Rabu, 18 Mei 2011

PERAN SPIRITUALITAS DI DUNIA KERJA

Apakah ada peran spiritualitas bagi dunia kerja? Apakah spiritualitas yang baik hanya dibutuhkan dalam pelayanan di gereja? Bagaimana di luar gereja? Dalam kehidupan pernikahan, keluarga, dan sosial? Apa ada dampak dari spiritualitas seseorang terhadap kehidupan dan pekerjaannya, termasuk di pelayanan kesehatan? Khususnya bagi para dokter, dokter gigi dan perawat Kristen. Seberapa peran dari spiritualitas seseorang terhadap kemajuan dan kesuksesan karir seseorang? Sebaliknya apakah ada dampak negatif dari kurangnya spiritualitas terhadap kehidupan dan pekerjaan seseorang?

Peran Spiritualitas dalam Karir Daniel

Demi didengar Daniel, bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya” (Dan 6: 11).

Sepintas kita akan berpikir bahwa Daniel adalah seorang biarawan yang kerjanya memang berdoa, membaca Alkitab , bersekutu dan melayani. Apalagi kemungkinan Daniel tidak menikah. Bukan, ternyata ia adalah seorang pejabat tinggi negara. Kemungkinan ia seperti seorang perdana menteri dalam kerajaan Media Persia, di mana pada waktu itu yang memerintah yaitu raja Darius (Dan 6: 1-3). Ia bukan di biara yang biasanya ada lonceng-lonceng untuk jam-jam doa. Di mana ada suasana yang sangat mendukung kehidupan rohani seseorang. Sebaliknya, Ia justru berada di suatu kerajaan yang mayoritas tidak memiliki iman yang sama seperti dia. Jadi saya kira suasananya tidaklah kondusif untuk memelihara kerohaniannya. Sama seperti sebagian besar alumni Kristen, termasuk para tenaga medis yang berada di tempat kerja yang terasa sangat tidak mendukung kerohanian kita.

Namun dari ayat yang kita baca di atas bisa terlihat bahwa Daniel seorang pejabat tinggi yang memiliki spiritualitas yang luar biasa. Kebanyakan dari kita tidak memiliki disiplin rohani seperti dia. Dikatakan bahwa “Dalam kamar atas- (rumah)-nya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya.

Pertama, dari segi upayanya: “pergilah ia ke rumahnya...dalam kamar atasnya ada tigkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem.” Ia tidak berdoa di tempat kerjanya, atau hanya pada waktu bangun pagi, sebelum tidur atau sebelum makan. Tapi dari tengah kesibukan pekerjaannya ia pergi ke kamar atas rumahnya yang jendelanya terbuka menghadap kota Allah. Ini menunjukkan keseriusan dia untuk berdoa dan bersekutu dengan Allah.

Kedua, dari segi sikap doanya: “ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya.” Doa bagi Daniel bukan sekedar melapor atau meminta kepada Allah. Tapi merupakan sikap yang penuh hormat, kagum dan syukur kepada Allah. Sehingga ia berlutut menghormati dan memuji Dia. Memang doa yang baik yaitu doa yang dimulai dengan kesadaran siapa Allah dan apa yang telah Ia perbuat bagi kita yang berdosa. Kesadaran dan perenungan itu akan membawa kita kepada sikap hormat, syukur dan penyembahan kepada-Nya.

Ketiga, dari segi disiplin doanya: “tiga kali sehari... seperti yang biasa dilakukannya.” Sepintas kita berpikir bahwa Daniel baru berdoa karena kepepet keadaan yang ‘genting.’ Namun kata-kata: “tiga kali sehari” dan “seperti yang biasa dilakukannya” memperlihatkan kepada kita bahwa berdoa telah menjadi suatu kebiasaan dia setiap hari. Baik dalam keadaan ada masalah maupun waktu tidak ada masalah yang berarti. Tiga kali sehari memang merupakan kebiasaan orang Yahudi dalam berdoa. Namun karena kesibukan maupun kejenuhan tidak semua orang memiliki keteraturan seperti itu. Apa yang menyebabkan Daniel bisa memiliki disiplin rohani seperti itu? Apakah anda memiliki kehidupan doa seperti Daniel? Berapa banyak orang yang anda kenal memiliki kedisiplinan rohani seperti Daniel yang bisa terus menyisihkan waktunya yang sangat sibuk dan ke tempat khusus untuk berdoa tiga kali sehari?

Apa yang membuat orang bisa berdoa tiga kali sehari baik dalam keadaan sibuk maupun tidak? Saya kira ada minimal 3 alasan:

1. Supaya dilihat orang. Kenapa? Supaya dipuji orang. Mungkin ada kenikmatan tersendiri jika orang memuji kita sebagai orang yang saleh. Orang Farisi dan ahli Taurat berdoa, memberi sedekah dan melakukan kewajiban agama lainnya karena supaya dilihat orang (Mat 6: 1-6, 16-18). Sekarang saya percaya masih ada orang yang lakukan dengan motivasi yang sama.

2. Sebagai syarat untuk mendapatkan pahala atau keselamatan. Seperti orang dari agama lain yang berdoa beberapa kali sehari, mereka mengharapkan agar ibadah mereka diterima Allah, artinya karena kesetiaan dan kesungguhan mereka berdoa maka mereka beroleh pahala atau keselamatan di sorga. Dan jika praktek doa seperti itu telah menjadi habit, maka jika tidak dilakukan akan merasa kurang. Itu akan jadi kebutuhan psikis seseorang.

3. Sebagai suatu kerinduan dan kebutuhan. Seperti kebutuhan fisik kita akan makanan dan minum obat secara teratur di kala sakit. Atau seperti kerinduan seorang anak akan pelukan, kasih sayang dan bimbingan orang tuanya. Maka orang percaya datang kepada Allah seperti anak datang kepada Bapa untuk beribadah, bersekutu, dan meminta penyertaan serta bimbingan-Nya.

Daniel, sebagai salah seorang umat yang telah dibuang Allah karena dosa-dosa bangsanya, namun telah diberi kepercayaan besar di negara di mana mereka dibuang, ia merindukan bahkan amat membutuhkan Tuhan untuk menyertai dan membimbing dia agar dia bisa jadi saksi atau hamba-Nya yang memuliakan Allah.

Bahkan mungkin sejak muda, waktu ia melihat bagaimana umat Israel sepanjang sejarah berdirinya sangat perkasa, mereka telah mengalahkan bangsa dan negara besar dan belum pernah dikalahkan oleh negara manapun. Bahkan aliansi beberapa negarapun tidak bisa mengalahkan mereka, kecuali Allah yang menyerahkan mereka kepada bangsa lain karena dosa dan ketidaktaatan mereka. Dan yang terakhir dilihatnya yaitu bagaimana Israel ditaklukkan oleh Babilonia, dan dia bersama beberapa temannya ditangkap dan ditawan di Babel. Itu semua terjadi karena Israel tidak memiliki spiritualitas yang baik. Mereka menyembah Baal dan dewa lainnya. Pengalaman itu mungkin telah menjadi pelajaran yang berharga baginya, bahkan telah merubah hidupnya untuk lebih memprioritaskan spiritualitasnya secara baik dan benar.

Dampak Spiritualitas Dalam Dunia Kerja

Ia dipercaya untuk posisi yang strategis. Karirnya tidak menurun karena umur sebaliknya makin meningkat. Pada waktu para pejabat dan wakil raja lainnya mencoba mencari kesalahan dia dalam hal integritas dan kompetensi dia memerintah, mereka tidak menemukan kesalahan dan kelalaian yang bisa dipakai untuk menjatuhkan dia. Bagaimana ia bisa sehebat itu? Bukankah kita semua bisa tergoda, atau lupa/lalai, atau tidak gagal mengerjakannya tepat waktu karena kelemahan kita? Di ayat 4, ditulis bahwa “ia mempunyai roh yang luar biasa.” NIV menterjemahkan kata-kata itu dengan kalimat “his exceptional qualities.” Jika digabungkan maka kemungkinan kualitas yang unggul berbeda ini adalah kualitas spiritualitas yang luar biasa. Kualitas spiritualitas luar biasa inilah yang membuat Daniel memiliki integritas dan profesionalisme yang luar biasa juga. Kualitas inilah juga yang membuat dia rela mengorbankan karirnya yang sangat tinggi itu dan bahkan ia rela mengorbankan nyawanya sekalipun demi ibadah dan ketaatan imannya kepada Allah. Kualitas spiritual juga membuat Daniel memiliki karakter yang membuat dia sangat disayang raja (Dan 6: 15, 19, 20-24). Dan kemungkinan besar kualitas spiritualitas yang luar biasa ini adalah hasil jangka panjang dari disiplin berdoa sehari tiga kali itu. Karena itu, waktu ada larangan untuk tidak menyampaikan permohonan (berdoa) kepada siapapun kecuali kepada raja Darius, Daniel memutuskan untuk tidak mundur atau libur 30 hari berdoa kepada Allah seperti yang biasa dilakukannya. Ini berarti Daniel memilih untuk kehilangan karir bahkan mati, dari pada tidak bisa bersekutu dan berdoa kepada Allah selama 30 hari. Kita bisa duga bahwa persekutuan dia dengan Allah tiga kali sehari itu sangat vital bagi karir dan kehidupannya. Ia sadar bahwa Allah adalah sumber keselamatan, damai sejahtera, kasih, hikmat, kekuatan, ketabahan, penghiburan dan kebijaksanaannya. Jika ia bersekutu dengan Allah maka hidupnya lebih sukacita , lebih bijak, peduli dan lebih kuat sehingga ia lebih taat dalam iman dan kasih kepada Allah. Hidupnya juga makin mengandalkan dan berharap kepadaNya, sehingga ia tidak akan berbuat hal-hal yang merusak kesaksiannya sebagai umat Allah. Sebaliknya ia makin menjadi kesaksian yang efektif bagi Allah. Itulah sebabnya mengapa Daniel amat prioritaskan persekutuannya dengan Allah, sebab ia sadar kesuksesan karirnya dan kesaksiannya bagi Allah sangat bergantung pada kondisi spiritualitasnya.

Kita juga lihat bahwa dokter-dokter yang punya reputasi dan kesaksian bagi Allah adalah dokter-dokter yang punya spiritualitas yang baik, seperti DR Paul Brand, atau tenaga perawat dan biarawati seperti Mother Teresa.

Sebaliknya kehidupan spiritual yang kurang dipelihara, kurang di prioritaskan dan atau kurang diperjuangkan, akan berdampak buruk bagi seseorang. Misal Simson. Di Hak 13-16, kita tidak menemukan indikasi bahwa Simson memiliki kehidupan spiritualitas yang baik seperti Daniel. Hanya tercatat ia dua kali berdoa, itu dalam keadaan terdesak atau kepepet. Hidupnya diisi dengan banyak fun (istilah orang sekarang), baik bermain-main dengan wanita (termasuk pelacur), berteka teki dengan taruhan yang tidak main-main, atau bermain-main dengan anjing hutan, membunuh singa atau membunuh 1000 orang yang mau menangkapnya. Sekalipun kelahirannya itu adalah karunia Allah dan ia telah dipanggil jadi nazir yang berfungsi sebagai hakim (pemimpin) orang Israel, dan diberi karunia kepintaran dan kekuatan yang luar biasa. Namun hidupnya lebih tergoda dan terseret kepengumbaran hawa nafsu daripada menjadi hakim. Ini merupakan dampak dari hidup dia yang tidak memprioritaskan spiritualitasnya. Sebagai akibat pernikahannya berantakan, ia tidak dihargai oleh orang Israel, karirnyapun gagal. Bahkan ia telah menjadi kesaksian yang buruk bagi Allah. Hanya pada waktu mau mati ia membunuh lebih banyak musuh Israel.

Semoga kedua contoh di atas menjadi pelajaran berharga bagi kita, kenapa kita perlu prioritaskan spiritualitas kita khususnya di tengah kesibukan kita. Saat teduh, berdoa, solitude setiap hari sekali, dua kali, atau tiga kali perlu diprioritaskan. Selain itu kita juga harus beribadah ke gereja, dan upayakan ikut persekutuan/KTB, retreat atau Kamp Medis Alumni untuk memelihara spiritualitas kita.

Oleh : Tadius S. Gunadi

Telah dimuat di Mj. Samaritan Edisi-1 Tahun 2011

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag