Dari banyak kegiatan di bidang kesehatan masyarakat (publik), advokasi merupakan kegiatan yang sangat penting, ditujukan untuk merubah kebijakan atau paradigma dari pengambil keputusan. Perubahan ini kemudian diharapkan akan membawa keuntungan bagi suatu program tertentu demi
kepentingan masyarakat luas. Banyak teman yang bekerja di puskesmas saat PTT atau di klinik,
mengeluh - mereka frustasi, saat masalah program yang akan mereka coba atasi berada pada otoritas diluar atau diatas mereka, seperti camat, dinas kesehatan, sektor non kesehatan, bupati dan lain-lain.
Usulan atau upaya baik yang mereka ingin perjuangkan, tidak ditanggapi bahkan ditolak oleh pengambil keputusan. Biasanya ini segera menimbulkan reaksi dari teman-teman kita, mulai seperti:”tidak tahu prioritas”, ”tidak kompeten”,”tidak punya integritas” sampai pada: ”dikuasai kegelapan”. Sebelum kita ikutikutan menegakkan ”diagnosa” di atas dan ada baiknya lebih dahulu kita berpikir jernih tentang kemungkinan masalah yang sebenarnya.
Ada pihak/pejabat yang memang tidak kompeten dibidangnya atau tidak punya integritas, namun dari pengalaman saya, yang sering terjadi adalah bahwa pihak pengambil keputusan tidak mengerti latar belakang atau konten ”upaya baik” yang kita usulkan. Terkadang, penyebabnya adalah soal prioritas
yang lebih tinggi dari ”upaya baik” kita. Bisa juga dikarenakan kesibukannya, sehingga ”waktu” kita menyampaikan usulan tidak tepat. Kemungkinan lain adalah memang si pihak pengambil keputusan belum mengerti besaran masalah dan impaknya bagi masyarakatnya, sehingga tidak tahu prioritas. Namun dalam kasus ini memang tugas kitalah untuk memberi pengertian dan meyakinkan dia secara ilmu pengetahuan dan pengalaman. Hal lain adalah si pengambil keputusan sudah mempunyai
persepsi yang salah terlebih dahulu tentang ”upaya baik” yang kita gagas, sehingga memang
perlu usaha dan penjelasan yang persuasif yang tidak bisa hanya sekali saja, namun harus berulang-ulang. Seorang teman mengatakan ada 3 modal dasar penting untuk suatu advokasi yang berhasil, yakni kesabaran, kesabaran dan kesabaran. Tidak boleh terjadi, dimana kita bosan meng-advokasi pihak pengambil keputusan. Yang bisa terjadi adalah pihak pengambil keputusan menjadi ”bosan” dengan kita, sehingga akhirnya menyetujui usulan kita.
Saya ingin membagikan upaya advokasi yang kami lakukan untuk mencoba menghilangkan diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta (terminologi yang dipakai untuk pasien kusta yang sedang masa pengobatan dan juga yang telah selesai pengobatan namun mengalami kecacatan) baru-baru ini. Ada 2 musuh besar yang harus dihadapi dalam penanggulangan penyakit kusta. Pertama adalah kuman kusta (mycobacterium leprae) dan yang kedua, stigma terhadap kusta. Bukan saja stigma kusta yang tumbuh di masyarakat, tapi juga di kalangan petugas kesehatan sendiri.
Walaupun isolasi atau pengasingan secara fisik pasien kusta sudah tidak ada lagi saat ini namun
perlakuan diskriminatif masih terjadi dalam masyarakat. Mereka dijauhi teman dan kerabat karena penyakitnya, sulit menikah, ditolak bekerja, hasil produksinya tidak dibeli karena penyakitnya, ditolak menggunakan fasilitas-fasilitas publik. Fasilitas publik yang dimaksud termasuk fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan klinik. Masih sering kita mendapatkan laporan dari teman-teman di lapangan, orang yang telah selesai pengobatan kusta namun cacat, ketika akan berobat penyakit umum (bukan kusta) di suatu RS/klinik, oleh RS/klinik tersebut, orang tersebut dirujuk ke RS kusta, yang jaraknya tidak dekat. Ada juga laporan bahwa orang yang cacat kusta ditolak secara halus untuk mendapatkan penanganan penyakit/kondisi umumnya di klinik, dengan alasan dokternya tidak ada atau ruangan sudah penuh; padahal kenyataannya tidak. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi tentang kusta pada petugas kesehatan dan juga karena leprophobia
(takut berlebihan terhadap kusta) pada petugas kesehatan. Disamping itu, kita menyaksikan banyak rumah sakit kusta minim fasilitas untuk layanan pasien kusta, berbeda halnya dengan pasien-pasien umum. Upaya untuk memperbaiki masalah ini sudah dilakukan secara sporadis dan lokal oleh pihak dan organisasi yang prihatin, namun belum mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Belajar dari hal di atas, kami membentuk sebuah forum yang terdiri dari organisasi/institusi pemerintah dan non pemerintah, untuk semakin merapatkan barisan dan mengarus-utamakan isu yang akan disuarakan yakni penghentian diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta. Forum ini kemudian kami beri nama Koaliasi Indonesia untuk Inklusi Kusta (KITA). Kegiatan forumyang utama adalah advokasi, yang dalam masalah ini untuk merubah kebijakan pelayanan kesehatan ke arah yang tidak diskriminatif terhadap orang yang pernah mengalami kusta. Pada tahap awal penting untuk menentukan 2 audiences advokasi, yakni primary audience, pihak pengambil keputusan dan secondary audience, orang/kelompok yang bisa mempengaruhi si pengambil keputusan di atas. Dalam kasus kami maka primary audience adalah direktur rumah sakit/ manager
klinik, dokter, perawat di seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia dan secondary audience adalah menteri kesehatan, organisasi profesi, dan institusi pendidikan dan lain-lain. Secondary audience
disini diharapkan akan merubah paradigma dan kebijakan lokal rumah sakit/klinik untuk menjamin
pelayanan yang tidak diskriminatif terhadap orang yang pernah mengalami kusta.
Agar gaungnya besar dan mudah dibaca masyarakat luas, maka strateginya adalah dengan membuat suatu Piagam Seruan Nasional untuk Mengatasi Kusta, yang berisikan dukungan anti-diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta. Piagam ini kemudian ditandatangani oleh 14 ketua
organisasi/institusi kesehatan dan profesi, termasuk Menteri Kesehatan.Piagam ini akan diperbanyak untuk kemudian disebarkan di seluruh fasilitas kesehatan pemerintah ataupun swasta yang ada kasus kustanya. Mencari waktu untuk audiensi kepada semua secondary audience tidak mudah.Butuh
kesabaran untuk terus berusaha mendapatkan waktu mereka untuk bisa memaparkan latar belakang dan tujuan Piagam Seruan Nasional dibuat, sehingga yang bersangkutan akhirnya mau ikut menandatangani piagam tersebut.
Agar gaung Piagam Seruan Nasional ini semakin besar, maka pencanangannya dilakukan pada perayaan Hari Kusta Sedunia tahun 2012 di Kementerian Kesehatan dan isi piagam tersebut secara keseluruhan di iklankan di koran Kompas dan Media Indonesia sehingga dibaca secara luas oleh masyarakat terutama primary audience. Namun target bukan hanya sampai disini, karena target lain adalah advokasi langsung sekaligus sosialisasi isi piagam seruan nasional mengatasi kusta ini kepada pihak rumah sakit dan klinik. Disini peran organisasi orang yang pernah mengalami kusta, yang
merupakan anggota KITA, sangat sentral. Mereka adalah representasi pihak yang terdampak dari diskriminasi di pelayanan kesehatan selama ini, sehingga posisinya sangat kuat dalam menyuarakan isi Piagam Seruan Nasional tersebut. Mereka diterima dengan baik dan positif oleh pihak rumah sakit dan pesan advokasi pun dengan lancar mengalir. Sampai saat ini kegiatan advokasi dan disertai kegiatan penempelan piagam di rumahsakit dan klinik oleh petugas kesehatan dan organisasi orang
yang pernah mengalami kusta masih terus berlangsung di daerah-daerah. Sebagian besar kegiatan ini diliput oleh media sehingga masyarakat lebih disadarkan tentang isu diskriminasi kusta ini. Kesinambungan advokasi/sosialisasi isi piagam seruan nasional ini akan terus dipastikan supaya tidak redup ditengah jalan. Usaha lain, menyisipkan materi Piagam Seruan Nasional pada simposium ilmu
kedokteran/kesehatan, pertemuan rumah sakit, pertemuan dinas kesehatan dan lain sebagainya. Meskipun impak dari advokasi ini belum terlihat sekarang namun KITA optimis, melihat respon yang ada, upaya advokasi ini akan merubah paradigma petugas kesehatan dan kebijakan rumah sakit/klinik untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi orang yang pernah mengalami kusta, sama seperti
masyarakat lainnya.
Pengalaman saya pribadi advokasi membutuhkan kesabaran (untuk terus mencoba dan tidak selalu menyalahkan pihak tertentu), ke-rendah hatian untuk bekerjasama dan menerima perspektif dengan orang lain, berpikiran luas (think out of the box), kepekaan terhadap masalah yang dihadapi orang banyak dan ilmu pengetahuan. Bukan sesuatu yang mudah memang, namun saat berhasil itu akan
merubah kebijakan yang berdampak luas untuk kemanusiaan.
Dr. Benyamin Sihombing, MPH
Alumni Fak. Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(1989 – 2006)
Master of Public Health course, National University
of Singapore (2008 – 2009 )
Saat ini Bekerja di Ditjen Pengendalian Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan, Kemenkes RI
& Neglected Tropical Diseases (NTD) Programme,
WHO Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar