Dalam menekuni profesinya di bidang kedokteran, yang senantiasa mengantarnya kepada perjumpaan-perjumpaan dengan manusia-manusia yang membutuhkan pertolongan medis, seorang dokter Kristen membutuhkan insight dari Allah. Pengertian yang jelas, jernih dan dalam tentang sesuatu, khususnya tentang kebutuhan mahadasariah dari manusia-manusia yang dihadapinya. Hanya dengan memiliki insight dari Allah perjumpaan-perjumpaan tersebut dapat berubah menjadi lebih daripada sekedar pelayanan sosial, apalagi bisnis komersial, tetapi jauh lebih mulia, yaitu pelayanan yang bersifat Injili. Pelayanan yang didorong, dirembesi dan dinafasi oleh semangat memberitakan kabar baik yang menyelamatkan.
Insight Ilahi Kondisi Mahadasariah Manusia
Ada beberapa kata kerja untuk "melihat" dalam bahasa Yunani. Tiga di antaranya adalah "blepo", "horao" dan "eidon". Kata yang pertama, blepo, biasanya digunakan untuk menyatakan kemampuan melihat sebagai lawan dari kebutaan jasmani. Melek sebagai lawan dari merem.1 Kedua kata lainnya, horao dan eidon memiliki cakupan arti yang lebih luas. Kata Ibraninya adalah "ra'ah". Keduanya dapat berarti "melihat", "memperhatikan" atau “mengerti”.2 Dalam PB, khususnya dalam Kitab-kitab Injil, aktivitas melihat seringkali dihubungkan dengan aktivitas mendengar; keduanya dilihat sebagai keseluruhan aktivitas untuk memahami dan mengerti (mis. Mrk 4:12; Mat 13:14-15; Kis 28:26-27; Rm 11:8).3
Berbicara tentang insight berarti berbicara tentang pengertian yang jelas, jernih dan dalam tentang sesuatu. A clear understanding. Sesuatu di sini secara khusus adalah sebuah kondisi atau kebutuhan. Bukan hanya di masa kini, tetapi juga di masa yang akan datang. Manusia yang memiliki insight adalah manusia yang memiliki pengertian atau kesadaran yang jelas, jernih dan dalam tentang sebuah kondisi atau kebutuhan mahadasariah baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
"Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala" (Mat 9:36)
Matius 9:36 mencatat pengertian yang menakjubkan dari kata "melihat". "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala". Disini kita berjumpa dengan kata "eidon", artinya melihat, memperhatikan dan mengerti.
Saya yakin bahwa bukan cuma Yesus yang matanya melek pada saat itu. Saya juga yakin bahwa bukan cuma Yesus yang melihat orang banyak di kota-kota dan di desa-desa di bumi Galilea. Banyak yang melek. Banyak yang melihat. Tetapi saya juga yakin bahwa tidak satupun dari semua orang yang melek dan melihat orang banyak itu mengalami perasaan luar biasa seperti yang dialami oleh manusia Yesus. "Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan". Hal yang serupa kita jumpai dalam bagian-bagian lain -- 14:14: "Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka ..."; 15:32: "Lalu Yesus memanggul murid-murid-Nya dan berkata: 'Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu"; 20:34: "Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan, lalu Ia menjamah mereka ...."
"Belas kasihan". Perasaan itu yang bangkit dalam diri Yesus sementara melihat orang banyak. Dan belas kasihan yang dimaksud bukanlah sembarang belas kasihan. Di sini penulis Injil menggunakan katya "splagchnizomai". Kata ini memiliki nuansa dramatis yang sangat kuat untuk menunjukan perasaan kasihan yang mendalam.4 Kata bendanya "splagchnon", digunakan secara harafiah untuk menunjuk kepada organ-organ dalam tubuh, seperti hati, usus, ginjal, dan sebagainya. Kata lainnya adalah jeroan. Organ-organ dalam alias jeroan itu secara kolektif dipandang sebagai tempat perasaan. Lubuk hati. Splagchnon merupakan kata Yunani yang paling kuat untuk perasaan kasihan.5
Dengan menggunakan kata ini, penulis Injil mengajak kita untuk menyelami perasaan Tuhan kita sementara melihat orang banyak itu. Hati-Nya iba, bahkan pedih seperti teriris-iris. Perasaannya sedih, bahkan perih seperti terkoyak-koyak. "Jeroan"-Nya bergetar bahkan berdetak kencang seperti mau menangis dan menjerit! Mengapa bisa demikian? Mengapa cuma Yesus yang "urat nadi" kasihannya berdenyut kencang sementara melihat orang banyak itu? Karena semua orang hanya melihat asal melihat. Mereka tidak pernah sungguh-sungguh memperhatikan dan menyadari apa yang sebenarnya sedang berlangsung di sekeliling mereka. Apa yang mereka pikirkan hanyalah diri sendiri dengan seabreg kepentingan dan kebutuhannya. Mata mereka benar-benar dibuka hanya untuk urusan mereka sendiri. Seolah-olah bola mata mereka bertuliskan "for my own business only". "Hanya untuk urusanku sendiri". Karena itu mereka tidak pernah melek untuk melihat kondisi dan kebutuhan orang lain.
Yesus lain. Dia benar-benar melek bagi sesamanya manusia. Dia melihat kondisi lahiriah mereka. Mata-Nya menatap penderitaan mereka. Sakit penyakit yang memerosotkan kondisi lahiriah mereka. Kebutaan yang menggelapkan pandangan mereka untuk menyaksikan keindahan alam raya. Ketulian dan kebisuan mereka yang mengasingkan mereka dari dunia pergaulan yang memutlakkan dan mengagungkan suara dan pendengaran. Kusta yang menggerogoti jasmani mereka dan yang menyingkirkan mereka secara kejam dari keluarga dan saudara-saudara mereka. Dia juga melihat kemiskinan mereka yang membuat mereka hanya bisa gigit jari sementara menyaksikan orang-orang berduit berjalan dengan jubah maha indah dan kepala menengadah ke atas di depan mereka tanpa peduli kepada mereka. Bahkan tanpa menoleh kepada mereka barang sekejab pun.
Yesus melihat semuanya itu. Dan di dalam hatinya berkecamuk perasaan kasihan yang mendalam karena semuanya itu. Dia mengerti secara jelas, jernih dan dalam kebutuhan dasariah mereka, yaitu kesembuhan lahiriah dari segala penyakit, cacat dan kelemahan mereka. Karena itu Dia memberikan diri-Nya siang malam dan tanpa kenal istirahat untuk melayani mereka. Kitab Suci mencatat Dia "melenyapkan segala penyakit dan kelemahan" mereka (ay. 35). Dia benar-benar mempedulikan kondisi lahiriah mereka, dan benar-benar memberikan diri-Nya untuk melayani kebutuhan mereka akan kesembuhan lahiriah.
Tetapi Yesus bukan cuma melihat semuanya itu. Dan bukan cuma semuanya itu, bahkan bukan terutama semuanya itu yang membuat "jeroan"-Nya bergetar dengan sangat kuat. Yang Yesus lihat bukan cuma kesakitan dan kemiskinan mereka yang perlu segera diobati. Matanya menembusi segala kondisi lahiriah yang sangat menyedihkan itu dan melihat sampai kepada kondisi yang paling dalam, dalam diri manusia : Kondisi batiniah. Penglihatan-Nya yang mahatembus itu menatap kebutuhan manusia yang paling hakiki. "Mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala," kata penulis Injil. Terjemahan lainnya adalah: "Mereka telah dibuat lelah dan telah ditelantarkan seperti domba yang tidak bergembala." Terjemahan harafiahnya sangat mengerikan: "Mereka telah dikoyakan dan telah dicampakan seperti domba yang tidak bergembala". Ini merupakan pernyataan metaforis tentang kondisi umat Allah yang telah menjadi korban kejahatan para pemimpin mereka. Ibarat kawanan domba yang tidak bergembala, mereka tidak dipelihara dan tidak dilindungi oleh pihak yang seharusnya memelihara dan melindungi mereka. Akibatnya mereka tersesat, lelah, sengsara dan akhirnya mati kelaparan atau menjadi mangsa binatang buas.
Melalui pernyataan metaforis tentang kondisi umat ini, penulis Injil pertama mengingatkan kita kepada kecaman ilahi yang keras bagi gembala-gembala Israel yang jahat dalam Yehezkiel 34:2-6: Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman. Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak ada, dan mereka menjadi makanan bagi segala binatang di hutan. Domba-domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi; ya, di seluruh tanah itu domba-domba-Ku berserak, tanpa seorangpun yang memperhatikan atau yang mencarinya.
Yang menjadi kebutuhan dasariah manusia adalah kesehatan. Tetapi yang merupakan kebutuhan mahadasariah manusia adalah Injil, kabar baik tentang keselamatan yang Tuhan Yesus telah karyakan dan yang Allah Bapa telah sediakan!
Umat Allah membutuhkan pemimpin untuk melindungi, memelihara dan menuntun mereka di jalan yang benar. Allah yang mahabaik mendengar seruan umat kesayangan-Nya. Dia memberikan pemimpin-pemimpin kepada mereka. Nabi, imam dan raja dibangkitkan-Nya di sepanjang sejarah. Tetapi pada kenyataannya tidak semua pemimpin setia kepada panggilan ilahi mereka. Banyak di antara mereka yang tidak memperdulikan umat, bahkan memanfaatkan posisi mereka untuk memanfaatkan dan menindas umat demi kepentingan dan keuntungan sendiri. Lebih daripada itu, ternyata kejahatan mereka menular secara cepat pada diri umat. Karena dosa mereka, umat menjadi umat yang berdosa. Umat bukan lagi cuma korban kejahatan, tetapi sekaligus pelaku kejahatan. Dengan demikian semua orang, besar dan kecil, tua dan muda, raja, nabi, imam dan rakyat jelata, menjadi pelaku kejahatan. Ibarat domba yang tidak bergembala, umat tersesat dan menuju kebinasaan, "sebab upah dosa adalah maut" (Rm 6:23). Itulah yang terjadi di sepanjang sejarah dunia sampai dengan saat ini. Bumi penuh sesak dengan manusia-manusia yang sedang menuju kebinasaan!
Sedang menuju kebinasaan. Itulah kondisi mahadasariah dari setiap manusia. Pengertian yang jelas, jernih dan dalam tentang kenyataan yang maha menyedihkan inilah yang terutama membuat perasaan kasihan yang mendalam bangkit dalam hati Yesus. Pengertian yang sama seharusnya dimiliki orang-orang yang dipanggil oleh Allah untuk berkarya di bidang kedokteran. Melek lah seperti Yesus melek!
Dunia ini penuh sesak dengan manusia-manusia yang sedang mencari-cari kepuasan hidup. Dan dunia dengan segala filsafatnya yang kontra Allah senantiasa dan dengan gencar menawarkan kepada mereka kepuasan hidup dalam hal-hal tertentu. Di antaranya kekayaan, ketenaran, kekuasaan, dan di atas semuanya itu kesehatan lahiriah. Akibatnya mereka berusaha mengejar semuanya itu. Tetapi, apa yang akan mereka peroleh dari semua pengejaran itu? Apakah setelah menjadi kaya, beroleh popularitas, memegang kekuasaan, dan memiliki kondisi lahiriah yang prima, mereka benar-benar mengalami kepuasan? Tidak. Sama sekali tidak!
Penulis kitab Pengkhotbah memberikan ajaran yang sangat berharga tentang pengejaran kepuasan hidup. Semuanya akan berakhir pada kesia-siaan! Tetap ada kekosonngan di hati para pengejar kepuasan hidup. Bahkan, yang lebih mengerikan, semua pengejaran itu tanpa mereka sadari menjadikan mereka makhluk yang jahat dan semakin jahat. Mereka benar-benar disesatkan oleh semangat yang jahat dari jaman ini. Sementara mengejar kepuasan hidup, mereka tanpa sadar ditindas oleh tirani dosa yang menyeret mereka ke dalam keterikatan yang semakin kuat terhadap dosa. Akhirnya mereka harus mengalami kebinasaan, "sebab upah dosa adalah maut" (Rm 6:23).
Seperti Yesus Melihat
Manusia-manusia yang kita jumpai sedang menuju kebinasaan! Melek-lah seperti Yesus melek! Tidakkah "urat nadi" kasihan Anda berdenyut kencang? Tidakkah hati kalian iba, bahkan pedih seperti teriris-iris? Tidakkah perasaan Anda sedih, bahkan perih seperti terkoyak-koyak? Tidakkah "jeroan" kalian bergetar, bahkan berdetak kencang seperti mau menangis dan menjerit!
Sementara merenungkan bagian ini, saya teringat kepada ucapan salah seorang kakak rohani saya. Setelah beberapa tahun menggulati studi di jurusan arsitektur, dia menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan purna waktu dan mulai menekuni theologia di sebuah sekolah theologia. Waktu itu saya dan beberapa teman saya yang sama-sama mahasiswa Universitas Trisakti mewawancarainya untuk keperluan buletin PMK kami. Seorang teman saya bertanya kepadanya, "Mengapa kakak menyerahkan diri menjadi hamba Tuhan purna waktu?" Dia menjawab, "Setiap kali saya melihat mahasiswa-mahasiswi naik-turun tangga di kampus, saya menyadari bahwa mereka sedang menuju kepada kebinasaan". Mengingat kata-kata itu, saya sangat terharu. Bukan cuma kakak rohani saya itu yang melihat mahasiswa-mahasiswi naik turun tangga, tetapi berapa banyak di antara mereka yang melihat apa yang kakak rohani saya itu lihat. Sebuah kondisi yang maha menakutkan! Dia melihat mereka sedang menuju kepada kebinasaan. Karena itu dia menyerahkan diri untuk menjadi pemberita Injil Tuhan. Agar mereka mendengar kabar baik tentang keselamatan yang telah dikerjakan oleh Yesus dan yang disediakan bagi setiap manusia yang mau percaya kepada-Nya. Agar mereka bukan menuruni tangga neraka, tetapi menaiki tangga surga. Agar mereka tidak binasa!
Apa panggilan seorang dokter Kristen? Bukan sekedar memberikan pelayanan medis kepada para pasien, tetapi mewartakan keselamatan di dalam Tuhan Yesus bagi manusia-manusia yang sedang menuju kebinasaan! Yang menjadi kebutuhan dasariah manusia adalah kesehatan. Tetapi yang merupakan kebutuhan mahadasariah manusia adalah Injil, kabar baik tentang keselamatan yang Tuhan Yesus telah karyakan dan yang Allah Bapa telah sediakan!
Setiap pasien Anda harus mendengar kabar baik itu. Setiap pasien Anda harus disadarkan bahwa dia sedang menuju kebinasaan karena dosa-dosanya. Manusia harus dipanggil untuk bertobat dari dosa-dosanya. Manusia harus diyakinkan bahwa Yesus datang ke dalam dunia dan mati di kayu salib untuk menanggung hukuman ilahi atas dosa-dosanya. Manusia harus ditantang untuk menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadinya dan Tuhan atas diri dan hidupnya!
Biarlah insight ilahi yang agung ini memenuhi hatimu, merembesi setiap sel tubuhmu dan menggerakkan seluruh anggota tubuhmu untuk melaksanakan misi pemberitaan Injil!
Yang Yesus lihat bukan cuma kesakitan dan kemiskinan mereka yang perlu segera diobati. Matanya menembusi segala kondisi lahiriah yang sangat menyedihkan itu dan melihat sampai kepada kondisi yang paling dalam diri manusia. Kondisi batiniah.
Referensi:
1. Geoffrey W. Bromiley, Theological Dictionary of the New Testament: Abridged in One Volume (Grand Rapids: Eerdmans, 1992) 706-7, 710.
2. Ibid. 706, 710.
3. Ibid. 710.
4. Donald A. Hagner, Matthew 1-13 (WBC 33A; Dallas: Word, 1993) 260.
Oleh: Pdt. Erick Sudharma dalam Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar