Apa salahnya menjadi kaya? Sulit dijawab. Seharusnya tidak ada masalah, tetapi disilusi tentang kekayaan dan apa yang dapat dilakukan dengan uang, membuat kekayaan kadang menitis menjadi berhala yang kejam yang mengutuk para penyembahnya dengan ketamakan dan kekosongan hidup sekaligus. Mata tidak pernah puas dan mulut enggan berkata cukup. Kelicikan tanpa hati nurani mendehumanisasikan diri sendiri sampai ke taraf mirip binatang yang memangsa sesamanya demi sebuah ambisi. Mata melirik ke kanan kiri, melihat tiap peluang menghasilkan uang. Lipatkan uang, uang memancing uang. Kekayaan meroket sampai ke taraf daya beli tak terbatas, mampu memiliki apapun yang diinginkan. Lalu yang menyusul adalah seks dan citra, di mana perzinahan dan keangkuhan melangsungkan perkawinan silang sambil mengecap arak kebinasaan. Dan seperti dikatakan Malcolm Muggeridge, orang-orang tak ubahnya seperti kawanan babi dari Gadara yang sambil lari-lari kecil dan dorong-dorongan kegirangan kian lama kian mendekat ke bibir tebing maut, yang menjulang di atas laut.
***
Ada sebuah cerita tentang seorang konglomerat. Pada suatu sore setelah melewati satu minggu yang sangat sibuk, di bawah mobil Mercedes yang mewah dan sejuk, ia dibawa pulang supir dalam kondisi lelah secara jasmani dan mental. Duduk setengah tidur sambil mengurut kepalanya yang berat, mobil melaju melewati sebuah daerah pegunungan. Hijau sawah dan lebat hutan tak menarik perhatiannya. Pikiran berkecamuk dengan harga saham, investasi dan lobi dagang. Betapa minggu yang berat.
Mendekat sebuah perkampungan, mobil melambatkan lajunya. Dan akhirnya berhenti di tengah jalan. "Ada apa?" tanya si konglomerat pada supir. Lalu supir tersebut menunjuk ke depan di mana segerombolah babi seang melintasi jalan. Ia melihat ke depan, dan segera ingin berbaring kembali. Tetapi, tunggu dulu. Ada yang menarik perhatiannya. Ia melihat ke depan kembali dan semakin terheran. Ternyata segerombolan babi itu tidak digiring dari belakang oleh banyak orang. Tidak juga diikat dengan tali. Tetapi hanya seorang pemuda kurus berjalan di depan dan inilah anehnya. Semua babi itu dengan perlahan dan teratur mengikuti dari belakang dengan tertib. Padahal babi adalah binatang yang paling susah diatur. Selalu menentang dan berontak.
Karena tertarik konglomerat itu keluar dari mobilnya, untuk melihat bagaimana keanehan itu bisa terjadi. Begitu mendekat ia pun mengerti. Ternyata pemuda kurus tersebut membawa sebuah keranjang berisi daun kacang dan kacang busuk. Dan setiap kali ia melemparkan kacangnya ke belakang maka babi-babi itu mengikut ke mana saja kacang itu dilemparkan untuk memungut dan menikmati makanan ringan tersebut dengan muncungnya.
Tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, ia mengerti bagaimana keanehan itu bisa terjadi. Sedikit berteriak, ia menyapa anak muda itu, "Banyak ya babinya..!!"
Menoleh ke samping, anak muda itu menjawab, "Lumayan pak..!!"
"Mau dibawa kemana babi ini..?" tanyanya iseng, sambil menutup hidung.
"Kesana pak, rumah potong babi...!" sahutnya sambil tersenyum.
"Apa..? Rumah potong...?" Si konglomerat termenung, sementara gerombolan babi itu digiring ke rumah potong. Lalu ia berjalan perlahan dan masuk ke mobilnya. Tetapi ia diam saja, sampai supir bingung dan bertanya, "gimana pak, kita jalan?"
Ditatapnya supirnya dan ia berkata dengan sedih, "Saya seperti babi itu. Digiring dan dibawa ke rumah potong untuk disembelih..."
***
Uang tidak dapat membeli segalanya. Kita dapat membeli makanan, tetapi tidak membeli selera makan. Kita dapat membeli spring-bed, tetapi tidak dapat membeli tidur yang nyenyak. Kita dapat membeli entertainment, tetapi tidak dapat membeli sukacita. Seperti kata pengkhotbah, hidup yang nikmat adalah karunia Allah (Pkh 5:17-19). Seorang buruh kasar sering makan lebih lahap dari pada majikannya. Walaupun makannya jauh lebih sederhana. Sementara sang majikan memandang dengan campuran bosan dan sedikit muak sambil menggosok-gosok perut gembulnya memandang meja penuh hidangan berminyak. Seorang petani tidur dengan nyenyak beralaskan tikar berselimut sarung, sementara banyak konglomerat tidur gelisah di atas tilam magnetik yang katanya anti-stres. Inilah yang dikatakan pengkhotbah dengan kesia-siaan dan usaha menjaring angin (Pkh 5:9,15).
Kehidupan tidak bisa dinilai dengan penampilan. Sering rumput tetangga kelihatn lebih hijau. Apalagi agen propaganda hedonisme begitu ulung menawarkan produk-produk yang sarat tipu daya. Padahal di kedalamannya ada kekosongan yang hanya menunggu untuk ditelanjangi sang waktu. Lihat sejenak kaum selebritis, ekonomi, hukum atau politik. Tampil di layar kaca dengan senyum dan tawa. Ditambah penampilan selangit, dengan muka licin dan tubuh semampai. Kerlap-kerlip dunia yang membuat mata silau dan melemparkan angan ke alam mimpi. Betapa menggiurkan untuk menyimpulkan bahwa mereka memiliki segalanya, mereka bahagia dan inilah hidup. Benarkah demikian? Benarkah mereka bahagia? Benarkah mereka menikmati hidup yang mereka jalani? Benarkah mereka tidak pernah menyesali apa yang mereka miliki? Benarkah mereka puas dengan apa yang mereka punya?
Tetapi kenapa merekalah justru golongan orang yang sering kawin-cerai? Mengapa merekalah yang sering terlibat dengan narkotika dan obat-obatan? Kok, mereka juga yang suka mengadakan pesta pora dan kehidupan seks yang liar? Bukankah ini menunjukan, justru mereka sangat tidak puas dengan hidup mereka? Dalam semerbak dan warna-warni, yang ada hanyalah sebuah dataran kosong yang tak berisi. Datar dan membosankan. Mungkinkah di kedalaman hati yang terdalam mereka sebenarnya cemburu pada anak gembala kecil yang bersahabat dengan alam, dan pulang ke rumah, ke pangkuan ibunya dengan hati bebas ceria penuh tawa dan gelak canda?
Saya mengenal beberapa misionaris. Yang hidup sederhana dan tinggal jauh dari kampung halaman. Mengabaikan kesempatan berkarir bagi diri sendiri dan menjawab panggilan bagi suatu misi. Mereka hidup gembira dan bebas lepas. Mereka tidak mengejar kebahagiaan, tetapi mereka bahagia. Mereka tidak mengejar kekayaan, tetapi mereka "kaya". Mereka tidak mengejar popularitas, tetapi mereka dikenal sampai ke alam sorga. Pun saya membaca tentang Bunda Teresa yang hartanya hanya dua pasang pakaian, sepasang sepatu, sebuah piring, sebuah cangkir dan sebuah sendok, namun dalam bukunya The Heart of Joy saya sulit menemukan ungkapan sukacita yang menandingi ungkapan sukacita yang dimilikinya. Dalam hal ini berlaku, yang mencari tidak mendapatkan, tetapi yang tidak mencari menemukan. Pada akhirnya kenikmatan hidup adalah anugerah Allah, seperti hidup itu sendiri adalah suatu anugerah.
***
Seluruh Alkitab tidak menyalahkan kekayaan. Saya pun setuju, tidak ada salahnya menjadi kaya. Yang salah adalah menggunakan kekayaan untuk diri sendiri. Tidak berdosa menjadi orang kaya, sama seperti tidak berdosa menjadi orang miskin. John Wesley pernah berkata, "Hai para pengusaha Kristen, cari uang sebanyak-banyaknya, dan persembahkan sebanyak-banyaknya bagi Tuhan". Memang dalam konsep kristiani memiliki uang berarti menjadi pengelola, seperti yang diindikasikan Perumpamaan Tentang Talenta. Memiliki untuk memberi adalah konsep dasar Kristiani tentang kekayaan.
"Siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya" (Pkh 5:9). Ke padang kenikmatan dan kepuasan. Ke dalam kehidupan yang penuh makna dan kedalaman. Ke sanalah Allah menuntun kita. Dan itu berarti hidup sesuai panggilan. Kehidupan kemuridan yang dipanggil untuk taat, dipanggil dalam kesederhanaan bahkan dipanggil untuk menderita itulah jalan menuju kehidupan yang nikmat dan bahagia. Sesungguhnya padang hijau kelimpahan bukan dibeli dengan harta, uang dan kekayaan tetapi anugerah yang diberikan kepada mereka yang hidup dalam pengabdian, pengorbanan dan penderitaan. Terpujilah Tuhan!
_____________________________________________________________
Oleh Denni Boy Saragih Dalam Majalah Samaritan Edisi Tahun 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar