Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dam patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. ---Filipi 4:8
Aku diundang untuk turut menjalankan klinik kesehatan di sebuah perkampungan bekas wilayah Uni Soviet. Seorang perempuan separuh baya memiliki sebuah benjolan yang semakin besar di payudara sebelah kanannya sejak tiga bulan lalu. Ia ingin pergi ke pusat diagnostik di kota, namun tidak mampu membayar biaya konsultasinya. Kini benjolannya disertai dengan gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit metastasis.
Perempuan itu bertanya kepadaku apakah benjolannya adalah kanker atau bukan. Aku merasa bingung. Apakah sebaiknya kukatakan kecurigaan klinisku walaupun aku tahu ia mungkin tidak akan mendapat pengobatan yang memadai? Akan lebih mudah buatku diam saja dan membiarkan perempuan itu pergi tanpa diberi tahu. Namun, aku tidak dapat membiarkan ia mati terabaikan, maka meskipun penerjemahku mendesakku bahwa di negaranya tidak lazim seorang dokter menyatakan perasaan kepada pasien, aku tetap melakukannya. Perempuan itu kemudian berterima kasih atas kejujuranku dan mengatakan bahwa sebetulnya jauh di lubuk hatinya ia telah mengetahui diagnosinya. Lalu ia pergi, membawa surat rujukanku menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Ini adalah cerita unik, tapi pasti banyak dokter Kristen akan menghadapi situasi di mana menyatakan yang sebenarnya merupakan suatu risiko. Seberapa pentingkah kita perlu menjunjung tinggi kebenaran setiap waktu? Pandangan kebenaran secara menyeluruh dicontohkan Tuhan Yesus yang dalam diri-Nya mewujudkan kebenaran (Yoh 14:6). Tuhan Yesus selalu mengatakan kebenaran (Yohanes 3:3) dengan mengetahui benar kuasa kebenaran yang memerdekakan (Yohanes 8:32)
Sebagai orang Kristen kita harus meneladani Allah (Efesus 5:1), jadi mengatakan kebenaran dalam kasih adalah perintah, bukan suatu pilihan. Marilah kita berani mengatakan kebenaran kepada pasien dan rekan sejawat kita, apapun konsekuensinya.
Baca: ayat-ayat kutipan dan konteksnya.
Disadur dari : Sumber Hidup Praktisi Medis 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar