Selasa, 12 Maret 2019

Jika Pasien Mengalami Konflik Batin

Hidup manusia dalam dunia yang berdosa sering diwarnai dengan realita dan pengalaman-pengalaman yang tidak fair atau menyakitkan. Hal ini bisa mengakibatkan respon berupa keluhan, pemberontakan, kecemasan atau ketidakberdayaan menghadapi hidup. Seringkali respon tersebut juga dimanifestasikan dalam bentuk keluhan fisik yang pada akhirnya "menutupi" konflik yang sebenarnya. Keluhan fisik ini lebih menjadi perhatian utama dan terasa lebih "layak" bagi pasien untuk diungkapkan kepada dokter daripada ia datang dengan psychological problem. Keadaan demikan biasa disebut sebagai Psychosomatic Disorder, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh satu kombinasi dari faktor organis dan psikologis. Beberapa ayat Alkitab juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara kondisi psikologis dengan kesehatan atau keluhan fisik, seperti: Mazmur 38:1-14 (rasa bersalah mengakibatkan sakit kepala, kehabisan tenaga, jantung berdebar); Amsal 14:30 (iri hati membusukan tulang) dan Amsal 17:22 (semangat yang patah mengeringkan tulang).

Untuk memperjelas hal ini, perhatikan satu kasus yang ada: Seorang wanita telah menikah sejak usia 23 tahun. Ia tampak baik-baik saja, hingga pada usianya yang ke-28, ia mulai merasa sakit pencernaan, merasa kelelahan dan seringkali pusing. Suaminya sangat memperhatikannya dan berusaha memberikan medical care yang terbaik. Selama 3 tahun terakhir ini ia sudah menjalani berbagai medical and surgical treatment. Namun, ia justru semakin tertekan dan penyakit pun tak kunjung membaik.

Kasus di atas perlu ditangani secara medis maupun psikologis melalui konseling. Penanganan medis dilakukan setelah dokter mengetahui psychosomatic history dan memberikan psychosomatic medicine. Sedangkan penanganan psikologis yang dilakukan adalah mencoba menolong pasien untuk menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi di dalam dirinya. Apakah konflik batin yang menekan dan mengusai hidupnya sehingga secara tidak sadar termanifestasi dalam bentuk keluhan fisik? Bagaimana menolong pasien memakai sarana jalan yang sesuai dengan iman Kristen dalam mengatasi konflik batinnya dan mengalami pertumbuhan menuju kedewasaan rohani? David B.
Benner[1] menyatakan beberapa penyebab psychomatic disorders antara lain genetic predisposition, stressful environment situation, learned covert physiological responses dan faulty personal dan family coping styles. Sedangkan Edward W. & O. Spurgeon E.[2] mengungkapkan bahwa "Sometimes the patient's greatest suffering suffering is from immediate deprivations. In still other instances it may be a combination of the two." 

Untuk menolong pasien ini, sebut saja ibu X, beberapa prinsip konseling ini perlu dipikirkan:
  • Pahami keluhan fisik dan mencoba mengerti konflik batinnya. Sikap pertama yang perlu diekspresikan oleh saudara adalah memahami bahwa keluh kesah pasien secara fisik adalah realita, bukan imajinasi pasien semata. Sikap ini sangatlah penting, karena secara umum ia akan cenderung resistan bila saudara secara langsung mengindikasikan bahwa penyakit ini hanyalah usaha menghindar atau menekan permasalahan yang sebenarnya. Ia akan menolak jika saudara mengatakan bahwa proses kesembuhan hanya bisa terjadi bila ia berbenah diri dalam attitude, style of life, values, motives dan memperbaiki relasi yang ada. Bahkan, kemungkinan besar ia akan pindah dan mencari dokter yang bisa memberikan "right medicine" kepadanya.
Selanjutnya, cobalah membimbing pasien ke dalam suasana percakapan yang kondusif sehingga memungkinkan ia mempunyai kesempatan terbuka dan bebas untuk mengekspresikan dirinya (perasaan dan persoalan) secara tepat. Suasana yang kondusif ini hanya bisa terjadi bila saudara mau belajar memiliki hati yang empati. Empati adalah kesediaan diri untuk menempatkan diri pada tempat orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan mengerti dengan pengertian orang lain”[3] (dalam hal ini adalah pasien). Sikap ini merupakan salah satu prinsip konseling yang terpenting (1 Korintus 9:22).

Melalui pembicaraan lebih lanjut tentang perasaan dan persoalannya terungkap bahwa: Ternyata, ia anak tertua dari 5 bersaudara yang memiliki jarak usia berdekatan (berbeda 1,5 tahun) dengan adik-adiknya. Ketika ia masih kecil, ibunya sangat lelah merawat anak-anaknya sehingga mengharuskan si sulung untuk membantunya. Hal ini, berakibat ia harus memikul banyak tanggung jawab yang tidak sepadan dengan usianya. Ia tumbuh sebagai anak dengan "growing up too old too soon". Banyak keinginan dan kebutuhannya yang tidak diperhatikan dan dipenuhi. Ia merasa tidak mendapatkan dan merasakan kasih sayang.


  • Coba menangkap pola pikir dan perasaannya berdasarkan pembicaraan singkat yang mungkin dilakukan selama proses medikasi, cobalah untuk menganalisanya. Ibu X rupanya seorang wanita yang tumbuh dengan penuh tuntutan sejak masa kecilnya sebagai anak tertua. Keberadaannya dihargai dan diterima hanya ketika ia bersikap sebagai "a good girl" seperti: tidak mengisi waktu dengan bermain, melainkan menjaga adik-adik dan membersihkan rumah. Sebaliknya, ia merasa tidak diterima sebagai anak kecil yang menginginkan permainan, ia tidak selalu bisa menjaga kondisi rumah agar tetap bersih dan ia butuh sentuhan kasih sayang.
Seorang psikolog besar, Carl Rogers mengungkapkan bahwa kondisi seperti ini akan mengakibatkan ibu X tumbuh dengan perkembangan diri (jiwa) yang tidak sehat. Penghargaan kepadanya adalah penghargaan yang bersyarat, berdasarkan apa yang dilakukannya (baik-buruk) menurut penilaian orang tua. Ia dihargai karena "What I do" dan sebaliknya tidak diterima dengan kondisi apa adanya "Who I am".

Melalui analisa diatas, cobalah tangkap pola pikir dan perasaannya. Apakah "baik-buruk" menjadi dasar hubungan dengan orang lain, suami dan keluarga saat ini? Baik berarti ia harus mengerjakan segala sesuatu seperti ia saat masih kecil? Apakah tanggung jawabnya sebagai istri terasa sebagai "beban" seperti ia menjaga adik-adiknya? Apakah ia merasa lelah dibebani banyak hal, merasa suami tidak mengerti dan menerimanya apa adanya? Apakah ia merasa bersalah jika tidak selalu bisa menyenangkan orang lain dan berkorban baginya? 

Jika saudara berhasil menangkap pola pikir dan perasaannya, saudara akan mulai mengenal dan menyadari "dengan pribadi seperti apa" saudara sedang berhadapan. Tentu saja saudara tidak dapat menyamaratakan setiap pribadi dalam kasus yang sama karena setiap pribadi adalah unik.


  • Coba menolong dia bisa memilih cara yang sehat untuk mengatasi pergumulan dan konflik-konflik batinnya. Beberapa cara yang sehat dan sesuai dengan iman Kristen dalam mengatasi konflik batinnya antara lain: Belajar mengenali diri sendiri secara jujur sehingga sadar adanya pola-pola kerja pikir dan perasaan yang bisa menghambat atau merugikan proses pertumbuhan kedewasaan diri. Belajar mulai mengatasi kelemahan atau sisi-sisi negatif yang merugikan tersebut dalam terang Firman Tuhan.”[4] Pada akhirnya, bagi saudara sekalian para dokter Kristen:
"It is the fulfillment and the triumph of love that it is able to reunite the most radically separated beings, namely individual persons."
Paul Tillich.


Maria Lusiana
Dosen Pembimbing Konseling STTRII;
Alumnus Fak. Teknologi Pertanian-UGM (S1),
STTRII program Magister Counseling (S2)



Kepustakaan:
[1] Benner, David. B. “Baker Encyclopedia Psychology”. (Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 3nd. Ed., 1990), hal. 956.
[2] Weiss, Edward & O. Spurgeon E “Psychosomatic Medicine: The Clinical Application of Psychopathology to General Medical Problems”. (Philadelphia: W.B. Saunders Co., 1943), hal. 635.
[3] Susabda, Yakub B. “Pastoral Konseling I”. (Malang: Gandum Mas).
[4] Buletin Psikologi PARAKALEO. Departemen Konseling STTRII. VI.VII, No.3, Ed.Juli-Sept 2000.





Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag