
Harapan terlaksananya SJSN tersebut muncul dengan adanya program Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (ASKESKIN). Walaupun belum mengikuti kaidah-kaidah asuransi kesehatan sosial sebagaimana seharusnya, dengan kepesertaan yang cukup besar diharapkan program ASKESKIN ini dapat menjadi entry point untuk pengembangan ASKES yang bersifat universal coverage.
Tanpa mengurangi atas niat baik dan keberhasilan sampai saat ini, PB IDI mengamati bahwa program ASKESKIN sedang berada pada titik kritis, yang kalau tidak segera diambil tindakan, akan menjadi persoalan yang sangat rawan. Mudah-mudahan, apabila dapat ditangani dengan baik (dan melalui pembelajaran yang terus-menerus) diharapkan akan semakin menandai keberhasilan pembangunan dalam bidang kesehatan, khususnya penataan sub-sistem pembiayaan kesehatan sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional bangsa Indonesia.
Dikatakan kritis karena, berdasarkan data-data yang didapatkan PB IDI:
1. Hampir seluruh rumah sakit di Indonesia yang menyelenggarakan program ASKESKIN :
- Belum dibayarkan uangnya (piutangnya) oleh PT ASKES (PERSERO) sejak Bulan Mei 2007.
Artinya sudah hampir 5 (lima) bulan, cash flow rumah sakit mengalami guncangan. Guncangan ini terjadi karena uang yang belum dibayar ini merupakan komponen operasional (selain obat) yang vital dan dibutuhkan rumah-rumah sakit, antara lain : penggantian/ pembelian bahan habis pakai, pembayaran jasa medik dan paramedik. - Khusus untuk obat. Informasi yang didapatkan, sejak Bulan Februari 2007 suplier obat belum dibayar.
Artinya sudah hampir 7 (tujuh) bulan, rumah sakit mengalami permasalahan dalam hal penyediaan logistik obatnya. Suplier obat yang selama ini masih berani menunggu pembayaran dari rumah-rumah sakit untuk beberapa bulan, mulai tidak berani mensuplai obat di rumah-rumah sakit karena -dengan asumsi- suplier obat tidak dapat terus menerus berhutang pula ke pihak-pihak/ mitra industrinya.
2. Pihak PT. ASKES sebagai verifikator dan juru bayar program ASKESKIN sampai saat ini hanya menyisakan saldo sekitar Rp 123 milyar. Sedangkan total perhitungan kewajiban (hutang) yang masih harus dibayar sampai tanggal 31 Juli 2007 sekitar Rp 1,56 trilyun.
3. Menkes RI menyatakan bahwa saat ini sedang melakukan upaya menyiapkan dana tambahan untuk program ASKESKIN sebesar Rp 1,7 trilyun. Diharapkan dana tersebut diperoleh dari efisiensi dan optimalisasi kegiatan/project di Departemen Kesehatan, sebesar Rp 1 trilyun, ditambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2007 Rp 700 milyar.
Berdasarkan data-data di atas, PB IDI memandang bahwa LAMPU KUNING mulai menyala untuk program ASKESKIN, karena:
- Setiap hari, masyarakat miskin yang sakit selalu ada dan membutuhkan perawatan di rumah sakit.
- Sampai hari ini rumah sakit tetap terbebani biaya operasional yang tidak jelas harus darimana mendapatkannya.
- Obat-obatan tidak secara adequate tercukupi.
- Terjadi dilema bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan, khususnya petugas kesehatan (dokter dan lain-lain), satu sisi kewajiban untuk membantu masyarakat sakit apapun keadaannya, namun pada sisi lain karena keterbatasan yang ada: diagnosis danpengobatan yang diberikan dapat menjadi tidak optimal.
Keadaan ini diperkirakan akan terus menjadi persoalan sampai akhir tahun 2007, mengingat:
- Kalaupun dana efisiensi dan optimalisasi kegiatan Depkes serta APBN-P terpenuhi, kemungkinan kekosongan anggaran untuk program ASKESKIN tetap akan terjadi, khususnya untuk periode Oktober sampai Desember 2007. Hal ini karena, perhitungan kewajiban yang harus dibayar ke rumah-rumah sakit sampai bulan September ini saja, diperkirakan akan lebih dari Rp 1,56 trilyun.
- Rencana dana dari optimalisasi dan efisiensi kegiatan Depkes serta APBN-P, hanyalah sebesar 1,7 trilyun.
- Sampai 31 Juli 2007, perkiraan kewajiban/hutang yang harus dibayar ke rumah sakit oleh PT. ASKES sudah mencapai +/- Rp. 1,56 trilyun (30%-nya sudah diverifikasi) .
- Dengan asumsi bahwa permasalahan adanya issue penggelembungan dana program ASKESKIN hanya terjadi di beberapa rumah sakit sehingga tidak ada masalah berarti dalam verifikasinya maka sisa dana yang ada setelah 31 Juli 2007, hanyalah sebesar Rp 140 milyar (Rp 1,7 trilyun - Rp 1,56 trilyun).
- Artinya untuk persiapan pembayaran tagihan Bulan Agustus sampai Desember 2007,
Depkes (melalui PT. ASKES) hanya memiliki dana sebesar Rp 140 milyar. - Sebagai catatan: selama periode 3 bulan pertama tahun 2007, rata-rata tagihan mencapai 1,5 trilyun. Bulan Agustus sampai Desember 2007 (5 bulan terakhir tahun 2007), dengan kemungkinan angka kesakitan meningkat (antara lain: karena dampak musim hujan), tentu membutuhkan dana jauh lebih besar dari ketersediaan uang sebesar yang hanya Rp 140 milyar tersebut.
Dengan demikian, terhadap situasi dan kondisi serta permasalahan yang dapat diprediksikan tersebut, PB IDI memandang:
- Walaupun secara etika pelayanan kesehatan merupakan satu tindakan yang tidak etis, namun mengingat ada faktor pembenar dan pemaafnya, yaitu kondisi dan daya dukung keuangan rumah sakit yang tidak memungkinkan, maka PB IDI sangat memahami berkembangnya issue bahwa beberapa rumah sakit di daerah yang melayani masyarakat miskin, tidak memungkinkan lagi melayani masyarakat miskin (mulai menolak atau menolong seadanyamasyarakat miskin yang datang berobat).
- Dokter tetap diharapkan dapat memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi yang tertinggi berdasarkan nilai-nilai humanisme, etika dan kompetensinya, sementara menunggu perhitungan yang lebih rasional atas jasa medis/kompensasi-resiko- pekerjaan- profesi
- Untuk itu, dalam:
a. Jangka Pendek:
- Harus segera dicarikan dana segar sambil menunggu optimalisasi dan efisiensi kegiatan Depkes dan APBN-P, yang membutuhkan proses tertentu, yang waktunya relatif tidak dapat diprediksikan secara pasti (karena harus dibicarakan Depkes dengan berbagai pihak, antara lain: DPR RI).
- PB IDI mengusulkan, salah satu sumber dana segar yang dimaksud antara lain: pinjaman dari BUMN, pinjaman dari dana-dana pemda yang menganggurdi dalam Bank Pembangunan Daerah masing-masing [beberapa waktu lalu terberitakan, tersimpan dalam bentuk SBI (Sertifikat Bank Indonesia)], dana lain yang langsung berasal dari PEMDA Kab/Kota (beberapa PEMDA Kab/Kota saat ini mulai memberikan kontribusinya) .
- Adanya dana segar tersebut (yang dipinjam sesuai dengan mekanisme keuangan negara yang memungkinkan untuk itu dan adanya jaminan pengembalian pada APBN tahun berikutnya), dapat dipergunakan untuk menghidupkankembali kondisi keuangan rumah-rumah sakit, sambil menunggu anggaran turun atau sebagai persiapan dana talangan apabila tagihan program ASKESKIN oleh rumah-rumah sakit sampai akhir tahun 2007 ternyata melebihi dana hasil efisiensi dan optimalisasi kegiatan Depkes serta APBN-P 2007.
b. Jangka Menengah: - Lakukan analisis mendalam dan komprehensif serta pengembangan solusinya terhadap sistem pembiayaan kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan dalam program ASKESKIN.
- Analisis tersebut meliputi:
1) analisis input (antara lain: regulasi, guidance, estimasi anggaran yang lebih predictable)
2) analisis proses (antara lain: sistem pelayanan kesehatan yang ideal untuk menunjangberjalannya program ASKESKIN, moral hazard yang terjadi pada rumah sakit-petugas kesehatan-dan masyarakat), dan apabila diperlukan
3) analisis pada level output dan outcome (antara lain: penurunan angka kematian dan kesakitan dalam memperbaiki Human Development Index dan pencapaian Millenium Development Goal sejak diberlakukannya program ASKESKIN). - Mulai dikembangkan dan diperkuat model pelayanan medik dasar (primary medical care) berdasarkan mekanisme pelayanan kesehatan dengan pembiayaan pra-upaya (pra-bayar) dalam arti sesungguhnya, yang menjamin terjadinya proses rujukan yang baik (pelayanan medik dasar sebagai gate keeper penapis menuju pelayanan medik tingkat spesialis dan sub-spesialis di rumah-rumah sakit)
c. Jangka Panjang: - Sebagai sebuah kebijakan, program ASKESKIN harus dipertahankan namun sistem/ pelaksanaannya harus terus menerus diperbaiki sesuai dengan prinsip-prinsip dan azas sistem pembiayaan dan sistem pelayanan kesehatan yang ideal.
- Mulai ada tahapan untuk mengimplementasikan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), paling tidak dimulai dengan program Jaminan Sosial Bidang Kesehatan, sebagaimana amanat UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Demikian siaran pers PB IDI.
Jakarta, 20 September 2007
Ketua Umum PB IDIDR. Dr. Fachmi Idris, MKes.
Sumber : CMEDNet (dr. Kokoh Iwan Prasetya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar