(Eksposisi Pengkhotbah 2:20-26)
"Kesia-siaan belaka..., segala sesuatu adalah sia-sia", nada putus asakah yang kita rasakan dalam kalimat ini? Jika Anda berkata "ya", Anda tidak sendiri. Itulah kesan yang banyak orang rasakan ketika membaca kitab Pengkhotbah (nama asli kitab ini: Qohelet). Tetapi sesungguhnya Sang Pengkhotbah telah membuat terobosan yang sangat mendalam bagaimana manusia melihat dunia ini dan segala aktivitas di dalamnya.
Sungguh, proklamasi Pengkhotbah di awal kitabnya ibarat mercu suar yang memberi arah yang benar kepada pelaut di lautan kehidupan yang gelap dan terancam karang tajam yang siap merobek perahu kehidupan mereka. Kalimat "kesia-siaan..., segala sesuatu adalah sia-sia," bukanlah ungkapan keraguan atau ketidakpercayaan tetapi justru itulah iman. Pernyataan iman pengkhotbah didukung oleh sebuah penyelidikan total melibatkan seluruh bagian kemanusiaan pengkhotbah: panca indera (2:3, 10), perasaan (2:1-2). ambisi (2:4-9), kehendak (2:11), hasrat (1:13), dan pikiran (2:9).
Mari kita melihat lebih jauh pemikiran Pengkhotbah di 2 pasal pertama kitabnya. Di dalam pasal 1:3-11, kita melihat pernyataan Pengkhotbah, bahwa dunia ini menjemukan, manusia tidak pernah puas. Hal yang sudah dikatakan baru ternyata dulu sudah ada. Pernyataan ini lahir setelah Pengkhotbah mencoba mencari dari segala macam hal yang dikatakan atau dipikirkan manusia yang dapat memberi kepuasan dan menjawab segala pertanyaan manusia. Bahkan ia melakukan hal-hal untuk pencariannya yang melampaui apa yang dipikirkan dan dibayangkan manusia lain di zamannya.
Pengkhotbah memulai pencariannya dengan meneliti hikmat itu sendiri (1:13). Dengan hikmat itu ia ingin mengetahui rahasia-rahasia di sekitarnya. Tetapi ternyata ia mendapati bahwa itu adalah usaha menjaring angin. "Yang bengkok tidak dapat diluruskan, yang tidak ada tidak dapat dihitung" (1:15) ungkapan inilah yang mewakili pencarian pengkhotbah melalui hikmat.
Lalu Pengkhotbah mengalihkan perhatiannya, "Ah...., mungkin di dalam sukacita dan tertawa," tetapi ternyata itu juga bukan (2:1-2). Atau anggur yang dapat membawaku berilusi atau dalam kebebalan seperti yang dilakukan oleh manusia di dunia ini, tidak juga. Atau di dalam prestasi kerja yang tinggi dan mengagumkan misalnya bangunan yang besar, pertanian, taman yang indah, beternak, harta kekayaan yang banyak. Atau menikmati seni yang indah seperti mendengarkan para penyanyi dan lagu terbaik. Atau memiliki istri dan gundik yang banyak. Atau melakukan semua keinginan hati tanpa ada yang menghalangi. Prestasi yang diperoleh Pengkhotbah dengan semua eksperimennya itu pasti sangat mencengangkan orang di sekitarnya. Dalam pikiran orang yang tidak sedalam Pengkhotbah tentu tidak akan disangkali bahwa ia adalah "orang berhasil". Tetapi ternyata semua itu bagi Pengkhotbah adalah kesia-siaan belaka dan usaha menjaring angin. Kok bisa ya....?
Kemudian ia melihat ke belakang kepada segala hal yang telah ia pikirkan, ia bayangkan, ia lakukan dan ia alami dalam pencariannya, tetapi tetap gelap. Timbullah perasaan benci melihat semua itu (2:18). "Semua kerja kerasku pada saat nanti akan menjadi warisan. Apakah warisan ini akan diurus baik-baik. Atau jangan-jangan orang yang mewarisi adalah orang boros dan tidak menghargai segala kerja kerasku ini. Wah..., sia-sia dong aku lakukan semua ini. Aduh....!" Kekuatiran Pengkhotbah adalah hal konkrit yang tidak hanya terjadi di zamannya tetapi sampai saat ini pun. Bagaimana perusahaan-perusahaan keluarga yang besar mengalami kemunduran di generasi kedua dan mengalami kehancuran di generasi ketiga.
Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? Bahkan seluruh hidupnya penuh kesedihan dan pekerjaannya penuh kesusahan hati, bahkan pada malam hari hatinya tidak tenteram. Inipun sia-sia! (2:22-23). Sungguh ini sebuah tragedi. Seseorang pernah berkata, "Apakah yang paling berharga dalam dunia kerja? Ketika kita dapat mengerjakan pekerjaan yang kita cintai? Mendapatkan uang dan fasilitas yang banyak yang dapat membeli sukacita?" Tetapi pernyataan Pengkhotbah diatas mengkounter pendapat ini. Melakukan pekerjaan yang sesuai keinginan hati pun bukan jaminan sukacita sebaliknya hidup dipenuhi oleh kesedihan dan kesusahan hati.
Setelah pengembaraan yang panjang dan penuh dengan eksperimen Pengkhotbah sampai di titik keputusasaan, "Dengan demikian aku mulai putus asa terhadap segala usaha yang kulakukan dengan jerih payah dibawah matahari". Istilah "dibawah matahari adalah ungkapan dari sebuah perspektif Non-Tuhan (Derek Tidball, Menjaring Angin, 40). Dengan kata lain Pengkhotbah menyimpulkan bahwa tidak ada kepuasan dan sukacita di luar Tuhan.
Keputusasaan Pengkhotbah dalam pencarian di luar Tuhan menuntunnya kembali ke hal yang paling mendasar: "Tidak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari tangan Allah. Karena siapakah dapat merasakan kenikmatan di luar Dia1”
(24-25). Pernyataan ini menjawab bahwa kepuasan dan kenikmatan tidak berasal dari keinginan hati manusia. Sebab hati manusia bisa salah bahkan hati manusia sesungguhnya sangat licik (Yer 17:9). Ketika kita berkata: "Aku senang sekali pekerjaan ini", mungkin betul itu lahir dari keinginan hati kita yang dalam tetapi apakah motivasi kita mengingininya? Apakah uang, fasilitas, ringannya pekerjaan, menantangnya pekerjaan, dll? Pertanyaan yang paling mendasar dan harus ditanyakan pertama kali, "Tuhan, dimanakah tempatku menurut-Mu?" Di sini kita berjumpa dengan sebuah kebenaran, bahwa uanng, fasilitas, berat-ringan pekerjaan, tantangan, dan sebagainya bukan penentu kenikmatan dan kepuasan. Yang menentukan adalah Allah berkehendak atau tidak.
Kebenaran ini ditegaskan di ayat selanjutnya, "Karena kepada orang yang dikenan-Nya Ia mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan tetapi orang berdosa ditegaskan-Nya untuk menghimpun dan menimbun sesuatu yang kemudian harus diberikan kepada orang yang dikenan Allah." Di sini kita bertemu dengan penegasan Pengkhotbah bahwa segala pencariannya akan kepuasan tidak ditemukan dan ditentukan di dalam hikmat manusia (ilmu pengetahuan dan teknologi), bukan di dalam kesenangan (gaya hidup hedonisme dan materialisme), bukan juga sistem-sistem nilai tradisional (adat, agama) maupun kerja keras berjerih lelah (bekerja 14-18 jam sehari). Tidak berarti bahwa hal-hal diatas adalah salah dan diabaikan. Sekali lagi tidak! Yang ditegaskan bahwa semua itu bukan sumber dan penentu kepuasan dan kenikmatan hidup.
Dengan jelas Pengkhotbah berkata yang menentukan adalah apakah Allah berkenan kepada manusia itu atau tidak2. Kepada manusia seperti apakah Allah berkenan? Kepada manusia yang beriman kepada Yesus Kristus (Ibr 11:6), orang baik (Ams 12:2), berlaku setia (Ams 12:22), berkata benar, tidak memandang hina sesama yang terpinggirkan, takut akan Tuhan (Mzm 15).
Sekarang Pengkhotbah mengikursertakan Tuhan dalam pencariannya. Dia sampai ke titik di mana ia dapat berkata kepuasan adalah anugerah Tuhan yang kita terima terlepas dari keadaan lahiriah kita. Tanpa itu hidup ini seperti kutukan. Tetapi bagi yang percaya mereka dapat menikmati hidup dengan sepenuhnya.
Setelah membahas panjang lebar tentang perikop ini sampailah kita pada suatu hal yang sangat menentukan. Dalam pencarian kita akan kebahagiaan, kepuasan dan kenikmatan apakah yang menentukan semua itu? Gaji yang tinggi, kesenangan dan kemudahan dari fasilitas dan sebagainya yang semuanya itu dilakukan dalam semangat menggeser bahkan meniadakan keberadaan Tuhan dari hidup kita?
Ataukah memilih untuk menyenangkan Tuhan dengan mancari dan menaati kehendak-Nya di mana di dalam-Nya kita menemukan arti, tujuan dan serta kepuasan hidup dengan hati yang berlimpah syukur? Walaupun dipastikan bukan tanpa tantangan, kekecewaan atau bahkan "kegagalan", tetapi dapat dipastikan juga Tuhan menyertai bahkan di dalam keadaan-keadaan yang paling sulit sekalipun.
Apakah tantangan terbesar bagi profesionalisme Kristen bahkan bagi semua orang Kristen masa kini? Berkata "CUKUP!" Kristus telah memberi segala sesuatu yang kita perlukan bahkan untuk hidup yang berkelimpahan. Bahkan Ia memberi nyawa-Nya bagi kita tidakkah Ia sanggup memberikan yang lain juga. Apakah yang paling dirindukan-Nya dari umat tebusan-Nya? Senantiasa memandang kepada wajah-Nya, mencari dan menaati kehendak-Nya dalam seluruh keberadaan hidup umat-Nya. Karena di dalam melakukan semua itu di sanalah manusia menemukan dan menikmati kepuasan hidup yang sejati.
Akhirnya izinkan saya menantang kita semua, "Apakah engkau mau berkata dan menghidupi sebuah gaya hidup: TUHAN, Engkau cukup bagiku!"
Buku Referensi:
- Derek Kidner, Pengkhotbah, Jakarta: YKBK, 1997.
- Derek Tidball, Menjaring Angin, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
- Roland Murphy, WBC 23a: Ecclesiastes, Dallas: Word, 1992.
_____________________________________________________________
Oleh: Ferry Alexander Pasang
Dalam Majalah Samaritan Edisi 4 Tahun 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar