Pelupa bukan ‘penyakit’ baru, tapi pamornya naik daun karena berita menyangkut berita Nunun Nurbaeti Daradjatun belum lama ini. Kabarnya, kombinasi migrain dan vertigo menyebabkan saksi kunci kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) itu mengalami serangan ‘lupa berat’. Akibatnya, upaya penyidikan terhadap kasus itu terhambat.
Berita ini ditanggapi dengan serius dan guyon. Hayoo... benarkah ia lupa atau pura-pura lupa? Tak perlu berprasangka dulu, sakit lupa memang lumrah terjadi dan lupa berat bisa muncul seiring bertambahnya usia.
Lupa merupakan proses normal. Menurut dr. Adre Mayza, SpS(K), Kepala Bidang Penanggulan Inteligensi Kesehatan Depkes RI, dan anggota Perdossi (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia), setiap informasi yang masuk ke otak sebagian disimpan dan sebagian yang lain dilupakan.
Dokter Adre memaparkan, informasi yang masuk ke otak diterima oleh otak dalam bentuk persepsi. Persepsi adalah rangkaian proses mengenali, mengatur, dan memahami sensasi dari pancaindra yang diterima dari rangsang lingkungan. Persepsi memerlukan konsentrasi. Jika konsentrasi menurun, informasi ke otak tidak lengkap. Terjadilah lupa.
“Misalnya, Anda bisa mengenal seseorang lewat suara, itu berarti persepsi. Nah, ketika lupa, berarti Anda mengalami gangguan persepsi,” katanya lagi.
Kesibukan dan cemas berlebihan juga bisa membuat kita mudah lupa. Makin cemas dan makin stres, makin sedikit pula energi otak yang dialokasikan untuk mencari informasi di otak. Masing-masing orang menghadapi stres berbeda. Ada yang terbiasa bekerja dalam tekanan tinggi dalam jangka waktu lama, sehingga fungsi memorinya tetap baik.
Sementara, tidak sedikit orang yang dalam situasi tersebut justru kewalahan. Dalam hal ini, stres intensif memicu pelepasan hormon kortisol yang dapat mengganggu ingatan.
Rupanya, ada tingkatan lupa yang bisa dialami orang. Sementara, amnesia (yang kerap terjadi di sinetron) adalah lupa sejenak yang diakibatkan oleh trauma di bagian kepala. Dalam hal ini, ada dua jenis amnesia, yaitu Amnesia retrograde (terjadi sebelum trauma) dan Amnesia anterograde (terjadi setelah trauma). Pada amnesia retrograde penderita dapat mengingat kejadian sebelumnya, sedangkan penderita amnesia anterograde sama sekali tidak bisa mengingat kejadian sebelumnya.
Nah, manusia cenderung mengalami amnesia sejarah. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh Tuhan dan sesamanya kerap tidak diingat dan menguap begitu saja. Sebaliknya kejelekan orang lain malah diingat dan dipatri secara permanen. Inilah yang membuat hidup terasa muram dan pahit. Pemazmur mengingatkan: “Pujilah Tuhan, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! [Maz. 103:2].
Frase “jangan melupakan” ini artinya bukan sekedar remember melainkan memorize. Ini bukan sekdar ajakan untuk mengingat melainkan untuk mengenang. Mengenang adalah tindakan mengingat dan menghayati. Dalam istilah liturgis, hal mengenang sering disebut dengan istilah anamnesis. Pemazmur mengajak diri sendiri dan orang lain agar tidak menjadi sosok yang amnesia terhadap kebaikan Tuhan, melainkan sosok yang selalu sedia ber-anamnesis tentang kebaikan Tuhan dalam hidup. Dalam proses anamnesis itu kehadiran dan kebaikan Tuhan tidak hanya dihayati sebagai masa lalu, melainkan juga masa kini dan masa mendatang. Tindakan inilah yang memampukan manusia untuk hidup penuh syukur dan pengharapan.
Ada lima kebaikan Tuhan yang disebut Pemazmur: mengampuni, menyembuhkan, menebus, memahkotai, dan memuaskan. Semua kebaikan itu dihubungkan oleh Pemazmur dengan hal pemulihan dari sakit penyakit. Sakit penyakit dalam kehidupan bangsa Yahudi biasanya dihubungkan dengan dosa. Sebab itu, jika ada orang disembuhkan dari suatu penyakit, biasanya juga dihayati bahwa ia sudah diampuni. Kesembuhan dalam hal ini tidak hanya dimengerti sebagai akibat tindakan medis semata, melainkan terutama oleh karena pengampunan dan kasih sayang Allah. Dengan demikian tindakan-tindakan medis yang dilakukan para ahli ditempatkan didalam perkenan dan kekuasaan tangan Allah. Allah adalah sumber kesembuhan. Kesembuhan yang diperoleh, membuktikan kasih setia dan belas kasihan Tuhan. Kesembuhan yang membebaskan manusia dari kematian, sekaligus juga menghasilkan perubahan identitas bagi orang-orang yang mengalaminya. Identitas sebagai orang yang dianggap berdosa, najis, dan tidak bermatabat, berubah menjadi manusia yang dimuliakan oleh Tuhan. Itu sebabnya ia mengatakan bahwa Tuhan telah memahkotainya. Kelegaan akibat dipulihkan oleh kasih setia Tuhan yang paripurna tersebut menghantar pada perasaan puas. Hidupnya dihayati sebagai hidup yang dipuaskan oleh Tuhan.
*/tnp
Dimuat di Mj. Samaritan Edisi-4 Tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar