DOKTER & PANGGILANNYA SEBAGAI KLINISI:
“Masih Dokter?”
Beberapa saat lalu ketika mengantar anak saya
renang, saya dikejutkan dengan sapaan seorang pemuda, mantan anggota gereja
dimana saya beribadah. Setelah menyapa dengan kalimat-kalimat yang standar, dia bertanya,” masih dokter?”.
Saya sempat terdiam, sejujurnya agak tersinggung, karena tidak menduga ada
pertanyaan “tidak sopan” seperti itu. Cerita seolah bersambung, karena tidak
lama kemudian saya bertemu dengan seorang teman sejawat di sebuah rumah sakit
swasta yang memberitahu saya bahwa kemungkinan tahun depan dia tidak harus
bekerja lagi sebagai dokter karena dia telah mengalami “financial freedom”, karena penghasilannya dari berjualan produk multi level marketing sudah jauh dari
apa yang diperolehnya selama ini. Keputusan ini diambilnya setelah 21 tahun
melayani pasien. Tidak lama kemudian salah satu anggota gereja kami juga
banting stir, membuka kelas bimbingan belajar bagi anak-anak, karena menurutnya
sulit bersaing jadi dokter di Jakarta ini. Saya mulai berfikir bahwa wajar saja
bila ada yang bertanya,”masih dokter?”. Tanpa bermaksud menganggap teman-teman
sejawat yang beralih profesi sebagai pihak yang gagal, karena saya percaya pimpinan
Tuhan untuk kita masing-masing dalam menjalani hidup ini sangatlah individual.
Akan tetapi bila kemapanan finansial yang menjadi target utama dalam
menjalankan profesi ini, maka akan ada banyak tawaran yang membuat kita
meninggalkan panggilan menjadi seorang praktisi medis, bahkan pada sisi
negatif, bukannya sebagai penyembuh, dokter
bisa saja menjadi pengeksploitasi materi dari pasien demi keuntungan pribadi.
Berangkat jam 6 pagi, setiba di rumah sakit
atau klinik sudah ditunggu pasien untuk pemeriksaan atau tindakan, jeda
sebentar untuk makan siang langsung kembali ke meja tindakan atau meja
pemeriksaan, istirahat sedikit untuk pindah ke rumah sakit atau makan malam,
praktek lanjut lagi sampai malam, bahkan tengah malam, dan yang lebih “gila”
lagi sampai subuh! Sound familiar right!
Buat beberapa dari kita mungkin membacanya sebagai pengalaman sendiri. Kalau
direnung-renungkan, apakah ini panggilan hidup atau memang tidak ada lagi teman
sejawat lain yang memiliki skill yang sepadan, atau sekedar rutinitas yang
bersifat akumulatif, dimana waktu kerja kita semakin hari semakin panjang
karena jumlah pasien dari hari ke hari makin bertambah juga.
Adakah kita sering bertanya pada diri sendiri,
apakah kita masih mampu melihat pekerjaan kita sebagai bagian dari panggilan
hidup kita sebagai seorang klinisi ataukah perlahan sudah berubah menjadi ajang
penambahan penghasilan, atau kancah untuk mengeksplorasi lebih banyak
pengetahuan dan ketrampilan klinis mutakhir, atau area untuk menunjukkan kepopuleran atau suatu
kepuasan karena dibutuhkan banyak orang, atau sudah menjadi semacam perangkap
dimana irama penanganan pasien di kota-kota besar seperti Jakarta dengan
populasinya yang besar, mengharuskannya berjalan demikian? Sayangnya memang
kesibukan kita sendiri yang menjadi penghalang nomor satu ketika kita
mengharapkan memiliki waktu yang cukup untuk merenungkannya, ditambah lagi
kesibukan dalam keluarga dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Kadang saya menguji diri dengan bertanya pada
diri sendiri, akankah saya segiat ini bila saya tidak dibayar? Atau akankah
saya tetap dengan sukacita memenuhi panggilan dari rumah sakit diluar jam kerja
saya walaupun tidak dibayar ekstra? Atau akankah saya bersemangat dan penuh
perhatian seperti ini bila pasien-pasien yang saya layani adalah mayoritas kelompok
gakin? Akankah saya seramah ini bila saya tahu bahwa pasien-pasien ini tidak
akan meningkatkan penghasilan dan kepopuleran saya? Saya sadar sepenuhnya bahwa
melalui profesi ini saya berhak memperoleh penghasilan yang layak untuk
kelangsungan hidup saya dan keluarga, namun perenungan seperti ini seringkali
memberikan pandangan ke dalam diri yang kuat, bahkan mengingatkan saya untuk
kembali kepada panggilan yang mula-mula ketika memilih berkarir di jalur
klinisi, yang tidak lain adalah berada di garis depan, berhadapan langsung dengan
pasien dengan segala penyakit yang dideritanya, berjuang dengan pengetahuan dan
ketrampilan terbaik untuk mengatasinya, yang terkadang mengkonsumsi begitu
banyak waktu, pikiran, tenaga, emosi di luar perkiraan awal, tanpa peduli pas atau
tidak pas waktunya bagi sang dokter.
Dalam perjalanan karir saya yang baru sekitar 20
tahun ini, saya bersyukur telah Tuhan ijinkan bekerja sebagai klinisi,
menikmati padatnya jadwal pelayanan pasien, dan menyaksikan dari dekat dan bekerja
sama, baik dengan teman-teman sejawat yang lebih muda, maupun dengan teman sejawat yang jauh lebih senior, yang
bahkan sudah memulai karirnya sebagai dokter sebelum saya lahir. Ada
wajah-wajah ceria dari pasien dan keluarga karena berhasil melalui masa kritis,
namun tidak jarang tangisan dan air mata mengiringi kepergian pasien-pasien
yang sudah kita tolong melalui proses yang panjang dan melelahkan, ada ucapan
terima kasih yang tulus dari keluarga yang mampu menghapus sebagian kelelahan
karena kerja seharian, namun tidak jarang pula ungkapan-ungkapan tidak puas
kita terima yang membuat kita merasa jerih payah kita tidak lagi dihargai, ada
pasien dan keluarga yang berusaha sedapat mungkin tidak mengambil waktu
istirahat sang dokter, namun tidak sedikit yang merasa bahwa dokter harus
memberikan segala-galanya, kalau perlu tidak tidur dan tidak makan, untuk
melayani pasien-pasiennya.
Dalam masa-masa ini setidaknya ada 3 hal yang
menurut saya menarik untuk direnungkan dan menjadi begitu berharga untuk
refleksi diri sebagai seorang murid Kristus yang memilih profesi medis sebagai
kesempatan melayani dan menyatakan kasih Kristus bagi sesama. Pertama-tama adalah tentang keputusan untuk memilih
menjadi seorang klinisi dan bukan berkarir di bidang struktural, peneliti, atau
farmasi misalnya. Walaupun sebagian dokter juga mampu merangkap sebagai
klinisi, pengajar, peneliti , sekaligus pejabat di fakultas. Apakah hanya
karena mengikuti arus utama di kalangan profesional medis, setelah lulus, buka
praktek atau spesialisasi? Ataukah menjadikannya sumber mata pencaharian? Ataukah
benar-benar telah melalui suatu perenungan yang mendalam berdasarkan minat dan
kemampuan yang ada. Kedua adalah
bagaimana, setelah praktek bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun,
tetap memelihara integritas dan konsistensi dalam memandang pasien sebagai
individu-individu yang harus dilayani,dan
bukan sebaliknya menjadi jenuh dan kehilangan passion. Ketiga adalah bagaimana pengenalan akan Kristus Yesus dan
persekutuan denganNya dari hari ke hari menjadikan dokter-dokter Kristen
pribadi yang berbeda, yang mampu melihat profesi yang dijalaninya bukan
sebagai tujuan akhir, melainkan bagian
yang integral dari misi hidup kekristennya.
Berikut ini adalah petikan-petikan wawancara
saya dengan beberapa teman sejawat yang kiranya dapat memberikan inspirasi dan
pandangan ke dalam diri yang baru kepada kita semua.
Rekan se-angkatan dan persekutuan saya di FK
UGM , dr. Neni Herawati, yang saat
ini melayani sejumlah besar pasien di praktek umumnya di kawasan Serpong, berbagi
bahwa panggilan untuk melayani pasien-pasien tersebut sangatlah jelas
diperolehnya sejak memutuskan masuk di Fakultas Kedokteran. Namun setelah
melewat 10 tahun pertama prakteknya, dia mulai merasakan kejenuhan. Jumlah
pasien yang bisa mencapai 100 dalam sehari, membuatnya tidak lagi bisa
mendengarkan keluhan pasien, sehingga berlaku “kejam” (istilah yang digunakan
beliau) dengan memberikan waktu sesingkat mungkin kepada setiap pasien dalam
upaya menyelesaikan beban pekerjaannya. Pekerjaan yang awalnya sangat
dinikmatinya berubah menjadi sebuah beban.
Melalui banyak proses yang menyakitkan dalam
hidupnya, termasuk saat dia sendiri menjadi pasien dari seorang spesialis mata
yang super sibuk, Tuhan menolongnya kembali mampu melihat pasien sebagai
individu-individu yang harus dilayaninya. Saat ini Neni jauh lebih bijak dalam
membatasi jumlah pasien, sehingga dapat memberikan lebih banyak perhatian
kepada pasien-pasiennya dan bahkan memfasilitasi pelayanan konseling gereja
bagi mereka yang bermasalah. Penghasilan mungkin berkurang, namun kini Neni
dimampukan melihat pasien-pasien dengan perspektif berbeda.
Dalam kesempatan lain, saya sempat ngobrol
dengan dr. Artono Isharanto, rekan
sekerja saya dalam beberapa penyelenggaraan Kamp Medis. Beliau baru saja
menyelesaikan spesialisasi bedah thoraks kardio vascular dan saat ini kembali
ke Malang untuk mengembangkan pelayanan bedahnya di FK Unibraw. Menarik bahwa
Tuhan memimpin beliau berada dalam posisinya saat ini melalui proses yang
berliku, namun pertolongan Tuhan selalu datang tepat pada waktunya.
Keputusannya mengambil spesialisasi bedah
berawal dari usaha evakuasi pasien dengan kasus bedah saat menjalani PTT di Papua.
Sayangnya pasien tersebut meninggal sebelum mendapatkan penanganan medis yang
seharusnya. Berbekal kerinduan untuk menolong rakyat Papua yang dilayaninya
saat PTT, Artono menjalani spesialisasi bedah di FK Unibraw, namun usahanya
untuk kembali ke sana terkendala perubahan status otonomi daerah, sehingga
akhirnya dia diarahkan untuk melayani
sebagai spesialis bedah di Kupang, NTT. Pelayanan
selama 2 tahun di sana, lalu diperpanjang lagi 1,5 tahun membuatnya sempat
mempertanyakan kepada Tuhan, apakah tawaran untuk menjadi staf bedah di FK
Unibraw, yang diterimanya saat masih menjadi residen, memang untuknya. Untuk
jadi staf Artono jelas harus memiliki keahlian lebih dari sekedar bedah umum.
Jawaban Tuhan menjadi sangat jelas ketika dalam waktu yang amat terbatas
lamarannya di bagian bedah thoraks langsung diterima dan setelah menyelesaikan
trainingnya di FK UI/RSCM, dia diterima menjadi staf bagian bedah di FK
Unibraw. Dalam kilas baliknya Artono menunjukkan kekagumannya akan cara Tuhan
memimpinnya dari waktu ke waktu sampai dengan saat ini. Buatnya, persekutuannya
dengan Kristuslah yang memampukannya melewati pergumulan-pergumulan yang
dihadapinya, dan memelihara dirinya sehingga dengan berlalunya waktu bahkan
sampai dengan saat ini sebagai seorang spesialis bedah thoraks, dia masih
memiliki kerinduan yang sama dengan yang dimilikinya saat mahasiswa, yaitu
bermisi melalui profesinya.
Wawancara dengan rekan saya dr. Martin Rumende, internist,
konsultan paru, alumni FK UKI, memberikan kekaguman lain akan pimpinan Tuhan
untuk anak-anakNya. Menurut beliau pimpinan Tuhan dalam memilih interna sebagai
bidang keahliannya adalah melalui minat yang diberikanNya saat menangani
kasus-kasus semasa ko-as. Martin memulai kesaksiannya dengan menceritakan
kronologi perjalanan karirnya.
Rasa nyaman selama di RS PGI Cikini, ditambah
dengan tawaran almarhum Prof. Dr.
Sidabutar untuk bergabung dengan timnya menangani kasus-kasus nefrologi sempat
membuatnya melupakan panggilan untuk melayani di daerah, namun dengan dukungan
sang istri mereka berangkat ke Jayapura sebagi dokter inpres. Melalui banyak
pergumulan selama di tanah Papua, tidak menyurutkan semangatnya untuk melamar
menjadi residen di bagian Penyakit Dalam FK UI. Fase yang lebih menantang dalam
hidupnya adalah saat menerima tawaran untuk menjadi staf Penyakit Dalam FK UI
usai menjalani residensi. Setelah diterima melalui perjuangan yang berat,
Martin merasa ada antiklimaks, karena dia ditempatkan justru di sub bagian yang
paling tidak disukainya, yaitu paru. Ada usaha untuk mengundurkan diri, namun
ketika dengan “keterpaksaan” beliau menerima tanggung jawab tersebut, Tuhan perlahan-lahan
membukakan matanya akan begitu banyaknya kesempatan baik untuk belajar maupun
melakukan tindakan-tindakan untuk menolong pasien-pasien melalui prosedur-prosedur
yang selama ini belum banyak dikerjakan
di bidangnya. Dengan berjalannya waktu dia mulai meyakini inilah bidang yang
Tuhan sediakan untuknya.
Di akhir pembicaraan, Martin sungguh bersyukur
dengan cara Tuhan bekerja dalam hidupnya, dengan dukungan istri dan juga
rekan-rekan seimannya, Tuhan terus membawanya kembali kepada panggilannya untuk melayani pasien-pasiennya sesuai dengan
nazar yang dibuatnya ketika masih mahasiswa. Persekutuannya dengan Kristus-lah
yang memampukannya tetap setia melayani masyarakat tidak mampu di poli penyakit
dalam RSCM selama jam kerjanya sebagai PNS sesuai dengan perikop yang selalu
diingatnya Matius 25: 31-46, bahwa melayani mereka seperti melakukannya untuk
Kristus.
Untuk integritas & konsistensi dalam
praktek saya sangat terkesan dengan almarhum dr. Sander Batuna, SpA. Saya bersyukur dapat menjalani praktek
bersama selama 7 tahun di rawat jalan dan rawat inap dengan almarhum. Setelah hidup
bertahun-tahun menjadi dokter di tengah-tengah suku Asmat, beliau melanjutkan studi spesialisasi anak di Amerika
Serikat. Sebagai pediater pada tahun 70-an, beliau memiliki banyak kesempatan
untuk mempromosikan dirinya demi kemakmuran finansial, namun beliau memilih
untuk praktek secara bersahaja sehingga menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan
benar-benar mengutamakan profesionalisme dan ketulusan. Pesan yang selalu
diulang-ulang beliau adalah bahwa ilmu kedokteran yang kita praktekkan adalah western medicine, yang berdasarkan
riset-riset terdahulu, jadi jangan pernah memberikan terapi hanya berdasarkan
asumsi, harus kembali ke textbook dan
penelitian-penelitian terbaru. Nasehat yang sama pentingnya adalah jangan
pernah membohongi, apalagi mengambil keuntungan dari pasien karena ketidaktahuan mereka, dan
jangan melupakan posisi sebagai spesialis anak adalah termasuk melindungi anak
dari keinginan/tindakan yang salah dari orang tua dalam keterbatasan
pengetahuan mereka. Hal ini benar-benar beliau tunjukkan dalam praktek
sehari-harinya dan saat mendampingi saya menangani kasus-kasus sulit, hingga
menjelang kepergiannya di usia 72 tahun. Hari-hari penghiburan di rumah duka dipenuhi
dengan kesaksian-kesaksian akan integritasnya dalam melayani sesamanya.
Dokter
Handaya, SpOG adalah sosok lain yang patut kita
teladani integritasnya dalam pelayanan kepada pasien. Sebagai seorang yang senior di
bidangnya, pensiunan staf di FK UI/RSCM ini sejak muda terus berjuang untuk
suatu pelayanan yang sesuai standar pelayanan yang ada, diantaranya dengan
melakukan pemeriksaan penunjang secara rasional, tidak melakukan tindakan
sectio caesaria dengan indikasi yang tidak jelas, ataupun menggunakan
obat-obatan yang tidak jelas indikasinya. Menurut beliau, pengetahuan pasien
akan prosedur-prosedur medis sangatlah terbatas, sehingga kejujuran diri kita
sebagai dokterlah yang dipertaruhkan. Beliau selalu mengingatkan bahwa bila
berpraktek dengan benar, maka kemapanan finansial secara perlahan-lahan akan
datang sendiri, tidak perlu kuatir, tidak perlu buru-buru menjadi kaya raya
melalui profesi ini. Dalam segala kerendahan hati, beliau menyampaikan
bagaimana teladan yang ditinggalkan guru-guru beliau di masa lalu sangatlah
kuat mempengaruhinya dalam menjalankan praktek dengan penuh integritas.
Buat kita semua yang merespon panggilan Tuhan
untuk bekerja di lini depan, melayani pasien-pasien yang diijinkanNya hadir di
ruang praktek atau ruang tindakan di tempat kita bekerja, adakah pengenalan dan
persekutuan kita dengan Tuhan membuat kita menjadi pribadi yang berbeda dalam
melayani mereka? Adakah sukacita menjadi perpanjangan tangan Kristus dalam
melayani mereka selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan saat kita
menjalani profesi ini? “Masih dokter?”. ”Ya!”
Selamat
melayani dan menjadi berkat!
Oleh: dr. Lineus
Hewis, SpA
Sudah dimuat di
majalah samaritan edisi-1, Tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar