Kamis, 21 Juli 2011

Peran Spiritualitas dalam Pengelolaan Pasien

Ketika membaca judul di atas, mungkin, terpikir apakah spiritualitas berpengaruh pada dokternya atau kepada pasiennya? Apakah dokter yang memiliki spiritualitas yang baik kelak akan lebih berhasil dalam pengelolaan pasien? Sang dokter akan lebih cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan menentukan terapi misalnya? Atau pasiennya jadi memiliki energi yang positif karena dirawat oleh sang dokter sehingga lebih cepat berespon terhadap terapi yang diberikan? Ataukah terlepas dari spiritualitas seorang dokter, asal pasien memiliki spiritualitas yang baik maka mereka akan lebih cepat pulih dengan terapi yang standar? Ataukah sebaliknya, seberapa baiknya seorang dokter merawat pasiennya , maka bila spiritualitas sang pasien relatif tidak baik, maka ia akan lebih lambat untuk pulih? Pikiran-pikiran ini cukup menggelitik saya ketika mempersiapkan tulisan ini. Tidaklah mudah untuk menemukan jawaban persisnya karena bila melihat literatur-literatur yang ada pengertian kata ‘spiritualitas’ sendiri sangatlah luas dan bersifat lintas agama, dan dapat diakses melalui banyak cara seperti lewat musik, seni, bersahabat dengan alam, nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran yang bersifat sains.1-5 Secara sederhana, spiritualitas berhubungan dengan bagaimana kita berhubungan dengan Tuhan, serta erat berhubungan dengan makna dan tujuan hidup, dan bagaimana faktor-faktor ini menjadi bagian dari seorang individu yang holistik.1

Kebanyakan dari kita mengamini akan pentingnya peranan spiritualitas dalam penanganan pasien. Namun dalam praktek sehari-hari berapa banyak dari kita yang memperhatikannya dalam penanganan pasien-pasien kita? Berapa dari kita yang terlatih melakukannya?

Hubungan antara spiritualitas dan medis telah menarik perhatian selama bertahun-tahun. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa banyak pasien yang percaya bahwa spiritualitas memainkan peranan penting dalam hidup mereka, bahwa ada korelasi positif antara spiritualitas atau komitmen keagamaan pasien dengan kesehatan, dan pasien menginginkan dokter untuk memperhatikan faktor ini dalam pelayanan medis.1,2

Penelitian-penelitian tentang efek dari iman pasien pada hasil akhir (outcome)dari penyakit menunjukkan penurunan hipertensi, profile lemak yang lebih baik dan level kolesterol yang lebih rendah, dan fungsi imun yang membaik. 2 Penelitian pada pasien-pasien lanjut usia yang menjalani bedah jantung elektif menunjukkan bahwa kurangnya kekuatan dan penghiburan religius, berhubungan secara bermakna dengan risiko kematian selama 6 bulan periode pasca bedah.1 Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa disiplin spiritual efektif dalam menangani ketagihan obat dan alkohol. Keyakinan spiritual dan religius membuat pemulihan pasca bedah lebih cepat, kecemasan dan depresi lebih berkurang, bertahan (cope) dalam menghadapi penyakit kronis seperti artritis, diabetes, jantung, kanker, dan cedera tulang belakang.5

Dalam studi Maugans dan Wadland6 ditemukan bahwa 94% pasien yang dirawat di rumah-rumah sakit, percaya bahwa kesehatan spiritual sama pentingnya dengan kesehatan fisik, 77% percaya bahwa dokter harus menganggap kebutuhan spiritual pasien sebagai bagian dari pelayanan medis, dan 37% menginginkan dokter mereka lebih mendiskusikan kepercayaan religius mereka. Namun ternyata 80% melaporkan bahwa dokter tidak pernah atau jarang sekali mendiskusikan isu-isu spiritual atau religius dengan mereka.

Pada penelitian lain, King dan Bushwick7 menemukan bahwa 40 % dari pasien-pasien di unit rawat jalan merasa bahwa dokter harus mendiskusikan isu-isu religius, namun hanya 11% dari dokter-dokter yang ada yang melakukannya.

Dengan mengutip beberapa penelitian yang ada, Anandarajah dan Hight1 menyimpulkan bahwa yang menjadi penghalang terbesar dari pihak dokter untuk mendiskusikan isu-isu spiritual dengan pasien adalah kurangnya waktu (71%), kurangnya training (59%) dan kesulitan dalam mengidentifikasi pasien mana yang menginginkan diskusi yang demikian (56%).

Hal ini tidaklah mengherankan karena pendidikan kedokteran barat yang kita jadikan acuan sangatlah kuat dalam aspek fisik yang mudah diukur, namun hampir tidak pernah menyentuh bagaimana melayani kebutuhan spiritual dari pasien-pasien. Mempelajari aspek spiritual dari pelayanan medis bukanlah bagian yang tipikal dari kurikulum pendidikan kedokteran. Pemikiran-pemikiran religius dan spiritual perlahan-lahan dilepaskan dari praktek medis yang berdasarkan sains (scientific-based medical practice).4

Bila melihat tingginya ekspektasi masyarakat akan pentingnya aspek spiritual untuk diperhatikan dokter dan kenyataan bahwa spiritualitas mempengaruhi outcome dari penyakit-penyakit yang ditangani maka konsekuensinya dokter harus siap secara kemampuan dan mau memberikan waktu untuk menyentuh aspek ini dalam pengelolaan pasien.

Menarik bahwa dalam kata pengantar bukunya,”Spiritual Caregiving”, Carson dan Koenig1 mengatakan bahwa setiap dari kita memasuki dunia pelayanan kesehatan mengharapkan tugas-tugas yang menantang. Tentu saja hal ini benar, karena setiap hari kita berhadapan dengan mereka yang terluka dan diremukkan oleh penyakit-penyakit fisik, emosional, kognitif, dan spiritual. Orang-orang ini mencari kita untuk pemulihan, nasehat, penghiburan dan kedamaian, sehingga sebenarnya ketika kita terlalu sibuk, terlalu lelah, terlalu terkuras oleh isu-isu yang di permukaan saja, sehingga kita tidak bisa benar-benar hadir untuk pasien-pasien kita, maka sebenarnya kita sedang mengalami “dis-ease” (kenyamanan yang semu).

Carson dan Koenig mengajak kita memandang pelayanan kesehatan (healthcare) sebagai pelayanan (ministry). Mereka menggambarkan perannya sebagai berikut:” At the heart of being a ministering person is seeking to hear and understand the story of the suffering person standing before us and to encourage hope in that person in developing the next chapter of the story.” Bicara spiritualitas, berikut ini adalah 10 ciri-ciri dari profesional medis yang melayani:1

1. Mampu masuk dalam sebuah relasi dengan orang lain dan ikut merasakan sakitnya, menyimak bahkan ketika itu menyebabkan ketidaknyamanan, berbicara sedikit atau tidak sama sekali dan pada kesempatan lain membangkitkan pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi.

2. Mengambil peran lebih sebagai teman dalam perjalanan hidup orang lain, dari pada sebagai penyelamat atau pemecah masalah.

3. Mampu untuk mengasihi yang sulit dikasihi, tidak berterima kasih, tidak kooperatif, agresif dan sulit dijangkau.

4. Menerima kehancuran, kemanusiaan, dan kerentanan diri sendiri ketika memasuki hubungan dengan mereka yang dibebani dengan kesulitan hidup.

5. Menjadi fasilitator dari perubahan pada orang lain dan tidak memikul tanggung jawab atas perubahan tersebut.

6. Mengijinkan orang untuk mengambil keputusan dan mendukung mereka melalui proses tersebut.

7. Menerima bahwa solusi terbaik terhadap masalah diputuskan oleh orang yang sedang dilayani

8. Mampu mengenali bahwa seseorang tidak dapat mengakhiri kepedihan dan penderitaan psikologis seseorang, namun dapat menjadi seorang saksi atasnya dan memberikan pendapatnya.

9. Mampu menerima orang lain sebagaimana adanya dan tidak berusaha membuat mereka berubah menjadi serupa dengan orang lain.

10. Mampu menolong orang lain untuk mendeskripsikan nilai-nilai, tujuan-tujuan, dan pandangan-pandangan mereka.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana seorang dokter dapat menolong pasien di aspek spiritual ini, bila dia sendiri tidak memiliki spiritualitas yang baik? Bagaimana seorang dokter Kristen bisa memiliki hati yang melayani ketika dia tidak terus menerus melekat pada Kristus?

Berikut ini adalah keyakinan saya akan pengaruh spiritualitas dokter dalam penanganan pasien.

1. Bila kita melihat tokoh-tokoh Alkitab seperti Yusuf, Daniel, Nehemia, maka tampak dengan jelas bahwa ada keterlibatan Allah dalam kesuksesan karir mereka. Bagaimanapun juga ini berlaku bagi kita yang melayani dalam dunia medis. Firman Tuhan mengingatkan bahwa ketika kita mengandalkan Tuhan dalam pergumulan yang kita hadapi, maka Dia akan memberikan keberhasilan (Maz.1:1-3, Yer. 17: 7-8). Bagaimanapun pandai dan terampilnya kita sebagai dokter, kita pasti pernah berada dalam situasi yang membingungkan dalam pengelolaan pasien-pasien kita. Inilah saat yang terbaik untuk menyadari keterbatasan kita sebagai manusia mencoba mengobati manusia dan terus mencari pimpinan Tuhan, Sang Pencipta. Kita percaya bahwa Allah mampu melakukan jauh lebih banyak dari yang kita doakan dan pikirkan (Ef.3:20-21).

2. Ketika kita menjalankan nasihat Rasul Paulus dalam Kolose 3:23, bahwa apapun yang kita lakukan, lakukanlah seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia, maka kita pasti melaksanakan profesi kita dengan standar tertinggi dan kemampuan terbaik yang kita miliki. Hal ini akan menolong kita untuk menjaga diri terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang kita miliki sebagai dokter dalam penanganan pasien bagi keuntungan diri atau pihak lain.

3. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan dokter adalah salah satu kehidupan yang paling rentan terhadap kejatuhan akibat jadwal kerja yang padat dan panjang, yang disertai tensi yang tinggi akibat tuntutan yang ada di masyarakat terhadap profesi yang mulia ini. Dokter seringkali tidak memiliki waktu yang memadai untuk dirinya sendiri, untuk berdoa dan menyembah Tuhan, berkontemplasi, mencari pimpinan Tuhan untuk hari-hari yang akan dijalani, sehingga lambat laun hubungan dengan Bapa yang merupakan sumber segala hikmat dan berkat, menjadi semakin terhimpit, menjadi semakin tidak peka akan suara Tuhan, semakin mudah untuk jatuh dalam pelbagai pencobaan. Kita patut mengikuti teladan Tuhan Yesus yang dalam kesibukan-Nya yang luar biasa telah memprioritaskan waktu-Nya dengan Bapa (Mar. 1:35). Saya meyakini bahwa hal ini menolong-Nya untuk terus fokus mengerjakan misi-Nya.

Tulisan ini saya akhiri dengan mengutip bagian dari konklusi Thomsen tentang Spirituality in Medical Practice: “Why seek spirituality? Because it works. How does it work? I do not know. I do not know at the molecular level how cortisone works, or what electrons look like. They work whether I understand them or not, and so does spirituality. When the spiritual needs of patients are sincerely met they will do better and receive better care. More important, the health care giver, the physician, is also going to be more whole, more healthy, and more integrated in body, mind, and spirit. Spirituality is an area to pursue both for your patients and you.”

Daftar Pustaka:

1. Carson VB, Koenig HG. Spiritual Caregiving: health care as a ministry. Pennsylvania: Templeton Foundation Press, 2004

2. Anandarajah G, Hight E. Spirituality and Medical Practice: using the HOPE questions as a practicaltTool for spiritual assessment. American Family Physician 2001; 63 (1): 81-88

3. Kliewer S. Allowing Spirituality into the Healing Process. J Fam Pract 2004; 53:616-24

4. Thomsen RJ. Spirituality in Medical Practice. Arch Dermatol 1998; 134:1443-6

5. Diunduh dari http://www.umm.edu/altmed/articles/spirituality-000360.htm. pada 25 April 2011

6. Maugans TA, Wadland WC. Religion and Family Medicine: a survey of physicians and patients. J Fam Pract 1991; 32:210-3

7. King DE, Bushwick B. Beliefs and Attitudes of Hospital Inpatients about Faith Healing and Prayer. J Fam Pract 1994; 39:349-52


Oleh: dr. Lineus Hewis, SpA

Telah dimuat di mj. Samaritan ed-2 Tahun 2011



Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag