Senin, 28 Januari 2019

Manusia Baru: Jasmani atau Rohani?

Buta itu susah. Tidak percaya? Coba seduh kopi atau teh. Dengan mata tertutup berjalanlah dari ruang tamu ke dapur. Di dapur dengan mata masih tertutup tuanglah air mendidih ke dalam gelas. Susah bukan? Ini masih di rumah. Bagaimana di luar rumah? Di Indonesia fasilitas umum kurang, jika tidak ingin dikatakan tidak, memberikan tempat dan perhatian terhadap orang buta. Jangankan orang buta, yang memakai kursi roda saja tidak mungkin dapat menikmati indahnya sore hari kecuali di rumah sakit. Jika di Indonesia fasilitas untuk pejalan kaki saja masih langka dapat dibayangkan betapa rendahnya perhatian kita terhadap orang buta. Suatu bangsa dikatakan maju dan beradap bukan hanya diukur dari kemajuan ekonominya. Di balik perhatian yang serius terhadap orang buta terdapat pemahaman kesamaan derajat dan hak antara yang buta dan yang celik. Selama masih terjadi diskriminasi terhadap orang buta maka dapat dikatakan bangsa tersebut masih memiliki pemahaman yang rendah akan hak dan martabat manusia. Ingatlah menjadi buta bukanlah pilihan seseorang. Jika orang Kristen ingin dikenal sebagai 'manusia baru' ia harus memperjuangkan fasilitas umum bagi orang buta.

Saya memiliki seorang teman yang buta. Ia beruntung karena tinggal di negara maju. Mengapa saya katakan beruntung? Setiap fasilitas umum yang dibangun pemerintah harus memperhatikan kepentingan pergerakan teman saya ini. Ia juga beruntung karena memiliki seekor anjing yang bertindak sebagai 'mata' baginya. Kira adalah nama anjing itu. Kira begitu terlatih sehingga tahu kapan harus menyeberang jalan. Dia akan berhenti ketika lampu menyala merah dan sabar menunggu hingga lampu berubah hijau. Anjing saja begitu patuh terhadap tertib lalu lintas yang dibangun manusia. Malu rasanya jika manusia harus belajar pada Kira soal disiplin. Ada lagi yang luar biasa. Ketika Kira dibawa ke persekutuan doa maka ia akan duduk tenang menanti persekutuan doa selesai. Tidak pernah ia mengganggu suasana persekutuan. Dengan hikmat ia duduk seolah menikmati suasana persekutuan. Saya tidak tahu apakah ini karena dia sudah dilatih atau ada faktor lain. Ringkasnya, teman saya ini dengan Kira dan fasilitas umum yang mendukung benar-benar mandiri. Ada yang lebih penting lagi.Teman saya ini adalah orang Kristen yang setia dan rajin mendoakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di belahan dunia lain. Buta tidak membatasinya untuk 'melihat' dunia ini sebagai tempat pelayanan.

Alkitab mencatat hidup seorang buta. Tepatnya dalam Yohanes 9. Jika kita membandingkan teman saya ini dengan orang buta dalam Yohanes 9. Jika kita membandingkan teman saya ini dengan orang buta dalam Yohanes 9, mungkin anda akan setuju bahwa keadaan dan situasi keduanya berbeda. Orang buta dalam Yohanes 9 ini tidak mandiri. Bagaimana tidak. Sepanjang hari ia hanya duduk meminta-minta. Ketergantungan pada orang lain sudah begitu melekat padanya sehingga ia mendapat 'label' sebagai peminta-minta (ayat 8). Masyarakat mengenalnya sebagai pengemis. Kita tentu maklum. Karena ia sudah buta sejak lahirnya dapat dibayangkan ia tidak pernah dilatih memiliki keahlian. Untuk hidup ia sangat bergantung pada belas kasihan orang lain. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan meminta-minta. Keadaannya bertambah sulit karena minimnya fasilitas umum yang menolongnya untuk hidup sebagaimana manusia lainnya. Kita tidak diberi tahu apakah ia memiliki hewan peliharaan, anjing misalnya, yang bertindak sebagai 'mata' baginya. Jika kita bandingkan orang buta ini dengan teman saya, maka terlihat perbedaan yang sangat menyolok. Yang satu mandiri sedang yang lainnya tidak. 

Ada label lain yang melekat padanya selain sebagai peminta-minta. Ia orang berdosa. Persepsi umum masyarakat pada masa itu adalah ia buta karena dosa. Dosa dan penyakit tidak dapat dipisahkan. Itu pengertian masyarakat pada zaman itu. Apakah ia buta karena dosanya sendiri atau dosa orang tuanya? Ini perdebatan teologis. Murid-murid Yesus tertarik memperdebatkannya (ayat 2). Pertanyaan murid-murid kepada Tuhan Yesus memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki rasa simpati kepada orang buta ini. Mereka hanya tertarik perdebatan teologis soal dosanya ketimbang orangnya. Tetapi jawaban Tuhan Yesus sangat mengejutkan. Yesus menepis debat teologis pada murid. Yesus mengatakan bahwa melalui orang buta ini karya Allah akan dinyatakan. Tuhan Yesus lebih memperhatikan orangnya ketimbang label-label yang melekat padanya. Tuhan Yesus, dengan satu perbuatan yang mengejutkan, mencelikkan orang buta ini. Adukan tanah yang dioleskan pada mata orang buta diperintahkan untuk dibersihkan di kolam Siloam. Kita tidak tahu berapa jauhnya jarak ke kolam Siloam dan bagaimana orang buta ini menemukan kolam Siloam. Dan orang buta itu juga tidak bertanya mengapa harus ke kolam Siloam. Anehnya, orang buta ini patuh. Ia mencuci di kolam Siloam dan...ia melihat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika pertama sekali melihat matahari, melihat manusia, melihat laki-laki, melihat perempuan, melihat anak-anak, melihat orang yang tua, melihat rumah-rumah di Yerusalem. Apakah ia begitu terpesona melihat dunia ini sehingga ia lupa berterima kasih kepada Tuhan Yesus? Kita tidak tahu mengapa ia tidak kembali kepada Tuhan Yesus. Sedikitnnya sebagai orang Timur yang baik ia harus berterima kasih. Apakah hal ini menunjukan bahwa menerima kesembuhan ilahi bukan merupakan jaminan untuk percaya kepada Tuhan Yesus? Nampaknya tidak salah jika jawabannya adalah 'ya'.

Orang buta yang celik, tanpa menghiraukan Tuhan Yesus, segera kembali ke rumahnya. Kita tidak diberi tahu bagaimana ia tahu rumah yang tidak pernah dilihatnya adalah yang benar. Hal ini dianggap tidak penting sehingga tidak dicatat. Reaksi tetangga-tetangganya maupun teman-temannya dianggap lebih utama untuk menegaskan peristiwa ajaib ini. Mereka tidak percaya. Mustahil orang buta sejak lahir melihat kembali. Namun dengan tegas orang buta yang celik menepis keraguan-raguan mereka. Dahulu buta sekarang celik merupakan bukti yang terbantahkan. 

Tetangga-tetangganya dan teman-temannya bukannya merayakan peristiwa luar biasa yang telah dialami orang buta ini. Bukankah sebaiknya mereka mengadakan pesta syukuran untuk kesembuhan teman mereka yang sejak lahirnya buta? Lagi-lagi mereka lebih tertarik soal teologis ketimbang celiknya teman mereka. Bagi mereka tidak penting teman yang dahulu buta sekarang celik. Peristiwa celiknya teman buta ini terjadi pada hari Sabat. Ini merupakan persoalan teologis serius. Lebih serius dari celiknya teman mereka yang buta. Mereka membawa masalah ini kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Mengapa? Apakah mereka bermaksud agar pemimpin-pemimpin agama memutuskan agar ia tetap buta saja? Apakah mereka tidak siap melepas label-label yang telah ditempelkan pada orang buta ini? Apakah mereka tidak mau menerimanya? Apakah mereka ingin agar pemimpin-pemimpin agama menghukum orang yang menyembuhkannya? Apapun alasannya terlihat bahwa soal teologis dianggap lebih penting dari soal orang buta ini. Mereka tidak ubahnya seperti murid-murid Yesus.

Orang buta yang sejak lahir ini bukannya menerima suatu perayaan syukuran, malahan suatu 'pengadilan'. Ia harus diadili karena ia sekarang melihat. Namun saat diadili terjadi peristiwa yang tidak terduga. Pengenalannya terhadap Yesus yang menyembuhkannya semakin dalam. Mulanya ia hanya tahu nama yang menyembuhkannya, Yesus (ayat 11). Kemudian ketika berdebat dengan pemimpin-pemimpin agama ia sampai pada kesimpulan bahwa Yesus adalah nabi (ayat 17). Para pemimpin agama merasa perlu mengkonfirmasi orangtuanya apakah benar ia buta sejak lahir. Orang buta yang celik kemudian menegaskan bahwa Yesus bukan orang berdosa (ayat 25, 31) seperti yang dituduhkan pemimpin-pemimpin agama. Pada puncak perdebatannya dengan pemimpin-pemimpin agama dua pemahaman baru muncul. Pertama, Yesus yang menyembuhkan didengar Allah (ayat 31) dan, kedua, Yesus datang dari Allah (ayat 33). Pengadilan yang seharusnya memojokannya malahan menjadi sarana di mana pengenalannya akan Yesus semakin dalam. Dari hanya mengenal nama Yesus ia sampai kepada kesimpulan bahwa Yesus diutus Allah.

Tetapi ada yang lebih indah lagi. Sebagai akibat kekerasan hatinya mempertahankan pengenalannya akan Yesus, ia dibuang. Kita tidak tahu apakah ia dilemparkan keluar dari ruang pengadilan itu atau ia dikucilkan dari masyarakat atau diberhentikan keanggotaannya dari sinogage. Apapun yang terjadi ia tidak sendirian. Tuhan Yesus mencarinya. Meski ia dahulu tidak kembali kepada Tuhan Yesus setelah dicelikkan, namun Tuhan Yesus tidak melupakannya. Ketika berjumpa dengannya, Tuhan Yesus tidak menegur kealpaannya dahulu. Bahkan Tuhan Yesus mengundangnya untuk percaya kepada-Nya. Orang buta ini tanpa ragu segera memproklamirkan imannya dan menyembah Yesus (ayat 38). Iman membawa kepada penyembahan pada Yesus.

Lantas apa hubungan peristiwa celiknya orang buta sejak lahir dengan judul diatas? Ada beberapa hal yang terungkap jelas dari uraian diatas:

1. Menerima atau mengalami penyembuhan ilahi tidak selalu membawa seseorang kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya, mengalami penyembuhan ilahi bukanlah merupakan bukti bahwa seseorang telah percaya kepada Yesus. Tidak penting apakah seseorang sempurna secara jasmani untuk datang kepada Tuhan Yesus. Lebih baik buta namun percaya pada Yesus dan mampu melihat seluruh dunia sebagai tempat pelayanan ketimbang celik dan menerima kesembuhan ilahi tetapi tidak percaya pada Yesus.

2. Menjadi manusia baru berarti percaya kepada Tuhan Yesus. Menjadi manusia baru bukan soal mengalami perubahan jasmaniah. Menjadi manusia baru adalah soal spiritual bukan soal menerima kesembuhan ilahi. Menjadi manusia baru berarti memiliki hubungan pribadi dengan Yesus. Hubungan dengan Yesus terungkap dalam bentuk penyembahan kepada-Nya. Ibadah kepada Yesus di tengah-tengah dunia ini merupakan bukti manusia baru.

3. Pertemuan dengan Tuhan Yesus akan mengundang pertanyaan dari tetangga-tetangga maupun dari masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawab. Dalam istilah yang kita kenal, hal ini disebut sebagai bersaksi. Ketika bersaksi bagi Yesus, ada akibat yang harus ditanggung. Namun Tuhan Yesus tidak pernah melupakan bahkan meninggalkan orang yang bersaksi bagi-Nya. 'Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, disitupun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa' (Yohanes 11:26). Mustahil seseorang mengatakan ia manusia baru dalam Kristus jika tidak bersaksi Yesus adalah Kristus.

Ringkasnya, manusia baru adalah manusia yang percaya kepada Tuhan Yesus dan bersaksi bagi-Nya. Ini lebih penting ketimbang menerima kesembuhan ilahi.



______________________________________________________
Oleh: Armand Barus - Puket I STT Cipanas
Dalam Majalah Samaritan Edisi III Tahun 2007


Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag