Jumat, 09 November 2007

MATA SAYA MERAH

"Mama, mata saya warnanya hijau," anak perempuan saya yang berumur tiga tahun, memberi tahu, dengan membuat tanda "hijau" dengan tangan kecilnya, saat kami berbaring di tempat tidur.
"Bagus sekali sayang! Kamu sudah makin pintar dengan bahasa isyaratmu. Mama bangga padamu! Kalau begitu, apa warna mata mama?"
Maddison mengamati dengan serius mata saya, dan ada kebingungan di wajahnya. "Mm, mata mama warnanya merah," katanya sambil menekuk kedua jarinya dan menggerakkan menuruni bibir, sebagai isyarat untuk warna "merah."
"Merah? Mata mama warnanya merah?"
"He-eh." Dia menganggukkan kepalanya dengan sungguh-sungguh seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak dan menunjukkan jari ke mata saya, "Warnanya merah ... " Karena tidak mampu menggambarkan warna mata saya dengan kosa kata seorang anak yang belum sekolah, dia membuat gerakan berkelok-kelok dengan tangannya, menunjukkan bahwa ada garis warna hijau di mata saya. "Dan ada sedikit warna hijau."
"Hanya sedikit warna hijau?"
Dengan ujung jari dari ibu jari dia membentuk sebuah celah kecil dan tersenyum, "Hanya sedikit." Dia terdiam dan wajahnya berubah menjadi serius. "Mama? Mengapa mata mama warnanya merah?"
Saya harus memikirkan jawaban untuk pertanyaan ini. Anak perempuan saya telah mencapai masa dimana dia bertanya segala sesuatu, dan jawaban sederhana bahwa mata saya merah karena kelelahan tidak akan memuaskannya. Saya mulai mengurutkan semua alasan yang membuat mata saya merah, dan mencoba menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Madisson.
Saya tidak bisa berkata kepada anak perempuan yang tidak berdosa ini, bahwa mata saya merah dan lelah karena setiap hari sejak dua setengah tahun lalu saat ayahnya meninggalkan kami berdua, saya tidak punya waktu istirahat. Saya harus bangun setiap pagi dan selalu mengingatkan diri saya untuk sabar saat mencoba menangani kebingungan seorang anak dengan penyakit ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder - autisme). Setiap hari saya selalu berkata pada diri sendiri, "Saya tidak akan menaruh anak ini ke lembaga perawatan hanya untuk membuat hidup saya lebih mudah." Atau semua kegelisahan saat tidak bisa memahami perkataan anak saya sendiri dan harus menunggu setahun untuk membawanya ke terapi percakapan.
Saya tidak bisa mengatakan pada anak manis ini, bahwa mata saya merah karena cemas tidak punya uang untuk biaya hidup. Saya harus menentukan tagihan mana yang tidak akan saya bayar bulan ini supaya kami bisa makan dan tetap mempunyai tempat berteduh. Saya tidak bisa membeli kotak makan yang baru untuk sekolah play groupnya, yang walaupun saya siapkan bekal yogurt maka bau plastik murahan tercium dari dalam kotak makannya. Saya sedih karena tidak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup dan hal-hal yang diinginkannya.
Saya tidak bisa mengatakan kepada malaikat kecil yang sangat berharga ini, bahwa mata saya merah karena karena banyak sekali pekerjaan yang harus saya lakukan, dan saya takut tidak punya cukup waktu untuknya. Saya harus menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk melengkapi syarat kelulusan sekolah supaya bisa memperoleh pekerjaan dengan gaji yang lebih baik. Saya menghabiskan waktu empat jam sehari untuk memasak, membersihkan rumah dan mencuci. Saya menghabiskan waktu tiap hari paling sedikit dua jam untuk membuat karir saya sebagai penulis bisa berjalan, dan waktu-waktu yang tidak terhitung untuk memeriksa lowongan kerja yang lebih baik sehingga saya bisa menjadi seorang penulis profesional. Saya bahkan tidak punya waktu untuk diri sendiri, sehingga banyak menyita emosi saya. Atau saya akhirnya bisa merebahkan diri di tempat tidur tiga jam lebih lambat dari yang seharusnya, dan karena itu saya merasa letih sekali baik secara fisik maupun emosi.
Saya memandang gadis kecil saya, yang wajahnya seperti saya melihat sebuah cermin, dimana ada luapan dorongan untuk melidunginya dari kekejaman hidup. Saya tidak bisa menanggungkan kesalahan atau beban kepadanya, sebagai penyebab kenapa mata saya merah dan saya kelelahan sepanjang waktu. Menit-menit berlalu dan Madisson masih menunggu jawaban saya.
"Maaf mama," katanya. Saya mengajarinya untuk minta maaf jika dia ingin menyela seseorang. Saya tahu bahwa saya sudah berhasil mengajari Maddison dengan baik, karena dia menyela pikiran yang sedang terfokus, dan bukan perkataan saya. Kecerdasannya mengherankan saya.
"Saya bertanya, mengapa mata mama berwarna merah?"
"Mama tahu sayang. Mama hanya sedang mencoba memikirkan jawabannya."
"Baiklah ma. Saya akan diam supaya mama bisa berpikir." Dia membenamkan diri di bantal dan dengan sabar menunggu jawaban yang akan saya berikan.
Saya masih belum menemukan jawaban yang tepat, jadi saya bertanya pada diri sendiri mengapa saya bersusah payah seperti ini. Saya harus menghadapi penyakit ADHD-nya tanpa memberi obat karena saya tidak ingin melemahkan kepribadiannya yang cemerlang, dimana obat Ritalin memiliki efek seperti itu. Saya dengan sabar mengajarinya bahasa isyarat yang sebelumnya saya harus pelajari dulu, karena itu akan membantunya berkomunikasi tanpa merasa frustrasi karena kesulitannya berbicara. Kami menderita secara finansial karena saya memilih berada di rumah bersama anak saya, dibandingkan harus bekerja di luar selama empat puluh jam seminggu. Saya bekerja keras menyesaikan pendidikan sehingga suatu hari kami bisa mendapat uang yang lebih banyak tanpa harus keluar rumah dan berpisah dengannya.
Akhirnya saya menemukan sebuah jawaban.
"Sayang, mata mama merah karena mama menyayangimu melebihi siapa pun yang ada di dunia."
"Baiklah ma."
Jawaban saya kelihatannya memuaskan keingintahuannya dan kami meneruskan dengan membaca cerita sebelum tidur, judulnya "Kamu adalah matahariku."
"Ma? Kenapa saya adalah matahari mama? Saya bukan matahari, saya Madisson! Dan langit warnanya bukan abu-abu tapi biru."
Saya tertawa dan membayangkan bahwa semua hal bagi anak usia tiga tahun selalu harus masuk akal. Dan bahkan mengapa dia harus belajar arti kata "Mengapa" ?
(Oleh Katrina Marie Wray)
PESTA (Pendidikan Elektronik Studi Teologia Kaum Awam) ALUMNI

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag