Sabtu, 08 Oktober 2011

"GRASPING HEAVEN" (1)

Puisi Tami

Sesaat setelah Tami mengalami koma, orang tua dan saudara laki-lakinya Tim bergiliran menjaganya. Mereka menggenggam tangannya, berbisik lembut padanya dan berdoa hingga larut malam. Dan saat pagi menjelang Tami meninggal dunia dengan damai. Dia berusia 39 tahun saat itu.

Perasaan kehilangan begitu besar, dan dengan berdukacita orang tua dan saudara laki-lakinya pulang ke rumah. Tim duduk di ruang tamu dan menghidupkan laptop Tami dimana Tami sering mengerjakan segala sesuatu selama beberapa bulan terakhir sebelum dia meninggal. Tim menemukan folder dengan nama “Last Things”. Tim mengerti bahwa dengan cara ini Tami meminta mereka untuk membuka folder ini setelah dia meninggal.

“..Ibu! Ayah!” seru Tim dengan penuh semangat. “..kemari…dan lihat apa yang aku temukan. Tami meninggalkan pesannya untuk kita..”

Mereka membaca puisi Tami.

Today I am healed

Perhaps not the way you had hoped for.

But I’m in glorious new body,

Free of pain, full of new strength.

Immersed in a love, joy and peace

That we have a mere taste of

During our time on earth

In the presence of my God and Savior, Jesus Christ

Who loves me more than His own life

Know that today I am healed.

-----------

Hari ini aku telah sembuh…

Mungkin bukan dengan cara seperti yang kalian harapkan.

Tetapi aku berada di dalam tubuh baruku yang mulia,

Bebas dari rasa sakit, penuh dengan kekuatan baru.

Terbenam di dalam sebuah kasih, sukacita, dan damai sejahtera

Yang kita rasakan hanya sedikit

Selama kehidupan kita di bumi ini.

Di hadapan Allahku dan Juruselamatku, Yesus Kristus

Yang mencintai aku lebih dari hidup-Nya

Tahu bahwa hari ini aku telah sembuh

======================================

PERSIAPAN PERJALANAN

1) Kasih Tak Pernah Berkesudahan

Tami menghembuskan nafasnya perlahan-lahan dari dada kecilnya agar tidak menimbulkan bunyi karena kuatir Ayahnya bisa menemukannya bersembunyi di sudut kamar mandi. “Bisakah Ayah menemukannya sebelum udara di tempat persembunyiannya ini habis?” bisiknya dalam hati. “Pasti Ayah bisa mengikuti instruksi yang ditulisnya di dalam paket natal” lanjutnya.

“Ayolah Ayah…Ayah bisa melakukannya! Ikuti saja instruksinya!” diam-diam dalam hati mendorong Ayahnya. Tami telah mebuat peta untuk Ayahnya yang menunjukkan rute di mana dia menaruh kado natal untuk Ayahnya.

Langkah kaki terdengar mendekat, dan akhirnya Ayahnya berdiri di depan pintu kamar mandi dan mulai membuka pintunya. Tami mendadak muncul di hadapan Ayahnya yang terperangah mendapatinya di sana, dan mulai mengucapkan ayat kesayangannya yenag terambil dari 1 Korintus 13: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki se seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.” Dia terus mengucapkan ayat-ayat lain dari perikop ini kepada Ayahnya…senang dengan semua rasa sukacita dan perhatian Ayahnya.

“Masih ada satu kado lagi untuk mu,‘Yah…” katanya sambil menggenggam tangan Ayahnya. “di mana Tim ya..?” Dan ternyata Tim juga mengejutkan Ayahnya saat dia meloncat dari balik tirai sutra sambil juga mengucapkan ayat-ayat Alkitab.

Saat itu natal tahun 1974 Tami masih berusia 9 tahun dan Tim 7 tahun. Kedua kakak beradik sangat senang menghabiskan waktu libur natal mereka di basement rumah mereka dan berusaha menghafal ayat-ayat Alkitab bersama Ibu mereka yang selalu memberikan dorongan kepada mereka. Keluarga Fisk tinggal di sebuah rumah yang besar dengan pemandangan indah pegunungan Colorado. Di ruang tamu berdiri sebuah pohon natal yang bersinar terang dan aroma kue natal yang masuk.

“Anak-anak, inilah kado natal terbaik yang pernah Ayah berikan untuk kalian!” seru Ayahnya dengan wajah ceria. “…mari kita pergi mengunjungi Kakek dan Nenek Fisk di Colorado Spring..!”

“Yaaaa….” Sorak Tami & Tim. Mereka sangat mengagumi Kakek-Nenek mereka.

--------------------------------------------------------------------------------

“Apa yang akan kita lakukan di rumah Nenek?” tanya Tami begitu turun dari mobil, ketika mereka tiba di rumah Kakek-Neneknya.

“Hmm..bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang sangat special untuknya?” saran Ayahnya. “Nenek sedang sakit parah, dia mengidap kanker… Anak-anak, bagaimana kalau kalian membagikan ‘kado’ ayat-ayat Alkitab seperti yang kalian berikan pada Ayah tadi..?” Tami dan Tim sangat setuju.

“Baiklah…mari kita lakukan!!” seru mereka bersamaan.

Wajah Nenek mereka bersinar dengan senyum bahagia ketika kedua cucunya mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah mereka hafal dengan baik. Mereka duduk mengelilingi Nenek sambil menikmati kue-kue natal yang dibuat Ibunya.

“Tami, bagaimana sekolahmu?” tanya Neneknya

“Baik” jawabnya singkat. Tami orangnya tidak banyak bicara.

Ibunya menolong dia menjelaskan dengan lebih rinci, “Tami pulang ke rumah dengan nilai-nilai terbaik. Gurunya sangat memuji dia dan katanya guru-guru sudah mengadakan rapat untuk menaikkan kelasnya karena dia sangat pandai dan belajar dengan sangat cepat. Tetapi gurunya akhirnya pikir Tami masih terlalu kecil untuk naik kelas dan memutuskan agar dia tetap di kelas yang sama tetapi akan memberikan kepadanya pelajaran tambahan yang lebih menantangnya. Ketika Tami menyelesaikan tugas-tugasnya, dia diizinkan untuk pergi ke perpustakaan untuk membaca sesuka hatinya. Beberapa waktu lalu gurunya bahkan menantang Tami untuk membaca dan menulis puisi-pisi tertentu.”

“Selamat, Tami…!” seru Neneknya, kemudian bertanya: “Sudahkah kamu berpikir tentang apa yang akan kamu lakukan saat kamu dewasa?”

“Aku ingin menjadi seorang dokter, Nek...Aku ingin menjadi seorang dokter misionaris” jawab Tami dengan determinasi yang jelas terpancar dari raut wajahnya.

Sang Nenek memandang Tami dan kedua orang tuanya dengan tatapan penuh tanda tanya. Kemudian berkata: “Sepertinya itu suatu rencana yang sangat besar, Tami. Tetapi mungkin itu bisa berubah saat kamu beranjak dewasa, ya khan..??

“Tidak, Nek…”jawab Tami sungguh-sungguh. “Tuhan menghendaki aku untuk melakukan hal ini. DIA telah memberitahu aku waktu mengikuti acara “Malam Misi” di gereja, pada waktu pemutaran film misi. Dan aku akan melakukannya”.

Jawaban Tami sebegitu jelas dan gamblang sehingga sekan tidak mengizinkan siapa pun mengajukan penolakan terhadap apa yang sudah menjadi ketetapan hatinya ini.

“Itulah anak kami Tami…” kata Ayahnya sambil tertawa. “Kalian seharusnya melihat bagaimana Tami di gereja dalam kesempatan lain. Aku tidak akan pernah lupa pemandangan itu. Saat itu Tami membawakan puji-pujian di gereja, dengan kunciran rambut pirangnya yang berayun-ayun mengikuti irama dia bernyanyi dengan suara nyaring: ‘…lampu kecilku ini…aku akan menyalakannya … lampu kecilku ini…aku akan menyalakannya..” Kemudian dia hampir meledakkan paru-paru kecilnya ketika menyanyikan bait refrain lagu itu: ‘…Sembunyikan itu di bawah gantang? Tidak! Sembunyikan itu di bawah gantang? TIDAK!”… Tami seakan mengumpulkan segenap energinya tiap kali mengatakan kata ‘Tidak’. Aku yakin kalian bisa membayangkan bagaimana saat itu mata biru terangnya bersinar penuh determinasi…” Ayahnya mengakhiri ceritanya tentang Tami. Mereka semua tertawa, dan Neneknya memeluk Tami sambil berkata “Nenek bangga sekali padamu” dan tersenyum.

Mereka pulang ke rumah mereka dan menikmati sisa malam natal mereka antara lain dengan bermain puzzle yang biasa mereka lakukan pada malam natal. Dan kali ini mereka ditantang dengan puzzle yang terdiri atas 1000 keping yang sangat sulit. Mereka menyusunnya sampai pada bagian-bagian terakhir, hingga tengah malam.

“Bagian puzzle yang satu ini sangat sulit. Saya kira sudah cukup, marilah kita tidur” kata Ayah mereka.

“Kita tidak boleh menyerah! Bagaimana mun gkin kita menyerah begitu saja? Kita sudah sejauh ini” Tami memaksa Ayah dan saudara laki-lakinya, dan khirnya menjelang tengah malam Tami berhasil menemukan cara dan menyelesaikan permainan mereka.

Suatu hari saat Tami berusia 14 tahun dia dan Ibunya pergi ke Estes Park dalam rangka acara Mother-Daughter Outing (Jalan-jalan Ibu-Anak Perempuan) yang memang sudah menjadi agenda rutin keluarganya. Di suatu puncak bukit, sambil memandang keindahan alam, sambil tersenyum Ibunya berkata “Tami, Ibu senang sekali melihatmu bertumbuh dalam Tuhan. Ibu dan Ayah sangat bangga dengan prestasi kamu di sekolah, juga kemenangan kamu dalam lomba renang…! Tetapi Tami, terkadang kami berpikir kamu memakai standar yang terlalu tinggi untuk dirimu dan orang lain. Ingatlah selalu satu hal…Tuhan selalu mencintai kita apa adanya. Tuhan mencintai kita tanpa syarat, kita tidak harus berprestasi apa-apa untuk membuat-Nya lebih mencintai kita”. Tami diam merenung sambil menatap pemandangan..

“Tami, kamu masih ingat kata-kata dari 1 Korintus 13 yang kamu pelajari sepenuh hati beberapa tahun lalu?” Ibunya memecah keheningan.

“Bagaiama aku bisa lupa kata-kata itu? Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk mengingatnya hingga kini bisa aku ucapkan lagi!”

“Bagaimana kalau sekarang kita membaca lagi perikop tersebut?” kata Ibunya.

Mereka membuka Alkitab dan membaca seluruh bagian tersebut.

“Kasih adalah hal terpenting dalam kehidupan kita. Maksud Tuhan dengan kehidupan kita adalah untuk mengasihi. Banyak hal bisa saja salah atau gagal dalam kehidupan kita tetapi kasih tidak akan pernah gagal, tapi kasih tidak akan pernah berkesudahan” lanjut Ibunya. Tami mengangguk.

“Tami…bagaimana kalau ayat-ayat 1 Korintus 13 ini dijadikan poster kemudian digantung di pintu kamar mu?” tanya Ibunya.

“Ya, aku suka itu…! Itu khan ayat-ayat favoritku…terima kasih Bu..” Tami memeluk Ibunya.

Ibunya menggantung poster tersebut di pintu kamar Tami:

“Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.” (1 Korintus 13: 4-7)

Firman Tuhan yang tergantung di pintu kamarnya akan menghentikan Tami remaja pada track-nya. Saat itu dia sedang ujian akhir, ranselnya yang berat dengan buku-buku membuatnya agak membungkuk saat berjalan. Tami mundur sejenak dan membaca Firman Tuhan itu dalam hatinya. Bahkan setelah tiga tahun kata-kata Firman Tuhan itu masih saja membuat Tami berhenti untuk membacanya, bahkan sesibuk apa pun dirinya. Tami menjadikan ‘membaca’ Firman Tuhan di pintu kamarnya itu sebagai suatu kebiasaan setiap kali melewati pintunya walaupun dia sudah menghafalnya sejak beberap tahun sebelumnya. Tami ingin kata-kata Firman Tuhan ini mengubah dan membentuk dirinya. “…Jika segala sesuatu pada akhirnya akan berakhir maka kasih tidak akan pernah berakhir” pikirnya.

===================================================

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag