Saya dilahirkan dan tumbuh dalam keluarga yang tidak mengenal Kristus, keluarga kami menganut ajaran Khong Fucius, dan masih ada abu leluhur yang dipuja. Hanya karena kasih karunia Allah yang telah menetapkan saya akan menjadi umat tebusan-Nya sebelum dunia dijadikan. (Ef.1: 4) maka melalui sekolah dasar dan sekolah menengah saya telah mengenal ajaran Kristen.
Waktu saya menempuh kuliah kedokteran di UGM Yogya, dan saya bergereja di GKI Ngupasan dengan gembalanya adalah paman saya sendiri. Selama menjadi jemaat di sana saya sangat aktif dalam berbagai “pelayanan” dari guru sekolah minggu, komisi pemuda dan lain sebagainya, bahkan saya menjadi pengrus komisi. Meskipun berbagai kegiatan saya lakukan, namun saya tidak bersedia dibaptis, karena saya banyak dikecewakan oleh tokoh gereja dan para aktivis yang kehidupannya tak sesuai dengan Firman dan menjadi “batu sandungan” bagi saya. Hanya pesan paman saya yang mengubah keputusan dalam hidup saya:” to be the good singer for the beautiful song”.Menjadi pelaku Firman yang baik. Saya mau dibaptis dan menerima Kristus secara pribadi dan rindu untuk menjadi saksi Kristus yang baik, karena Alkitab yang berisi kebenaran Firman Allah, adalah lagu yang indah untuk diterapkan dalam kehidupan kita.
Selama pelayanan di GKI saya mempunyai 2 orang teman seangkatan ( dr. Timotius W. Dan dr. Yahya W.), dan kami bertiga memiliki kerinduan yang sama, bila satu saat kami lulus menjadi dokter ingin menjadi saksi bagi kemuliaan nama-Nya ke manapun Tuhan utus. Setelah lulus selama beberapa bulan saya berpetualang bekerja sebagai relawan, di beberapa Balai Pengobatan Kristen,
diantaranya: YAKKUM Solo dan Puwodadi, juga di RS Kristen Ngesti Waluyo, Parakan. Rupanya di sanalah Tuhan mempersiapkan saya untuk memenuhi panggilannya, sesuai dengan visi kami waktu masih kuliah, melayani di daerah terpencil.
Dipanggil ke Tentena
Panggilan ke RS GKST Tentena menjadi jawaban panggilan saya, maka saya menerima untuk diutus ke Tentena, pada awal tahun 1971. Lalu, saya menuju Makasar, mengikuti pelatihan bedah di RS Labuang Baji dengan mentor seorang ahli bedah dr. De Jong, dan tinggal di rumah kepalaRS Labuang Baji, seorang ahli bedah sekaligus hamba Tuhan yang setia dalam pelayanan, yang memberikan dorongan dan motivasi yang baik. Tentena, seperti yang digambarkan oleh dokter pendahulu saya, adalah tempat yang begitu indah dan nyaman. Namun, kondisi rumah sakitnya kotor, kumuh dan defisit, tidak ada obat dan sarana pelayanan yang layak, para perawat dan pegawai banyak yang menderita, karena gaji yang jauh dari mencukupi kebutuhan minimal mereka. Disamping itu,
ada perawat senior yang mendominasi klinik, sehingga melakukan “sabotase” agar pasien datang di tempat praktek pribadinya daripada ke rumah sakit. Administrasi yang kacau dan korup, keterlibatan pejabat gereja (Sinode GKST) yang terlalu jauh, menghambat kemajuan RS, bahkan menganggap Rumah Sakit sebagai salah satu “Sumber Penghasilan Gereja” dan bukan sebagai “Sarana Pelayanan
Gereja”.
Bukan Demi Uang
Sementara itu, kondisi rumah dokter peninggalan dokter zending, merupakan rumah papan yang rapuh dan berlobang, sering ada ular yang melingkar di atap rumah. Perabot reot dan kotor. Waktu itu, “kota Tentena” tanpa listrik, kondisi jalan berbatu, untuk mencapainya dari Jawa- ke Palu dengan pesawat ( tidak ada penerbangan setiap hari), Palu Parigi dengan jeep melalui jalan bergunung yang
banyak kelokan dan jurang yang terjal, memerlukan 8 jam perjalanan, dari Parigi ke Poso dengan motor laut semalaman, dari Poso ke Tentena dengan mobil RS selama 6 jam atau lebih, walaupun jaraknya hanya 55 Km. Semua serba kekurangan, gaji yang hanya lebih besar sedikit dari gaji PNS (Pegawai Negeri Sipil), membuat awal karier begitu sulitnya. Akhirnya saya harus membuktikan diri bahwa saya datang bukan demi uang tapi merindukan pelayanan yang menjadi berkat bagi orang lain. Saya tetap bertahan dan menggunakan bekal obat yang saya bawa dari hasil tabungan istri saya dan
“meminjam” bukan “meminta” uang dari NHK untuk memulai pelayanan saya di RS GKST Tentena.
Di Tentena, penyakit infeksi dan kurang gizi menjadi masalah utama, dengan keadaan kekurangan pengetahuan bagi masyarakat setempat dan sarana kesehatan yang sangat minim. Kondisi Rumah Sakit dengan defisit anggaran yang cukup besar, karena pelayanan yang “buruk”, kunjungan kurang, kurang kepercayaan dari masyarakat, membuat saya benar-benar tidak tahu harus bagaimana
memulai memperbaiki Rumah Sakit ini. RS GKST harus diberi otonomi untuk mengelola keuangan dan manajemen mandiri. Status Rumah Sakit terhadap Gereja harus dibetulkan. Tempat tempat sumber “korupsi”, dapur, apotek dan bangsal perawatan diperbaiki.
Pembuktian kemampuan dalam kompetensi kuratif, untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat, agar tidak lagi berobat ke dukun atau ke petugas kesehatan yang mencari keuntungan bagi diri sendiri. Kesejahteraan pegawai secara bertahap ditingkatkan, juga kemampuannya Karena dengan pertolongan Tuhan semata, maka semua hambatan dan masalah dapat diatasi, keberhasilan demi keberhasilan diraih.
Kesehatan hanyalah salah satu faktor saja dalam Pembangunan Masyarakat, tetapi Kesehatan dapat merupakan “Point Of Entry” yang baik bagi upaya Pembangunan Masyarakat secara menyeluruh. Upaya Pembangunan Masyarakat Desa dimulai dengan 3 Desa Percontohan, menuai hasil pada awalnya, kemudian masalah timbul silih berganti sehingga terpaksa “dihentikan sementara” setelah kurang lebih 3 tahun, dan diganti dengan pendekatan yang baru melalui “Taman Gizi” yang akhirnya berkembang hampir kesemua Desa yang ada. Selanjutnya dibentuk Pusat Pelatihan Pengembangan Masyarakat Desa yang melatih kader2 untuk mengembangkan Desa -Desa yang ada.
Harga Sebuah Komitmen
Semua yang saya perjuangkan dengan pertolongan dan penyertaan Tuhan, meski kerja keras terfokus pada sasaran yang ingin dicapai untuk kesejahteraan masyarakat pedesaan, kadang membuat keluarga terlantar. Suami istri harus terpisah selama 3 tahun, untuk bekerja di tempat yang berbeda demi
kesejahteraan keluarga. Namun kasih karunia dan pemeliharaan Tuhan nyata, kami tetap bahagia di dalam penghiburan yang sejati dari Allah Roh Kudus. Sampai bisa menyelesaikan tugas di Tentena selama 8 tahun. Saya belajar, bahwa setiap panggilan memerlukan komitmen, dan komitmen memerlukan persiapan , dan setelah itu percaya dan yakinlah bahwa Tuhan akan memperlengkapi kita dengan “sempurna.”
Dia akan beserta dan senantiasa menolong kita dalam segala masalah dan kesulitan yang akan kita hadapi. Karena Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu mereka yang terpanggil sesuai rencana Allah. Masa-masa saya bekerja di Tentena, merupakan masa yang “indah” yang tidak akan pernah saya lupakan, dan merupakan “ bukti penyertaan Tuhan yang tidak taranya”. Segala puji dan hormat bagi Dia yang telah memanggil dan menetapkan setiap umat-Nya dalam rencana agung untuk mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh umat manusia.
Penulis:
Dr. Herman Wibowo .MPH
Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada Yogyakarta, 1970
Tropen Institute , Master of Public Health , ICHD ,
Amsterdam Holland , 1979
Sudah pensiun 12 tahun yang lalu dan saat ini
Praktek Swasta di Palu serta aktif
di Gereja & Haggai Institute
2 komentar:
Dokter Herman selamat jalanπππ Dokter bertangan dingin πππ
πππππππππ
Posting Komentar