian perlu diubah radikal. Bukan mentalitas apa yang kuperoleh melainkan mentalitas apa yang kuberi yang perlu ditumbuhkembangkan oleh setiap pengikut Yesus. Mentalitas apa yang kuberi? Mencerminkan kasih yang didasarkan pada kesadaran kesetaraan manusia dan merupakan implementasi kuasa yang melayani orang lain. Ringkasnya, konsep-konsep kasih, keadilan dan kuasa terangkum ringkas dalam sikap hidup apa yang kuberi?

Sebagai warga kerajaan Allah yang melayani di bidang medis, mulailah hari dengan pertanyaan apa yang kuberi hari ini kepada sesamaku? Cobalah melihat pasien bukan dalam kerangka pikir apa yang kuperoleh dari pasien ini?, melainkan melihatnya dengan kacamata norma kerajaan Allah, apa yang kuberi kepadanya hari ini? Dengan memiliki sikap hidup apa yang kuberi, hidup lebih bermakna dan berarti. Bukankah kasih itu berarti memberi? Dan bukankah memberi lebih berbahagia dibanding menerima?
_________________________________________________________________
"Apakah yang Aku Peroleh" oleh Pdt. Armand Barus 
Dalam Majalah Samaritan Edisi Tahun 2008

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag