Hampir semua tenaga kesehatan tahu, apa itu kelelahan. Pekerjaan penuh tuntutan yang dijalani terus-menerus selama berjam-jam dapat menyebabkan keletihan di dalam diri kita semua. Kelelahan spiritual merupakan suatu bentuk keletihan dalam jiwa kita, dalam diri kita yang paling dalam. Keletihan spiritual ini tidak dapat ditolong dengan bekerja keras selama berjam-jam, demikian pula penyebabnya bukanlah bekerja berjam-jam. Kelelahan spiritual muncul bila kita tidak lagi percaya bahwa Kristus menyampaikan kebenaran saat Ia berkata, "Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?”1
Menurut pengamatan saya, dalam dunia kedokteran sangat sulit mencegah kelelahan jenis ini. Hal ini, sebagian disebabkan oleh posisi dunia kedokteran dalam jiwa bangsa kita. Dengan berkembangnya Inggris menjadi negara yang makin post-Christian, masyarakat secara alami cenderung mencari-cari sumber pengharapan baru di sekitarnya. Salah satu sumber yang sering diharapkan adalah sang dokter. Pengharapan akan penyembuhan medis dalam benak masyarakat merupakan cara paling sederhana untuk mendapatkan keselamatan. Rumah sakit berubah menjadi kuil-kuil dan para dokter sebagai imam-imam dalam agama baru ini. Dalam bukunya How to be Good, Hick Hornby menggambarkan tentang seorang dokter umum bernama Katie Carr yang telah terperangkap dalam pemujaan dunia kedokteran ini. Katie Carr percaya statusnya sebagai dokter membuatnya menjadi baik. "Dengar," katanya. "Saya bukan seorang yang jahat. Saya seorang dokter. Salah satu alasan saya ingin menjadi seorang dokter adalah bahwa dengan menjadi dokter saya dapat berbuat baik, bukannya karena akan menerima penghasilan yang tinggi atau hal-hal yang mempesona lainnya. Hal-hal berikut ini terdengarnya baik bagi saya, "Saya ingin menjadi seorang dokter", "Saya sedang belajar untuk menjadi seorang dokter", "Saya seorang dokter umum yang berpraktek di sebuah klinik kecil di bagian utara kota London". Menurut saya hal ini membuat saya sebagai seorang yang baik, profesional, tampak cerdas, tidak terlalu menyolok, terhormat, dewasa, penuh perhatian dan lain sebagainya. Saya seorang yang 'baik', seorang 'dokter'.
Mudah bagi kita untuk menyenangi status yang kita dapatkan secara otomatis sehubungan dengan profesi kita dalam dunia kedokteran. Kita dimabukkan oleh
ide-ide bahwa kecakapan yang kita miliki merupakan jawaban atas masalah yang
ada pada masyarakat sebagaimana halnya kita diperlakukan oleh para pasien kita
dalam kehidupan kita setiap hari. Namun ada suatu sinisme yang menyertai
pemujaan profesi dokter seperti ini. Bila kita meletakkan suatu pengharapan yang tidak masuk akal dalam segala sesuatu hal, kita tidak akan jauh dari suatu kekecewaan yang menghancurkan dan sinisme. Dalam bukunya The End of Christendom, Malcom Muggeridge melukiskan hal ini sebagai pengharapan yang tolol dan keputusasaan yang tolol. Menurut Malcom, "Di satu pihak, sebagian kebijakan baru, penemuan baru tentu saja akan membawa perbaikan sebagaimana seharusnya: suatu bahan bakar baru, suatu obat baru, suatu pemerintahan dunia yang baru. Namun di pihak lain beberapa bencana baru secara pasti juga, akan kehancuran. Kapitalisme akan runtuh, bahan bakar akan habis, plutonium akan melumpuhkan kita. Sampah nuklir akan membunuh kita, dan lain sebagainya."
Keadaan jatuh bangun yang liar ini, persis seperti yang kita temukan dalam kitab Pengkhotbah, suatu meditasi kehidupan, sebagaimana dituliskan penulisnya sebagai "di bawah matahari". Hal ini merupakan hidup tanpa Tuhan, atau setidaknya hidup tanpa Tuhan sebagai penggerak pengasih yang aktif dalam hidup kita.
Dalam dua pasal pertama kitab Pengkhotbah, penulis yang menyebut dirinya "Sang Guru", menceritakan bahwa ia secara aktif menjelajahi sumber-sumber kepuasan yang potensial "di bawah matahari". Ia bersenang-senang dalam tertawa, alkohol, nafsu seksual, harta benda,.. namun hal ini tidak memuaskan. Lalu ia mengejar hikmat, yang akhirnya malah membuatnya lebih mengerti akan kesia-siaan hidup. Seperti seorang pria yang berkata kepada dr. Johnson: "Anda seorang filsuf, dr. Johnson. Saya juga telah pernah berupaya menjadi seorang filsuf dalam hidup saya, namun saya tak tahu kenapa, kegembiraan selalu membongkarnya." Terutama menurutnya, kematian membawa pukulan yang fatal terhadap pengharapan kita yang keliru. Dalam dunia kedokteran, kita mengetahui bahwa riwayat kesehatan setiap orang akan diakhiri oleh apa yang sebagian orang Amerika menyebutnya sebagai suatu negative patient outcome, yaitu kematian. Hidup dalam dunia yang demikian, dunia di mana semua orang hanya mencari kehidupan "di bawah matahari", tak dapat ditawar lagi, akan menarik kita kepada sinisme dan kelelahan spiritual yang dalam. Lalu kemudian, seperti diungkapkan oleh Pengkhotbah, hal ini mulai menjadi jelas sehingga sang Pengkhotbah tak dapat terus bertahan dengan sikap skeptisnya. Terobosan iman tak terbendung.
Iman Sang Pengkhotbah
Bagi saya, hal ini dilambangkan dalam Pengkhotbah 11:1. Di sini, sang Pengkhotbah menegaskan bahwa dunia merupakan suatu tempat membingungkan yang kacau balau. Berusaha
melakukan segala sesuatu yang bernilai dalam dunia yang nyata adalah seperti menebar remah-remah roti dalam sungai. Engkau hanya melepaskannya dan kemudian remah-remah roti itu mengapung ke mana, kita tak mengetahuinya lagi. Apakah bernilai menunjukkan kasih yang sesungguhnya kepada pasien yang hanya meminum obat dan kemudian pergi? Bukankah akan lebih sedikit "harga yang dibayar" bila kita hanya bersikap profesional dengan tetap menjaga jarak? Apakah saya pernah melihat buah dari berdoa bagi pasien-pasien saya? Atau apakah semua berlalu bersama angin?
Benar. Semua berlalu bersama angin, remah-remah roti yang tertebar ke sungai, semuanya melayang ke tempat yang tidak kita ketahui. Namun ada hasil-hasil. Kita hanya membutuhkan perspektif yang lebih jauh. Pengkhotbah berkata, kita akan memetik buah setelah beberapa waktu berselang. Kita bahkan mungkin memiliki kesempatan melihat hasilnya semasa kita hidup, namun tak ada jaminan. Tuhan Yesus sangat jelas menunjukkan bahwa upah yang utama adalah pada hari penghakiman, "Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan.”2
Hanya terkadang saja kita mendapatkan dorongan yang membesarkan hati kita untuk tetap terus maju. Saya mengenal sepasang suami istri yang pada tahun 1970-an bekerja di suatu rumah sakit di negara muslim. Belakangan ini, sang istri secara secara tidak sengaja bertemu dengan seorang lelaki muda yang baru menjadi Kristen. Lelaki muda ini menceritakan kepadanya bahwa sewaktu bayi ia pernah sakit parah dan oleh ibunya dibawa ke rumah sakit di mana suami istri ini pernah bekerja. Selanjutnya, ibu sang bayi ini selalu mengajarkannya untuk menghormati orang-orang Kristen dengan perkataannya, "Orang Kristenlah yang telah menyelamatkan hidupmu." Setelah tumbuh dewasa, ia mulai mencari-cari secara spiritual, dan akhirnya diubahkan. "Lemparkan rotimu ke air, maka engkau akan mendapatkannya kembali lama setelah itu.”3
Mengolah Tanda-Tanda Iman
Kita perlu mengolah tanda-tanda iman seperti yang disebutkan dalam Pengkhotbah 11:2-6. Hal pertama adalah kemurahan hati, atau kebebasan. Mengetahui bahwa hidup tak dapat di prediksi seharusnyalah tidak melumpuhkan kita. Tak satupun dari kita yang mengetahui siapakah diantara pasien-pasien kita yang akan merespon kasih Kristiani dan perhatian kita, dan doa-doa yang akan dijawab "ya" oleh Tuhan. Oleh karenanya kita perlu dengan yakin membiarkan Tuhan menyortir apa yang akan yang akan Ia lakukan dengan pemberianNya.
Inilah salah satu alasan mengapa saya bukanlah penggemar dari hidup yang berfokus penuh. Sangatlah umum bagi para dokter Kristen untuk merasa bahwa profesi medik sangat penuh tuntutan dengan begitu banyak kesempatan, sehingga pelayanan mereka harus terfokus pada dunia tersebut, Bagi saya tampaknya suatu fokus yang tak seharusnya pada suatu bidang dapat memimpin kepada suatu kesembronoan, ketidakbijaksanaan, atau bahkan kurangnya kepekaan akan kesempatan di bidang-bidang lain.
Sang Pengkhotbah berkata bahwa engkau tak tahu pelayanan mana yang akan menghasilkan buah, oleh karenanya lebarkanlah pelayananmu. Hal ini dapat berupa mengajar di sekolah minggu, terlibat dalam kelompok kecil pemahaman alkitab, atau berteman dengan orang yang tersingkirkan. Tuhan Yesus melakukan keseimbangan ini dengan benar. Ia memiliki fokus yang "mengarahkan wajahNya ke Yerusalem" akan tetapi juga akan berpaling menolong orang-orang, kadang-kadang untuk melengkapi kegusaran murid-muridnya yang penuh perhitungan.
Berikanlah Bahagian Kepada Tujuh, Bahkan Kepada Delapan Orang4
Karakteristik kedua dari iman serupa Pengkhotbah adalah keberanian. Di sini Pengkhotbah menceritakan kepada kita bahwa sekali sesuatu telah terjadi, hal itu sudah terjadi. Engkau melihat awan-awan hujan yang siap menurunkan muatannya, hal itu berarti akan turun hujan. Engkau melihat sebuah pohon jatuh ke suatu arah, maka pohon itu akan terbaring di situ. Hidup tidak menawarkan pengulangan kembali.
Mungkin engkau mengetahui bahwa ada aspek-aspek kehidupanmu yang memerlukan perhatian. Mungkin itu adalah keterlibatan di gereja, panggilan untuk pelayanan lainnya, untuk mengembalikan kehidupan doamu sebagaimana seharusnya, atau untuk menjadi lebih terbuka akan imanmu di tempat kerja.
Engkau telah menemukan Kristus, janganlah menyia-nyiakan hidupmu seolah-olah tak ada perubahan yang ditimbulkannya. Beberapa tahun lalu, Os Guinness menuliskan sebuah buku yang sepenuhnya saya akan rekomendasikan. Judulnya adalah The Call. Sub-judul buku ini meringkaskan pangglan Kristus dalam hidup kita:
Segala sesuatu sebagaimana adanya kita.
Segala sesuatu yang kita miliki.
Segala sesuatu yang kita lakukan.
Jangan menjadi lelah. Jangan menjadi sinis. Ikutlah Kristus- hal ini bernilai.
Catatan:
1. Matius 16:26. Lihat juga Markus 8:28 dan Lumas
9:25.
2. Lihat Matius 25:31-40.
3. Pengkhotbah 11:1.
4. Pengkhotbah 11:2-6.
__________________________________________________________________
Ditulis oleh Peter Commont, Pendeta di Magalen Road Church, Oxford - Berdasarkan pembicaraan yang diberikan dalam studi CMF di Oxford, November 2003. Diterjemahkan oleh dr. Maria F. Ham, Sp.PA.
Dalam Majalah Samaritan No. 3/Juli-September 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar