(Susan M. Christiansen)
Saya tidak ingat kapan tepatnya pertama kali bertemu dengan Martha Raye, dimana kami memanggilnya Kolonel Maggie. Seperti pada umunya para veteran perang Vietnam, segera saat bertemu, saya langsung merasa begitu akrab dengannya.
Pertemuan saya berikutnya dengan Kolonel Maggie terjadi di Hotel Bonaventure di Los Angeles tahun 1987, pada sebuah konvensi nasional para veteran. Kolonel Maggie ada di sana, dan sepanjang hari dia menjadi pusat perhatian.
Kemudian saya melihat seorang laki-laki buta, berdiri beberapa hari dengan diam di luar ruang pertemuan, ditemani seekor anjing penuntun di sampingnya. Beberapa veteran mencoba untuk menawarkan bantuan, tetapi dia menggelengkan kepalanya. Akhirnya mereka meminta saya untuk menemuinya.
Saya menghampiri laki-laki itu dan bertanya apa yang dia tunggu selama beberapa hari ini.
“Saya menunggu Kolonel Maggie untuk bisa menemui saya, bu. Saya tidak berani untuk mengganggunya.” Saya segera meminta Chuck untuk mengantarkan laki-laki itu menemui Kolonel Maggie.
Maggie berdiri di depannya dan bertanya, “Ada apa prajurit? Kamu ingin bertemu dengan saya?” Bahkan anjing penuntun di sampingnya ikut berdiri saat dia menjawab, “Ya bu!”
“Baiklah, sekarang saya ada di sini. Ada apa?”
“Saya bertugas di Vietnam di ... “ Maggie menyelesaikan perkataannya dengan menyebutkan tempat di mana dia bertemu dengan prajurit itu, bahkan menyebutkan tahunnya.
Semua orang yang berdiri mengerumuni Kolonel Maggie, merasa kagum dengan ingatannya yang sangat tajam. Saya sendiri hanya tersenyum; karena memang itu ciri khas dari Maggie.
Ketika Maggie dan laki-laki itu (kami lupa menanyakan namanya) mengenang pertemuan mereka, wajah prajurit buta itu memancarkan kebahagiaan. Akhirnya dia mengatakan sesuatu yang telah ditunggunya selama dua puluh tahun berlalu.
“Kolonel Maggie,” dia mulai, “Ketika saya terluka parah, kolonel tetap tinggal bertahan di dalam lubang perlindungan menunggui saya, menopang saya dan bernyanyi sampai team medis datang. Semua ketakukan saya lenyap saat saya bersama kolonel.”
Mereka berdua saling memandang ke mata masing-masing. Bagaimana pun juga, kami tahu bahwa mereka sedang melihat sebuah kejadian nyata yang telah lama terlangsung; dan saat ini kebutaannya tidak mennjadi hal yang penting. Semuanya berdiam dalam keheningan, sampai bisa mendengarkan langkah kaki tentara yang ada di jarak enam belas ribu mil jauhnya.
“Ketika dokter akan membalut mata saya, kolonel mencegahnya,” dia meneruskan, suaranya bergetar. “Saat itu kolonel memandang mata saya dan berkata, ‘suatu hari kita akan bertemu dan saling melihat lagi’ “ .
“Ya, kembali ke tempat perawatan, saat mereka melepas perban di mata saya, mereka berkata bahwa saya tidak akan bisa melihat apa-apa lagi. Saya sama sekali tidak merasa depresi. Saya tahu saya bisa terus hidup dengan ini” - dia menunjuk kepada kedua matanya yang tidak bisa melihat - “Karena hal terakhir yang bisa saya lihat adalah pemandangan yang paling indah yang bisa saya lihat dalam hidup saya, yaitu anda Kolonel.”
Maggie memeluk laki-laki itu dan kami semua menumpahkan air mata. Dan veteran itu? Dari matanya terpancar kilatan bahagia dari dalam hatinya. Dan Maggie? Sekali lagi, dia memberi laki-laki itu tepat apa yang diinginkannya - saat dia membutuhkannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas
Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Email : pmdn_perkantas@yahoo.com
Facebook : Add as a friend : Pelayanan Medis Nasional Perkantas or Like our Fan Page : Christian Medical and Dental Fellowship (CMDFI)
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag
Tidak ada komentar:
Posting Komentar