Tahun 2011, penduduk dunia telah mencapai angka 7 miliar, suatu pertambahan yang fantastis mengingat angka 6 miliar dicapai baru pada 11 tahun yang lalu yaitu tahun 1999. Penduduk bumi yang bertambah dengan cepat ini, tentunya dapat menyebabkan timbulnya potensi masalah dalam bidang sosial, ekonomi, demografi yang juga akan berpengaruh dalam bidang kesehatan. Karena pertanyaan pentingnya adalah apakah kita bisa menjaga kesehatan 7 miliar indvidu ini dengan optimal? Apakah imunisasi bagi balita bisa mencapai cakupan yang memuaskan, sehingga mereka akan terhindar dari penyakit-penyakit yang mengancam dalam dekade pertama dalam hidupnya. Apakah kita bisa memberikan nutrisi yang cukup, sehingga mereka tidak mengalami gizi buruk yang akan mengundang banyak penyakit? Apakah kita bisa mencegah mereka dari ancaman penyakit menular yang mematikan seperti HIV, H5Ni, Malaria, pneumonia dll. Apakah kita bisa menjamin kesehatan mereka secara umum sepanjang hidupnya lewat pelayanan kesehatan yang terjangkau baik dari sisi biaya maupun aksesibilitas?
Mandat itu
Tantangan ini memang harus diantisipasi dengan perencanaan matang yang berwawasan jauh ke depan. Pertambahan jumlah penduduk dunia 7 miliar memang menuntut profesi medis untuk bisa mengantisipasi hal-hal yang perlu terutama dari sisi keilmuan, selain masalah kesehatan rutin yang tetap harus dihadapi. Sebagai praktisi kesehatan yang ditempatkan Tuhan di negara ini lengkap dengan kompleksitas masalah yang ada, persiapan hati menjadi sesuatu yang penting dan esensi. Tuhan Yesus digerakkan oleh belas kasihan sebelum memulai pelayanannya dan ini menjadi dasar spiritualitas yang mendorong kita untuk mengerjakan apa yang Tuhan ingin lakukan untuk pasien dan masyarakat kita. Walaupun Tuhan bisa bekerja lewat penyakit yang datang pada seseorang, namun Tuhan Yesus dalam pelayanan-Nya juga ingin agar agar manusia dibebaskan dari penyakit, lewat banyak mujizat penyembuhan penyakit yang Dia lakukan. Mandat itu yang Dia berikan kepada kita para profesional kesehatan. Dan, ini yang seharusnya menggerakkan kita untuk memikirkan ke depan kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik lagi. Hati kita perlu untuk tetap diasah untuk mendasarkan kerja dan karya yang dilakukan pada kasih Allah pada ciptaan-Nya. Hal itu yang akan menjaga kita untuk tetap fokus dalam mencapai tujuan Ilahi, dimana mungkin teman kita sudah larut dalam tujuan dunia yang menggoda. Panggilan profesi medis untuk terus “menaklukkan bumi” bisa dalam bentuk mencari terobosan obat baru, tindakan pencegahan yang lebih baik dan penatalaksanaan penyakit yang lebih cost effective untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kita sebagai anak-anak Tuhan dipanggil untuk bekerja keras untuk mencapai hal-hal di atas itu.
Tantangan di depan akan semakin besar. Tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan – dokter dan para medis - masih menjadi masalah yang belum terpecahkan, yang berakibat tidak terlayaninya masyarakat dalam kesehatan. Dimana hal ini berkontribusi pada masih tingginya angka kematian ibu dan bayi di Indonesia. Kita patut menyesalkan semua ini dimana sebenarnya tenaga kesehatan ada, hanya saja tidak pada daerah yang terpencil yang membutuhkan. Organisasi Kristen, gereja dan anak-anak Tuhan harus turut ambil bagian dalam menempatkan tenaga kesehatan ditempat –tempat yang terpencil, dimana terkadang kehadiran dokter sangat ditunggu-tunggu seperti hujan di musim kemarau.
Masalah lain adalah tenaga kesehatan ada namun masyarakat tidak punya biaya untuk pemeriksaan kesehatan dan persalinan yang dibantu oleh petugas kesehatan. Untuk itulah pemerintah meluncurkan program Jampersal (Jaminan Persalinan) untuk ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi baru lahir.
Tingginya biaya pelayanan kesehatan masih menjadi keluhan sebagian besar masyarakat terutama didaerah urban. Kita bersyukur dengan di-sah-kannya UU BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial) sebagai roh dari UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) oleh DPR bulan lalu sehingga dalam beberapa waktu kedepan seluruh rakyat Indonesia dijamin dalam sistem asuransi sosial, yang terdiri dari jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun, hari tua dan kematian. Ini merupakan hak rakyat yang pemenuhannya dijamin oleh negara sehingga ke depan tidak ada masyarakat yang tidak dilayani kesehatan dasarnya karena tidak punya uang. Namun hal ini tetap memiliki tantangan yakni bagaimana memeratakan fasilitas kesehatan dan petugas sampai kepelosok desa. Walaupun pelayanan kesehatan gratis, namun kalau tidak ada fasilitas dan tenaga kesehatannya, tak ada artinya. UU ini juga akan mendorong pemberi layanan kesehatan untuk masuk kedalam sistem asuransi semesta ini, dimana dokter atau tenaga kesehatan tidak dibayar berdasarkan jumlah pasien yang dilayani sehingga mendorong mereka untuk lebih bisa berkonsentrasi kepada pasien dengan kualitas pelayanan yang lebih prima.
Dengan di identikasinya kompetensi masing-masing profesi tenaga kesehatan (perawat, bidan, dokter, dokter spesialis dll) yang dikukuhkan dalam peraturan menteri kesehatan, maka profesionalisme merupakan harga mutlak yang harus dibayar oleh mereka. Masing-masing kita akan bekerja sesuai dengan fungsi dan kompetensi masing-masing sehingga tidak ada profesi yang membawahi profesi lainnya. Perawat, juga sudah semakin mendalami profesinya dengan adanya strata 2 ilmu keperawatan dan malah sampai strata 3. Sehingga seperti yang sudah terjadi diluar negeri, seorang perawat memperkenalkan dirinya kepada pasien seperti ini: “ My name is Dr Jacob and I am your nurse”. Seluruh profesi dalam bidang medis harus bisa bekerjasama demi kepentingan pasien dan masyarakat khususnya pada contoh situasi di atas yang akan cepat atau lambat akan tiba di Indonesia.
Harus berbenah
Seiring dengan tuntutan demokrasi dan pemenuhan hak-hak sipil, maka akuntabilitas dalam bidang pelayanan kesehatan merupakan hal yang tak bisa ditawar. Hampir tidak ada wilayah yang tabu untuk diakses untuk dievaluasi masyarakat kalau suatu pelayanan menyangkut kepentingan dan keselamatan publik. Bahkan ruang kokpit pesawat udara saat ini tidak terlalu tabu untuk dievaluasi oleh publik lewat pengadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada pilot pesawat yang pesawatnya mengalami kecelakaan dan menyebabkan korban jiwa. Profesi medis tidak bisa berdalih bahwa keputusan atau tindakan yang diambil oleh mereka tidak bisa dievaluasi oleh orang lain atau pihak diluar profesi mereka tidak bisa diterima saat ini. Karena fakta yang mengejutkan dalam buku To Err is Human (2000) adalah bahwa kesalahan tindakan medis (medical error) menyebabkan 44,000 pasien meninggal pertahun di rumah sakit-rumah sakit di Amerika Serikat, dan itu menempatkan sistem pelayanan kesehatan menjadi penyebab kematian ke tiga terbesar dinegara Amerika Serikat. Kalau ini terjadi di negara yang sudah diakui kemajuan sistem pelayanan medisnya, bagaimana pula dengan negara kita? Kita, tenaga kesehatan, harus berbenah dengan rajin meng-update ilmu dan keahlian dalam bidang masing-masing dan yang terpenting mau dengan hati dievaluasi untuk perbaikan. Kita tidak bisa lagi menuntut agar pasien percaya saja dengan tindakan atau keputusan yang kita ambil. Kepercayaan bisa disalah gunakan dan untuk itu perlu transparansi dan akuntabilitas demi melindungi pasien dan keselamatannya. Pergeseran peran “pasien” menjadi “klien” saat ini menyebabkan pasien membutuhkan informasi lebih dan waktu untuk konsultasi. Walaupun Hippocrates (470 BC) pernah mengatakan: “He must also keep a most careful watch over himself, and neither expose much of his person nor gossip to laymen, but say only what is absolutely necessary”, namun situasi zaman ini menuntut dokter untuk bisa menyesuaikan perannya dengan perkembangan yang terjadi dimana globalisasi, arus teknologi informasi dan penegakkan hak sipil merupakan pilar perubahan utama. Berlawanan dari pemahaman sebagian dokter selama ini, faktanya bahwa jika ditinjau dari sisi medis pun, keterlibatan pasien dalam tindakan medis yang akan diambil dan kerjasama antar pasien-dokter akan menghasilkan kondisi medik pasien yang lebih baik. Sehingga tidak bisa dipungkiri lagi pendekatan lama harus mulai disesuaikan dengan perkembangan zaman yang terus berubah. Kalau dulu kerahasiaan terhadap pasien merupakan keharusan, namun kini tranparansi lah yang merupakan keharusan. Sehingga kalau saja Hippocrates hidup pada zaman ini, maka mungkin dia akan mengatakan: “The price of physicians autonomy is transparency.”
Anak Tuhan yang ditempatkan di profesi kesehatan harus berani mengambil langkah pasti demi kepentingan sesama yang kita layani, yang berlandaskan belas kasih Tuhan Yesus.
“Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25:40).
oleh: dr. Benyamin Sihombing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar