Kamis, 08 Oktober 2009

"Dokter Rakyat"

BANYAK bukti tak perlu sekaya orang Swiss untuk menjadi sesehat mereka. Banglades salah satunya. Dengan anggaran kesehatan tidak tinggi, Banglades berhasil mendongkrak derajat kesehatan rakyatnya menjadi lebih baik dari kita. Caranya, rakyat dibuat cerdas agar tidak sakit. Gurunya, puskesmas.

HANYA sebagian kecil masyarakat yang memanfaatkan layanan kesehatan swasta. Sebagian besar menggantungkan kesehatannya pada puskesmas. Sudah lama kita mencanangkan paradigma sehat diterjemahkan dalam sejumlah program puskesmas. Kondisi kita lebih kurang sama dengan Banglades. Namun, jika derajat kesehatan kita belum sebagus mereka, apa yang keliru dengan pembangunan kesehatan kita?

Bisa jadi karena peran dokter puskesmas belum kuat. Belum semua program puskesmas utuh berjalan. Harus diakui jika jam kerja dokter puskesmas banyak dihabiskan buat mengobati ketimbang layanan pencegahan.Jika lapangan yang menjadi wilayah tanggung jawab puskesmas tidak digarap, yang berobat tak kunjung berkurang. Artinya, anggaran puskesmas yang mestinya buat upaya preventif habis buat belanja obat.
Idealnya, dua pertiga jam kerja puskesmas untuk kegiatan lapangan. Mungkin karena kelebihan bobot kerja, minimnya tenaga, atau tiadanya kemauan, rata-rata puskesmas kurang menggarap lapangan.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan sektor kesehatan bertambah baik. Yang terjadi sebaliknya. Kita kehilangan kader kesehatan, posyandu, gerakan swadaya masyarakat, dan banyak lagi. Padahal, itu semua penunjang terlaksananya primary health care, pilihan termurah yang mampu mendongkrak kesehatan Banglades lebih baik dari kita.
Masalah kesehatan kita sejak awal berhulu dari rendahnya pengetahuan kesehatan sebagian masyarakat, buruknya sanitasi, dan lemahnya ekonomi rata-rata keluarga. Solusinya, penyuluhan (komunikasi-informasi-edukasi). Namun, itu saja tak cukup.
Hambatan komunikasi dan gap edukasi puskesmas-masyarakat mendesak hadirnya petugas kesehatan ke tiap rumah. Puskesmas berperan memampukan masyarakat mencegah penyakit, terlebih di daerah terpencil.
UNTUK kondisi kita masalah kesehatan yang kompleks dan luas, bukan cuma perlu menambah dokter puskesmas, tetapi butuh dokter dengan kualitas khusus. Dokter yang disiapkan menggarap lapangan bersedia berkeliling dari rumah ke rumah (bare foot doctor) seperti China melakukannya di awal-awal pembangunan kesehatan.
Dalam kunjungan rumah, dokter dapat melihat masalah kesehatan tiap keluarga di wilayah tanggung jawabnya. Tiap keluarga mendapat solusi yang belum tentu seragam dengan tetangganya sehubungan dengan peningkatan derajat kesehatannya.
Pada kesempatan sama, dokter memberi nasihat mengisi kekurangan medis terkait dengan kondisi kesehatan masing- masing keluarga atau apa saja sehubungan dengan upaya preventif. Tanpa memilih bersikap menjemput bola, tak semua program puskesmas menyentuh rakyat. Padahal, menjadi sehat itu hak tiap rakyat.
Dengan rutin berkeliling, dokter puskesmas kian mengenal medan sekaligus memetakan masalah kesehatan untuk dicarikan solusinya. Kelemahan rata-rata program kesehatan kita adalah tidak semua program dari pusat menyelesaikan masalah kesehatan daerah. Juga, tak semua program kesehatan daerah menyelesaikan masalah kesehatan kecamatan atau desa.
Munculnya kembali demam berdarah, penyakit kaki gajah, malaria, flu burung secara sporadis di daerah tertentu, misalnya, awalnya masalah lokal desa semata. Namun, karena kemunculannya tak segera diredam, biasanya menunggu perintah pusat, cuma soal waktu ancaman penyebaran penyakit berkembang menjadi masalah nasional, seperti ledakan demam berdarah tempo hari.
Kehadiran peran "dokter rakyat" berpeluang menemukan dan menyelesaikan semua masalah kesehatan lebih jeli dan cepat di tingkat desa, rukun tetangga, bahkan keluarga.
PERTANYAAN kita, apa tiap lulusan dokter siap menjadi "dokter rakyat"? Masalah distribusi tenaga dokter pun belum terpecahkan. Belum semua puskesmas memiliki dokter, selain belum semua daerah terpencil memiliki puskesmas.
Masih terus ditunggu terobosan penempatan tenaga dokter mengisi semua daerah terpencil. Program pegawai tidak tetap yang menggantikan pengangkatan dokter PNS beberapa tahun terakhir ini tampaknya tidak memikat lulusan dokter. Dokter tetap menumpuk di kota besar tak jelas status kepegawaiannya.
Ketiadaan fasilitas bekerja yang memadai di daerah terpencil, ketidakpastian bisa melanjutkan spesialisasi, dan tak ada jaminan mendapatkan gaji yang cukup merupakan beberapa kendala pendistribusian tenaga dokter yang perlu dipikirkan ulang.
Dengan berlakunya otonomi daerah, penempatan tenaga dokter mestinya bisa lebih lancar. Pemerintah daerah yang memahami bahwa kesehatan itu investasi seyogianya tak ragu merekrut lebih banyak dokter untuk membangun sumber daya manusia di daerah.
Sumber daya manusia yang lebih berkualitas meningkatkan ekonomi daerah. Rasio dokter-penduduk masih jauh dari ideal (1: 25.000 di desa, 1:15.000 di kota). Jadi, tidak betul kalau kita kelebihan tenaga dokter
Selain kuantitas, melihat corak masalah kesehatan yang dihadapi, pendidikan dokter kita perlu ditata lebih berorientasi masyarakat. Pengalaman belajar lapangan lebih ditingkatkan, selain perlu tambahan ilmu sosial.
Sebab, sebagai dokter puskesmas, selain pekerjaan manajerial, banyak tugas memerlukan pendekatan masyarakat. Deklarasi Edinburgh (1978) meratifikasi pentingnya orientasi pendidikan dokter disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tiap negara.
Pendidikan dokter kita belum penuh mengacu ke sana. Pendidikan dokter kita masih berkiblat ke Barat (Belanda), mencetak dokter yang lebih berkutat di bangsal ketimbang lapangan. Para dokter muda umumnya gagap saat harus menghadapi masalah kesehatan di masyarakatnya yang tak selalu bisa diselesaikan dengan ilmu medis yang ada di kepalanya.
Padahal, solusi masalah kesehatan rakyat kita lebih memerlukan pengubahan sikap ketimbang obat. Untuk itu peran "dokter rakyat" seharusnya lebih tepat sasaran dibandingkan dengan hanya layanan penyuluhan dan peran media semata.
Harus diakui tak murah mencetak tenaga dokter. Selain dari lulusan FK Negeri, tiap tahun pemerintah memperoleh ratusan tenaga dokter lulusan FK Swasta yang mengongkosi sekolahnya sendiri. Sayang, tenaga profesional yang biaya sekolahnya amat tinggi ini tidak seluruhnya didayagunakan.
Rakyat kita sebenarnya membutuhkan lebih banyak dokter. Ironis, melihat ratusan, bahkan ribuan dokter tersia-siakan, sebagian brain-drain, menganggur, atau beralih profesi. Sebagian lulusan disinyalir kian menumpuk tak jelas status kepegawaiannya.
Mereka sebetulnya bisa diatur untuk merawat rakyat yang belum tersentuh. Dokter bukan cuma sekadar mengobati, terlebih agar rakyat kita yang serba ringkih tak sampai jatuh sakit, sehingga mereka semua mendapat peluang menemukan kembali hak asasinya untuk sehat.

Handrawan Nadesul Dokter, Pengasuh Rubrik Kesehatan di Sejumlah Media, Penulis Kolom dan Buku.

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag