Sabtu, 29 Oktober 2011

GRASPING HEAVENS (4b)

(sambungan)

4. Menjadi Seorang Dokter

Setelah tahun pertamanya di sekolah kedokteran Tami terlibat dalam satu proyek penelitian di Malaria Branch of the Center for Disease Control. Oleh karena melihat malaria sebagai masalah terbesar di Afrika maka Tami memilih menghabiskan waktu liburnya untuk melakukan penelitian malaria dari pada berlibur. Dia melakukan kultur parasit malaria, dengan tujuan menggunakan kultur-kultur ini untuk mengadakan uji senyawa-senyawa kemoterapi.

“Aku sedang mencari gumpal-gumpal parasit dalam sel-sel hati dan berusaha untuk membedah nyamuk-nyamuk…” jelas Tami pada keluarganya melalui telepon.

Karena Tami bekerja sepanjang waktu bersama beberapa ahli dari Cina selama proyek penelitiannya, salah seorang dokter dari Cina menarik perhatiannya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, saling berbagi informasi mengenai budaya, keluarga dan tradisi mereka.

“Tami, kamu selalu berdoa sebelum makan…mengapa kamu melakukan hal tahyul itu?” tanya temannya satu saat.

“Oleh karena Tuhan itu nyata maka berdoa kepada Pribadi yang nyata itu bukan sebuah tahyul. Kalau kamu suka, kamu bisa datang makan malam di tempatku nanti malam dan aku bisa menceritakan padamu mengapa aku percaya Tuhan..” jawabnya.

Sejak undangan makan malam tersebut maka setiap minggu mereka bertemu secara teratur. Satu hari sesudah pertemuan tiba-tiba Tami mendapat ide: “…maukah kamu mengajari saya bahasa Mandarin?” tanyanya pada temannya.

“Tentu saja…kamu mengajari Alkitab padaku dan aku ajari kamu bahasa Mandarin…” jawab temannya dengan senang hati.

Tami mengerjakan proyek penelitiannya hingga perkuliahan mulai lagi. Sebagai seorang mahasiswa kedokteran tahun pertama yang mengadakan penelitian terhadap malaria, yang dikerjakannya selama dua kali liburan musim panas dan hasil penelitiannya itu dimuat dalam jurnal ilmu pengetahuan internasional, hal ini benar-benar merupakan hal yang sangat tidak biasa.

Tami berpikir bahwa tahun keduanya di sekolah kedokteran jauh lebih baik dibanding dengan tahun pertamanya. Setidaknya para mahasiswa kedokteran diizinkan untuk melihat pasien-pasien secara langsung dan diberikan kuliah bedside teaching. Dalam surat yang ditulisnya secara teratur kepada kedua orang tuanya Tami bercerita: “Setiap Kamis sore kami pergi ke RS, bertemu para pasien, mengambil catatan kasus mereka dan dan mengadakan tes fisik. Aku sadar bila kamu mengenakan jubah putih dan menggantung stetoskop di lehermu maka orang-orang akan memberitahumu soal apasaja. Sangat menyenangkan sekali walaupun aku mempelajari juga soal beban-beban emosional berkenaan dengan orang-orang sakit ini. Pertama kali aku sadar aku mengatakan “pasienku”, aku merasa seakan melompat-lompat…ada seorang pasien bahkan memanggilku ‘DOKTER’..!”

Di surat yang sama tersebut Tami juga bercerita: “ Aku juga sangat bersuyukur untuk banyaknya kesempatan untuk bersaksi tentang Tuhan Yesus. Salah seorang teman sekelas di sekolah kedokteran selalu mengajukan banyak pertanyaan. Tolong doakan dia, terutama agar Roh Kudus terus bekerja dalam hatinya…” Dan ada banyak hal lain lagi yang terjadi di International Fellowship. Ada dua orang ilmuwan Cina lagi yang mengumumkan di depan public bahwa mereka telah menjadi orang Kristen, salah satunya adalah temannya.

Melalui telepon berikutnya kepada orang tuanya, dengan penuh semangat Tami berkata: “Sukacita yang aku alami waktu di Zambia bahwa tidak ada sukacita yang lebih besar dari pada melihat bagaimana orang-orang datang kepada Kristus…saat ini lebih menggairahkan lagi melihat semakin banyak orang Cina yang menunjukkan rasa tertariknya pada kekristenan…”

Di tahun ketiganya di sekolah kedokteran, Tami merupakan salah seorang dari sedikit mahasiswa yang terpilih mengadakan tugas proyek di luar negeri.

“…coba tebak !” katanya pada orang tuanya suatu kali melalui percakapan telepon seperti biasanya. “Emory University setuju membayar biaya perjalananku pulang-pergi ke RS Mukinge di Zambia untuk melakukan proyek penelitian…! Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali ke sana, dan kali ini sebagai dokter…well, hampir dokter “ ia tertawa tertahan. “Aku akan melakukan proyek penelitian mengenai malaria. Suatu studi epidemiologis terhadap severity of anemia pada anak-anak yang mengidap penyakit malaria dan penyakit lainnya.

“..Tami, kami tidak mengerti jargon profesi medismu dengan baik, tetapi kami turut berbahagia untukmu..!” orang tuanya menanggapinya. Diam sejenak. “…Tami, apakah kamu merasa Tuhan memanggilmu ke Afrika?”

“Well, aku belum yakin…begitulah, aku masih kurang yakin. Sejalan dengan waktu aku merasa hatiku didorong ke Cina. Tuhan belum menyatakan dengan jelas padaku, tapi….” Tami menarik napas dalam-dalam. “…tapi kadang aku merasa Tuhan memanggilku ke Cina. Tolong doakan aku dalam hal ini…”

Di Zambia waktu Tami benar-benar penuh berkat, dia menikmati setiap menitnya. Sebagai tambahan pada proyek penelitiannya dia juga menjadi asisten Dr. Wenninger dalam melakukan operasi. Malam hari penuh dengan percakapan panjang dengan Dr. Wenninger dan istrinya mengenai misi di Afrika dan Cina. Tami mendengar dengan penuh perhatian cerita Ny. Wenninger mengenai masa mudanya di Cina. Ketika Tami pulang dari Afrika, kembali hasil penelitiannya di sana dipublikasikan lagi melalui jurnal ilmiah internasional. Di samping semua pengalamannya di Afrika ini dalam hatinya Tami terus berpikir apakah Tuhan memanggilnya ke Afrika.

Dan sebagaimana di Wheaton college, di Emory University Tami lulus juga dengan predikat summa cum laude. Akhirnya Tami menjadi seorang dokter.

Dalam suratnya kepada teman-temannya dia menulis: “ Sekarang aku sudah menyelesaikan studi kedokteran di Emory, aku berencana pergi ke universitas Rochester. Di sana aku akan menempuh tugas internship dan residency-ku selama empat tahun. Aku akan mengambil spesialisasi di bidang pediatric dan obat-obatan. Setelah tinggal di Atlanta selama empat tahun, rasanya aku kangen pada salju dan empat musim berbeda meskipun aku yakin satu musim dingin saja di Rochester akan cukup menyembuhkan rasa rinduku itu selamanya…” Tami tersenyum pada dirinya sendiri ketika dia melanjutkan: “ Dua orang teman sekelasku akan mengambil spesialis pediatric di sana juga. Aku benar-benar senang..itu program yang sangat bagus dan penuh dengan orang-orang yang juga tertarik dengan masalah kesehatan di Negara-negara Dunia Ketiga. Mereka juga mengizinkan kami mengikuti tiga atau empat bulan kuliah elektif di luar negeri. Aku pikir aku akan menggunakan kesempatan itu untuk ke Cina…”

Mulailah empat tahun penuh kesibukan Tami di Universitas Rochester. Dia memilih program pediatric dan obat-obatan karena memberinya suatu kisaran pengalaman klinis yang terluas yang diantisipasinya sebelum dia mengalaminya di luar negeri. Dia hidup di bawah tantangan akan tanggung jawab klinis sebagai seorang dokter muda.

Tami sangat senang menghadapi kasus-kasus yang sulit. Dia menganalisis gejalanya, menimbang opsi-opsi yang berbeda dan membuat kesimpulan. Bila dia harus mendiagnosis sesuatu yang orang lain tolak dan pada akhirnya mampu menyelesaikannya dengan baik maka dia merasa seakan merayakan kemenangannya seperti seorang ‘detektif’ menyelesaikan kasusnya. Oleh karena banyak menghabiskan waktunya di RS maka dia pun memiliki teman-teman baru dengan tiga orang teman sesama residen, Ellen, Cathy, dan Gary.

“Tami, pada waktu direktur program kita memberitahu dengan siapa aku akan bekerja, dia bilang: ‘…dan tunggu hingga kamu bertemu Tami, dia seorang yang luar biasa...” kata Ellen mengingat perkataan direktur programnya tentang Tami. “..Jujur saat itu aku merasa terintimidasi, tapi kemudian aku mengenalmu dan aku menyadari betapa menyenangkannya kamu…benar-benar terintimidasi…”

Tami tersenyum. “Aku sangat menghargai persahabatan kita…yang mebuatku mampu melewati hari-hari yang sangat melelahkan di RS, dan kita bisa saling mendorong satu sama lain pada saat-saat sulit…”

“Direktur program kita benar…kamu memang seorang yang luar biasa, Tami…Hal yang paling aku suka dan hargai dari kamu adalah imanmu, cara pandangmu, dan pemikiranmu yang jelas” tambah Cathy.

“Ayolah…jangan berlebihan seperti itu…” katanya tertawa. “… Apa yang kuinginkan adalah kita saling berbagi hal-hal ‘dari hari ke hari’ kita bersama. Seperti perjalanan menuruni aula, menulis clinic charts, berbagi hal-hal lucu melalui pager kita, saling membantu menggantikan jadwal jaga saat salah satu dari kita merasa kurang sehat atau pergi berlibur…ya, seperti yang kalian lakukan terhadapku…”

Satu kali sambil berlari-lari sepanjang koridor RS dengan daftar “to do list” di tangannya, Tami menabrak Ellen. “Kalau aku mengingatmu di benakku, aku melihatmu melangkah di koridor RS dengan notebook-mu sambil memeriksa daftar ‘to do list’-mu…” kata Ellen sambil tertawa.

“Ayo kita hiking akhir pekan ini…kita berempat! Usul Tami. “Kita perlu break..!!”

Akhir pekan itu mereka berempat pergi hiking. Tami terus memuji-muji Tuhan sepanjang perjalanan mereka. “..betapa mempesonanya Tuhan menciptakan alam mini…” katanya.

“Kamu benar-benar sangat menghargai segala sesuatu yang ada di sekelilingmu…aku belajar lebih mencintai alam dan segala yang ada disekitarku juga sejak aku mengenalmu…” kata Gary sambil menghadap Tami.

“Tami, terima kasih kamu telah bersamaku sepanjang minggu ini dan menghadapi kasus-kasus sulit bersamaku…? tambah Ellen. “Tanpamu, aku bisa saja mengalami kemunduran dalam studiku. Terima kasih karena terus menyemangatiku untuk terus maju…”

“Kita ini sahabat seumur hidup…” jawab Tami. “Kelihatannya ini tempat yang bagus untuk berfoto. Ayo kita berempat berfoto untuk mengingat persahabatan kita yang “selamanya” ini…”

Minggu-minggu yang mereka lalui sering dipenuhi dengan lebih dari 80 jam kerja di RS. Tami tidak mengeluh, ini adalah hal yang diharapkannya selama ini dan dia benar-benar ingin menjadi seorang klinisi yang berpengalaman agar dia bisa melayani di luar negeri. Satu hari seorang Profesor yang sangat bangga dengan prestasi Tami sebagai seorang residen, berkata:

“ Tami, saya sering mendengar katanya kamu ingin keluar negeri, bekerja sebagai seorang dokter di sebuah Negara berkembang. Sejujurnya, menurut saya hal itu benar-benar hal yang buang-buang waktu dan menyia-nyiakan kemapuan bakat dan pendidikanmu! Dokter muda cerdas seperti kamu seharusnya tinggal di Amerika Serikat di mana kamu akan memperoleh setiap kesempatan untuk mengembangkan karir akademikmu yang brilian…”

Tami berpikir cukup lama sebelum menanggapi Profesor tersebut. Akhirnya dia berkata:“ Pekerjaan misi itu hanya membutuhkan yang paling terbaik. Lagi pula Tuhan telah memberikan kepada kita yang terbaik dari-Nya, yaitu Anak-Nya…” berhenti sejenak, kemudian dia melanjutkan: “ Akhir pekan lalu saya membaca biografi Jim Elliot, seorang misionari muda di Ekuador yang sudah dibunuh bahkan di awal pelayanannya di sana. Hal yang sangat menarik bagi saya adalah apa yang Jim Elliot ini katakan, sebagaimana yang dikutip di buku tersebut: ‘He is no fool who gives what he cannot keep to gain what he cannot lose’ (bukan bodoh seseorang yang memberikan apa yang tidak bisa dipertahankannya untuk memperoleh apa yang dia tidak bisa kehilangan)…”

Tidak lama sejak Tami pindah ke Rochester dia menemukan sebuah gereja di mana dia bisa ikut melayani. Dan cukup mengejutkan baginya melihat hal itu mirip dengan saat dia berada di Atlanta. Kembali dia bertemu dengan orang-orang Cina, bukan hanya di gereja tersebut tetapi juga selama tugasnya di RS. Di akhir masa residennya di tahun ketiga, semakin jelas di dalam hatinya bertumbuh perasaan bahwa Tuhan menginginkannya melayani di Cina.


========= Bersambung ke GRASPING HEAVEN (4b)

Sumber:

Diterjemahkan dari:

Annelies & Einar Wilder-Smith, “GRASPING HAEVEN- Tami L. Fisk, A Young Doctor’s Journey to China and Beyond”, Genesis Books, 2010.

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag