Sabtu, 06 Oktober 2007

Revitalisasi Puskesmas

Handrawan Nadesul

Halaman depan harian ini mengungkap temuan Litbang Kompas ihwal ketidakterjangkauan ratusan puskesmas oleh masyarakatnya. Diungkap pula, tak gampang mengajak tenaga dokter bersedia ditempatkan di daerah terpencil (Kompas, 23/8). Fakta itu perlu dibeberkan mengingat puskesmas adalah ujung tombak berhasil-tidaknya pembangunan kesehatan. Itu pula sebab salah satu indikator kualitas bangsa, sebut saja human development index (HDI), kita masih di urutan bawah. Minimal ada tiga masalah. Pertama, tidak semua puskesmas melaksanakan lebih dari 10 programnya. Kedua, maladistribusi tenaga dokter belum tertuntaskan. Ketiga, sejak otonomi daerah, tidak semua wilayah berorientasi pembangunan kesehatan dasar (primary health care). Bukan rumah sakit Konsep puskesmas seharusnya menjemput bola. Perannya bukan seperti rumah sakit yang menunggu pasien berkunjung. Untuk daerah terpencil yang sulit terjangkau, puskesmas harus lebih mendekat ke masyarakat agar mereka tidak telanjur sakit. Bila masyarakat tidak dibina, mereka rentan jatuh sakit. Puskesmas dinilai gagal jika pasien yang berobat bertambah banyak. Apalagi jika penyakitnya itu-itu lagi dan terjangkit kasus endemis diare, malaria, demam berdarah, yang masih di situ-situ lagi. Agar masyarakat lebih sehat, lebih dari 10 program preventif, promotif, dan rehabilitatif harus dijalankan. Pengobatan cuma satu dari 10 program dengan target agar masyarakat tak sakit. Idealnya, dokter puskesmas berada di lapangan selama tiga perempat jam kerja, bukan duduk menunggu pasien datang. Tidak semua lulusan dokter mengusung idealisme karena menjadi dokter puskesmas hanya batu loncatan agar bisa mengambil spesialisasi. Apalagi, motivasi mayoritas lulusan dokter tak penuh demi menyehatkan masyarakat. Jadi program puskesmas tak selalu berjalan mulus. Konsep bagus, (primary health care), tetapi implementasinya buruk. Bukan obat murah, pun bukan layanan medis yang harus ditingkatkan, tetapi masyarakat harus diberdayakan hidup sehat. Solusi kesehatan akar rumput lebih pada jamban, selokan, dan air bersih karena di situ masalah kesehatan lapisan bawah bermula. Termasuk meningkatkan gizi. Untuk memberdayakan masyarakat agar tak sakit, perlu banyak penyuluhan (komunikasi, informasi, edukasi). Rantai di hulu harus dipotong agar masyarakat batal sakit. Memberi obat murah atau rumah sakit gratis berarti menunggu masyarakat telanjur sakit di hilir. Puskesmas bertugas memutus rantai penyakit sejak di hulu, bukan menunggu setelah telanjur tiba di hilir. Akibat perilaku masyarakat telanjur tak sehat, tugas pemerintah bertambah berat, anggaran habis buat beli obat. Tak perlu dokter Ada tiga hal mengapa dari dulu tak mudah menarik lulusan dokter bekerja di puskesmas. Pertama, penghargaan pemerintah tak memadai. Dokter di Thailand dan India brain-drain, ada kecemburuan profesi, sekolah sama-sama susah dengan sejawat di negara maju, tetapi penghasilannya jauh berbeda. Kedua, pendidikan dokter kita tidak menyiapkan lulusan untuk siap bekerja di puskesmas. Kelewat banyak ilmu di bangsal tak terpakai. Dokter puskesmas lebih bersifat manajerial dan butuh bekal ilmu-ilmu sosial. Lulusan sarjana kesehatan masyarakat (SKM) dinilai lebih tepat. Selain lulusannya lebih berkompeten bekerja di lapangan, sekolah SKM tak semahal dokter. Layanan medis didelegasikan kepada paramedis. Ketiga, memberi insentif kepada dokter puskesmas belum tentu menyelesaikan meratanya distribusi layanan puskesmas. Rusia sejak awal memotivasi calon dokter bersedia menjadi dokter lapangan ("bare foot" doctor). Mereka disiapkan membangun kesehatan masyarakat. Namun, tak ada sanksi buat dokter puskesmas kita yang kurang bersungguh-sungguh menjalankan tugas. Revitalisasi Puskesmas Sektor kesehatan kita dianggap ongkos, bukan investasi. Maka kita terlambat mengangkat masyarakat menjadi sumber daya manusia unggul produktif karena tidak menyemai hidup sehat, yang dituai masyarakat rentan sakit, tak diberdayakan sehat. Solusi prioritas layanan "jalur lambat" untuk masyarakat papa bukan urusan medis teknis, tetapi mendorong membuat jamban, memperbaiki sanitasi, dan tersedianya air bersih, lalu menyuluh hidup sehat. Peran radio dan televisi ala kelompencapir bisa menjadi pilihan efektif. Peran puskesmas perlu dibugarkan. Kebijakan otonomi daerah menghadirkan kembali kader kesehatan dan posyandu. Dipertimbangkan tenaga SKM menggantikan dokter puskesmas karena SKM lebih kapabel membina masyarakat. Dengan begitu, tak perlu ada lagi puskesmas yang tidur, atau bekerja separuh hati.


HANDRAWAN NADESUL, dokter, Pernah Memegang Tiga Puskesmas

Sumber: http://www.kompas. com/kompas- cetak/0708/ 31/opini/ 3796826.htm

dr. Kokoh Iwan Prasetya
HIV/AIDS Project - Health Specialist
Project Concern International (PCI) Indonesia
Nabire - Papua

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag