Rabu, 09 Juli 2008

SEKARANG DUA SISI
(Oleh Bobbie Probstein)


Setelah ibu meninggal, ayah saya mencoba dengan keras untuk bisa tetap sehat dan aktif. Tiap pagi, sampai sebelum musim dingin, dia berenang di kolam renang yang terdapat di kompleks tempat tinggal kami. Setiap hari - tidak peduli bagaimana kondisi badannya - dia berenang satu putaran lebih banyak dari hari sebelumnya, hanya untuk membuktikan bahwa selalu masih tersedia tempat untuk perbaikan dari sebelumnya. Setiap beberapa hari sekali ayah akan melaporkan jumlah putaran renangnya dengan rasa bangga. Saya kemudian akan menjawab dengan jujur, " Itu luar biasa Yah. Saya tidak tahu apakah masih sanggup berenang sejauh itu!"

Saat menginjak tujuh puluhan, selain berenang dan bekerja enam hari seminggu, nampak bahwa kekuatan dan energi ayah mulai berkurang. Di usia delapan puluh satu kesehatannya memburuk dan harus pensiun. Dia berpura-pura tidak membutuhkan bantuan saya waktu berjalan perlahan-lahan, dan saya berpura-pura tidak memperhatikannya. Ingatannya masih kuat, tetapi ayah mulai memiliki masalah dengan jantungnya dan radang sendi yang membuatnya lemah.

Suatu hari ayah berkata, "Jika kondisi darurat terjadi, saya tidak ingin dipertahankan hidup dengan bantuan alat medis apa pun. Saya sudah menandatangani pernyataan resmi untuk masalah ini," ayah tersenyum lebar dan bahagia berkata, "Saya sudah diberkati dengan memiliki ibumu sebagai istriku dan kamu sebagai satu-satunya anakku. Sekarang saya sudah siap untuk pergi."

Kurang dari satu bulan ayah terkena serangan jantung. Di ruang UGD dia mengingatkan lagi kepada dokter dan saya tentang permintaannya, tetapi saya tidak bisa membayangkan kalau dia akan selalu mengatakan - di dalam kondisi kritisnya, "Apakah saya sudah memberitahumu hari ini bahwa saya mencintaimu?"

Dia terlihat menderita di ruang perawatan intensif dimana tabung-tabung berdatangan setiap pagi. Tetapi ayah tetap tidak kehilangan selera humornya, bertanya, "Apakah ini berarti kita tidak bisa membuat janji untuk makan malam besok?" Suaranya terputus-putus.

"Saya akan datang untuk menjemput ayah dan kita bersama-sama pergi ke tempat yang spesial," jawab saya dengan parau karena adanya sumbatan di tenggorokan saya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya ayah menolak memandang saya dan dia berpaling ke arah tembok kosong berwarna hijau di samping tempat tidurnya. Ada keheningan yang menyakitkan diantara kami. Ayah berkata, "Ayah tidak ingin kamu mengingat ayah dalam keadaan seperti ini. Berjanjilah untuk tidak mengingatnya, sayangku! Dan sekarang tolong pergilah. Ayah sangat sedih."

Malam itu, saat kembali ke rumah sakit dengan suami saya, perawat melarang saya untuk masuk menjumpai ayah. "Dia mempunyai masalah kecil," kata perawat yang lain. "Mohon tunggu di ruang tunggu dan kami akan menghubungi Anda secepat mungkin,"

Saya duduk dan menggenggam tangan suami saya sekitar sepuluh menit. Tiba-tiba saya tersentak dan jantung saya berhenti berdetak. "Ayah meninggal. Saya bisa merasakannya!" Saya melompat, berlari ke ruang perawatan intensif dan mengetuk pintu. "Biarkan saya masuk dan bertemu Ayah." Saya memohon.

"Dia sudah meninggal beberapa saat lalu," seorang perawat menjawab. "Tolong kembali ke ruang tunggu dulu dan kami akan menghubungi Anda beberapa menit lagi." Mereka menghalangi pintu sehingga saya tidak bisa menerobos masuk.

Saya merasa seolah-olah orang yang saya kasihi ini tidak akan mati. Ayah begitu kokoh dan hadir dengan penuh kasih dalam hidup saya. Bertentangan dengan apa yang telah dikatakan oleh para perawat, hati saya menolak untuk percaya bahwa ayah meninggal dengan begitu cepat. Saya sangat kesal karena saat Ayah meninggal saya tidak ada di sisinya, memegang tangannya dan mengatakan kalau saya mengasihinya. Seharusnya kejadiaannya seperti itu, hati saya memprotes, "Kamu seharusnya mengatakan bahwa kamu mencintainya seperti yang selama ini sudah dilakukannya. Kamu seharusnya ada di sisinya. Itu akan sangat berarti banginya. Itu yang seharusnya kamu lakukan!" Dan saya merasakan rasa bersalah bercampur dengan duka cita yang mendalam.

Bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya saya merasakan bahwa menjadi anak yang penuh perhatian dan kasih itu belum cukup. Tidak ada yang bisa merubah perasaan saya yang mengeras bahwa saya tidak ada di sisi Ayah di saat yang paling dibutuhkannya.

Tetapi sekarang sebuah mimpi sudah membebaskan semua tekanan dalam diri saya.

Setelah beberapa tahun, ayah datang dalam mimpi untuk memberitahu sebuah saya sebuah cerita dari pandangannya:

"Kamu tahu Ayah masih bekerja lama setelah usia pensiun. Dan saat lutut Ayah tidak kuat untuk menopang lagi, Ayah merasa malu karena begitu lemah. Diatas semuanya, Ayah tidak ingin kamu melihat Ayah sebagai orang yang tidak berdaya terbaring di rumah sakit. Sangat menyakitkan melihat kamu menjenguk ayah. Jadi Ayah akan mengatakan yang sebenarnya anakku sayang: Ayah tahu bahwa kamu menyayangi Ayah seperti Ayah menyayangimu. Ayah tidak ingin kamu ada di samping Ayah dan menggenggam tangan Ayah saat Ayah meninggal. Itu yang kamu inginkan, tapi bukan keinginan Ayah. Kematian Ayah sudah sempurna, sebagaimana adanya. Ada dua sisi untuk segala sesuatu - termasuk kematian. "

--------------------------------------------------------------------
PESTA ====Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam===== ALUMNI

G

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag