Tahun ketika saya bercerai adalah masa terberat yang pernah saya hadapi. Sebuah kecelakaan lalu lintas, hanya dua minggu setelah saya berpisah dengan suami, membuat saya dirawat selama dua minggu, dan masih memerlukan pemulihan selama dua bulan. Akhirnya sudah cukup sehat dan kembali bekerja, saya harus berhadapan dengan tanggung jawab untuk mencari rumah tinggal, merawat dua anak dan menyesuaikan dengan pekerjaan baru - dimana semuanya membuat kepala saya sakit. "Mama hanya punya dua tangan, sayang," penjelasan saya kepada anak-anak saat mereka setiap waktu datang untuk minta dibacakan buku cerita, membantu mengerjakan PR atau hanya untuk bercakap-cakap. Karena pikiran sangat kacau, saya tidak mampu membantu menyelesaikan penderitaan dan masalah mereka. Rasa bersalah ini menambah beban hidup yang membuat saya semakin tertekan. Kemudia saya jatuh sakit. Komplikasi antara flu yang parah dan infeksi membuat saya tebaring di tempat tidur selama seminggu. Tiap pagi anak-anak bangun sendiri dan pergi ke sekolah. Mereka pulang dan membuat makan sendiri. Saya dalam keadaan setengah sadar dibangunkan dan makan sup ayam kaleng yang diberikan oleh anak saya. Saya teronggok diantara keadaan sadar dan tidak. Ketika sudah mampu bergerak dan berdiri dari tempat tidur serta berjalan sekeliling rumah, saya mendapatkan semuanya dalam keadaan berantakan. Cucian baju dan piring-piring kotor menggunung; sampah berserakan di mana-mana. Saya merasa tidak akan mampu menyelesaikan semua kekacauan ini lagi. Kartu ATM saya juga kritis, dimana saya tidak dibayar karena tidak masuk bekerja. Hal yang lain adalah saya tidak memperoleh dukungan keuangan untuk anak-anak dalam perceraian ini. Itu semua semua memaksa saya harus kembali bekerja walaupun kesehatan saya belum pulih benar. Anak-anak mulai menelpon saya di tempat kerja, "Ma saya sakit; badan saya tidak enak. Tolong ke sekolah jemput saya; Saya ketinggalan bis sekolah - benar Ma, saya tidak mendengar pengumuman bahwa bis saya sudah datang!" Telpon itu datang pada saat saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Tiap telpon berarti saya harus meninggalkan tempat kerja - dan saya akan kehilangan gaji. Hari itu, kedua anak saya menelpon berselang lima menit. Keduanya sudah minta dijemput sore hari. Apakah saya bisa menjemput mereka? Saat saya buru-buru meluncur dari tempat kerja, hujan deras turun. Saya menangis saat berhenti di depan sekolah mereka. Semua ini terlalu berat, dan saya tidak ingin melakukannya lagi. Tampak tidak ada akhirnya dan tidak ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam perjalanan pulang, awan perlahan menghilang dan sinar matahari menerangi jalanan yang masih basah. Sebuah pelangi yang besar muncul di langit depan kami, dengan warna cemerlang yang sangat nyata. Itu adalah pelangi terindah yang pernah saya lihat, dan anak-anak juga tertegun. "Apakah di kaki pelangi benar-benar ada pot penuh emas, seperti cerita di buku?" anak bungsu saya bertanya. Saya menjawab, sejujurnya belum pernah melihat ujung kaki pelangi. "Bagaimana mereka bisa tahu?" tanyanya lagi. "Mama tidak tahu," saya menjawab. "Ma kelihatannya kaki pelangi ada di seberang jembatan itu," katanya lagi. "Ayo kita coba lihat, Mama?" Di dalam kepala, saya memikirkan ratusan pekerjaan yang harus dilakukan setelah ini. Ada sisa pekerjaan di kantor; banyak pekerjaan rumah dan cucian yang harus dibereskan. Saya membuka mulut untuk berkata 'tidak', tetapi saat berbicara, suara yang keluar adalah kata "Ya". Anak-anak bersorak kegirangan. Ujung kaki pelangi tampaknya ada di seberang jembatan, atau melintasi rel kereta api, atau di ladang di seberangnya lagi. Mobil terus melaju sampai empat puluh lima kilo meter, kadang pelangi berujung tepat di atas kepala kami, warnanya berkelip-kelip dan bersinar serta cahaya berkilauan menari di sekelilingnya. Saya melihat anak-anak saya, mata mereka bercahaya, dan kembali memandang pelangi di depan kami serta tetap mengendarai mobil yang terus melaju. Kami tertawa dan berkacap-kacap - benar-benar berbicara dengan santai dari hati ke hati - untuk pertama kami setelah berbulan-bulan. Kami berbicara tentang kecelakaan yang saya alami, perceraian, kekuatiran mereka, sekolah mereka, dan impian mereka. Kami merencanakan perjalanan berikutnya dan hal-hal yang ingin kami capai. Saya merasa bahu saya menjadi lebih ringan dan pegangan tangan di setir mengendor. Tidak ada kekuatiran sedikit pun di mata anak-anak saya. Satu jam kemudian kami memutuskan untuk berhenti mengejar pelangi. Kami berbalik dan pulang. Kami menemukan sesuatu yang indah selama mengejar pelangi itu, sesuatu yang bahkan lebih baik daripada satu pot penuh emas di kaki pelangi. Kami merasakan menjadi sebuah keluarga yang utuh lagi; kami menggali kembali hubungan yang indah satu dengan yang lain. Kami ingat kembali bagaimana rasanya bersenang-senang bersama. Dan kami mulai membuat rencana-rancana untuk masa depan yang menjanjikan dan penuh harapan. Beberapa tahun telah lewat, dan kedua anak saya sudah tumbuh besar. Tetapi saat melewatkan waktu bersama ada ikatan kuat di antara kita. Salah satu dari kami akan tersenyum dan berkata, (I¡È(BApakah kita masih ingat waktu mengejar pelangi?(I¡É(B Kami tentu masih ingat. Itu adalah hari dimana kami menemukan harapan lagi.(Oleh Terri C. Cheney)
Dikutip dari Milis PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam) ALUMNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar