Tahun lalu ibu saya, Rose, kehilangan sahabat baiknya selama lima puluh tahun, Rosa, karena kanker. Sepanjang hidupnya, Ibu dan Rosa menjalin persahabatan dan keluarga kami sudah menjadi seperti saudara. Kedua wanita itu mengenal dan memahami baik dalam keadaan senang maupun susah. Mereka saling memberi warna dalam hidup dan kebijaksanaan. Persahabatan mereka dimulai ketika mereka berdua baru saja menikah. Mereka saling mengundang untuk pesta barbekiu dan koktail, dan bersama-sama belajar memasak. Beberapa tahun kemudian keduanya sama-sama hamil dan mulai menjalani hidup sebagai seorang ibu. Dengan berlalunya waktu, mereka saling berbagi dalam melewati masa-masa senang maupun susah dalam membesarkan anak-anaknya. Mereka berdua saling mendukung dan menguatkan sehingga dapat melewati hari-harinya dengan penuh semangat. Saat Rosa didiagnosa menderita kanker, ibu saya menjadi pendukung utamanya agat tetap tabah. Ketika mengalami ketakutan dan kehilangan kontrol, ibu membantu untuk mengatur menu makannya, membuat janji dan mengantar ke dokter, membantu suami Rosa untuk membesarkan anak-anaknya, dan jika bisa, menterjemahkan istilah-istilah medis yang membingungkan keluarga itu. Ibu saya adalah seorang penolong yang tulus, memberikan kasih dan dukungan yang sangat dibutuhkan oleh Rosa dan keluarganya. Penyakit yang diidap Rosa cukup ganas, dan setahun kemudian dia meninggal. Dalam kesedihannya ibu membantu keluarga Rosa untuk mengatur pemakaman. Dia juga menenangkan keluarga Rosa dengan membantu dalam pengambilan keputusan penting yang diperlukan. Padahal pada kenyataannya, ibu sendiri membutuhkan terapi untuk mengatasi kesedihannya yang dalam karena kehilangan seorang sahabat baik. Beberapa waktu setelah Rosa meninggal, Jean, suaminya, memanggil ibu saya karena ada permintaan dari anaknya Marsha yang tinggal di luar kota. "Rose," katanya, "Ketika Marsha datang saat pemakaman Rosa, dia naik turun rumah ini untuk mencari taplak meja yang katanya Rosa sedang dibuat, disulam atau semacamnya. Saya tidak tahu dimana Rosa meletakkannya, dan Marsha sangat sedih. Saya pikir Rosa sedang mengerjakannya untuk Marsha. Apakah kamu tahu dimana kira-kira Rosa meletakkan taplak meja itu?" Hari berikutnya, ibu saya, dengan hati yang masih sedih karena kehilangan seorang sahabat, berdiri di depan rumah Rosa. Masuk ke ruang makan, selama lima puluh tahun mengerti dengan benar kebiasaan Rosa menuntunnya untuk membuka sebuah laci di lemari China. Dari dalamnya dia mengeluarkan taplak meja dan serbet yang dicari Marsha. Ibu membentangkan kain sulaman itu, dan berkata kepada Jean, "Saya ingat Rosa pernah bercerita mengenai hal ini sebelum sakit. Dia memang sedang membuatnya untuk Marsha, tetapi baru selesai setengah. Apakah kamu ingin saya menyelesaikannya?" Ibu membawa pulang kain itu ke rumah dan mempelajari hasil kerja yang sudah diselesaikan sahabatnya itu. Dengan air mata di pipi tetapi hati mulai dipulihkan, ibu memasukkan benang ke dalam jarum dan mulai menyulam. Hari-hari selama menyulam taplak meja, setiap kali jarum jahit ditusukkan, kepedihannya berangsur-angsur mulai dipulihkan.. Taplak meja akhirnya selesai disulam dan diseterika. Ibu meletakkan di pangkuannya dan memperhatikan perpaduan hasil sulamannya dan Rosa. Itu membawa perenungan tentang kerjasama dan pemikiran yang begitu nyata lebih dari sekedar menambahkan sebuah sulaman. Dengan penuh kehati-hatian, ibu membungkus taplak itu dengan kertas yang lembut, memasukkan ke dalam kotak dan mengirimkan ke anak perempuan dari sahabat baiknya. Oleh Carol Bryant
Dikutip dari Milis PESTA - Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam - ALUMNI
Dikutip dari Milis PESTA - Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam - ALUMNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar