Jumat, 27 Juli 2018

KESEIMBANGAN WAKTU LIMA ASPEK KEHIDUPAN (Bagian 2)

Keseimbangan Waktu Lima Aspek Kehidupan (Lanjutan dari bagian 1)



Keseimbangan Pelayanan Kerohanian

          Kembali kepada lima bidang utama kehidupan, pelayanan kerohanian juga harus mendapat tempat utama supaya kehidupan menjadi seimbang. Mengapa? Ya, karena kita adalah pengikut-Nya yang dikehendaki-Nya menjadi saksi-Nya. Untuk menunjukan hal ini tidak cukup dengan kemampuan berkata-kata, tetapi juga dengan perbuatan. Salah satunya adalah dengan mengasihi sesama. Bentuk mengasihi sesama dapat diwujudkan dalam hal pemberian. Ada dua kategori dalam hal pemberian. Dough dan William dalam buku yang sama, tetapi dalam pasal berbeda, yakni "Masalah Penghasilan" mengatakan, kategori pertama dalam hal pemberian adalah, memberikan kepada orang-orang miskin yang tidak dapat membiayai segala kebutuhannya. Sebagai orang Kristen kita mempunyai tanggung jawab untuk membantu mereka. Kategori kedua adalah pemberian untuk mendukung dan membiayai pelayanan-pelayanan Kristen dan mereka yang jabatan atau pekerjaannya ialah mengabarkan dan mengajarkan Injil. Hal pemberian ini sejalan dengan apa yang tertulis dalam firman Tuhan 1 Yohanes 3:17-18, dan Galatia 6:6, juga 1 Korintus 9:14.

           Demikian idealnya keseimbangan yang perlu dijalankan umat Tuhan, tetapi apakah paparan ini semua hanya teori yang sesungguhnya sulit dijalankan apalagi saat seperti ini di mana orang-orang berlomba menjadi yang "ter"? Barangkali dengan membaca kehidupan dokter yang satu ini kita mendapat jawaban bagaimana pola yang berhasil dijalankan dalam hal menyeimbangkan waktu dalam keseharian hidup.



Profil Dokter Hadi

          Sudah banyak orang, khususnya, yang mengenalnya. Dia, Dr. Hadi Marjanto Abednego, SKM, bukan hanya seorang dokter, tapi juga seorang birokrat. Ia dikenal sebagai pekerja keras, tetapi bukan sosok yang kaku. Baginya, keluarga, teman-teman, hobi dan melayani sesama sama pentingnya dengan pekerjaannya. Dalam bekerja, ia berkata terus terang, tidak malu dan tidak takut untuk menyaksikan imannya. "Titik tolaknya sederhana saja. Kita hidup oleh karena terlebih dahulu diberikan kebaikan oleh Kristus. Dengan demikian kita juga harus memberikan kebaikan pada orang lain sebagai cerminan terima kasih kita kepada Tuhan," jelasnya, yang memang sederhana.

          "Saya seperti sekarang ini bukan karena kekuatan saya sendiri melainkan karena karunia-Nya dan tuntunan-Nya. Tangan kita dibimbing-Nya. Hal ini bisa kita rasakan hanya kalau kita ada kontak dengan Dia. Kontak itu dalam doa dan kerja," tambahnya. Perbincangan kami dilakukan di kantor Perkantas ketika suatu hari ia berkunjung ke Jakarta. Menurutnya, kekristenan bukan hal yang harus disembunyikan di tempat kerja, sebab bila hal itu dilakukan, kita menjadi seperti lilin yang menyala di bawah gantang, padahal lilin yang menyala harus ditempatkan di tempat yang bisa kelihatan. "Bersaksi dalam hidup itu kan tidak harus demonstratif," tukasnya.

         Jadi, nilai-nilai Kekristenan bisa ditampilkan dalam pekerjaan? Dengan tegas ia mengatakan, bisa saja. Benturan dapat dihindari dengan kebijakan. Kesaksian kita harus dikemukakan saat yang tepat. Bagaimana saat yang tepat itu? "Saat itu bukan pekerjaan kita, tetapi atas bimbingan Tuhan," sahutnya singkat.

          Nilai-nilai kekristenan yang dimaksudkannya harus tampak dalam pekerjaan, di dalamnya termasuk kemampuan untuk melayani orang lain, dan bukan hanya dilayani. Sekalipun kedudukan orang tersebut adalah birokrat seperti dirinya. "Pola yang saya terapkan dalam jabatan saya, di mana saja, adalah keterbukaan. Apakah itu dengan bawahan atau yang setara. Saya tidak membuat jarak. Untuk apa sih jadi sombong? Dalam sehari, jabatan kan bisa dicabut. Sekalipun birokrat saya tidak mengembangkan suasana birokratis," sahutnya santai.

          Dokter yang meniti karirnya di Pulau Nias ini merasa tidak akan kehilangan wibawa sekalipun ia memilih ia yang melayani, sebab menurutnya, wibawa tidak akan hilang hanya karena ia akrab dengan teman sekerja atau melayani mereka. Sikap sehari-harilah yang justru menentukan wibawa. Kita ambil contoh Yesus. Ia saja mau membasuh kaki murid-murid-Nya. Itu lambang sikap melayani orang di bawahnya. Sikap kita hendaknya tercermin dari hal itu. Yang diatas melayani kepentingan yang dibawahnya, katanya.

          Pelayanan bentuk lain yang dilakukannya adalah kesediaan memberi waktu untuk menjadi pembicara dalam acara yang bersangkutan dengan 'dunia'nya dalam kegiatan kerohanian Kristen meskipun jadwalnya padat. Ia juga memberi waktu bagi mereka yang membutuhkan kosultasi dengannya. Seperti untuk Samaritan, ia juga memberikan perhatian. Ia tidak segan meminta bantuan stafnya bila Samaritan membutuhkan informasi.

          Bapak tiga anak ini mengatakan pula, bahwa ia bukan hanya menyediakan waktu untuk pelayanan profesi dan pelayanan kerohanian, tetapi ia juga memberikan waktu untuk anak-anaknya. Dari jawaban-jawabannya tentang keluarganya diperoleh gambaran kedekatannya dengan istri dan ketiga anaknya yang sudah besar. Ia mengatakan: "Orang bilang kan kita ikut saja apa yang diinginkan anak. Ini tidak betul sepenuhnya. Kita harus mentransfer nilai-nilai kebenaran pada anak, baik itu mengenai uang juga mengenai perilaku. Dengan demikian anak-anak tidak terpengaruh dengan segala macam ancaman dan tantangan apalagi di kota besar. Orang tua saya dulu menjadikan waktu makan bersama sebagai sarana berdialog. Demokrasi terjadi saat itu, kami bicara bebas, dan terjadi juga transfer nilai. Karena itu, meskipun saya tujuh bersaudara laki-laki, tidak ada yang jadi jahat, tidak ada yang menyimpang, Karena saya pandang pendidikan seperti itu bagus, saya terapkan dalam keluarga saya sekarang. Anak-anak saya dorong untuk maju. Tapi tidak saya patok harus jadi itu atau itu. Saya hanya memantau, mendorong kemampuannya supaya bisa berkembang. Anak-anak saya pun bisa memberikan kritik. Dalam kehidupan keluarga kritik adalah hal biasa, dan dibutuhkan dalam demokrasi di tengah keluarga."

          Dengan istri, ia juga mempunyai waktu yang cukup. Ia mengakui peranan istrinya yang besar sehingga membuatnya seperti sekarang ini. Tapi waktu berolahraga sekarang ini tidak bisa disisihkan secara khusus kecuali jalan kaki dan naik tangga, karena kesibukannya. Untuk menjaga kesehatan ia menerapkan keseimbangan gizi. Waktu luang yang dipunyainya diisinya dengan mengoleksi name tag dari berbagai kegiatan yang diikutinya sejak dulu.

        Dokter yang menguasai tiga bahasa asing, empat bahasa daerah, dan telah menerima Bintang Jasa Utama dari Presiden RI (1998), juga telah mengunjungi 17 negara dalam rangka tugasnya ini, tampak berhasil menerapkan keseimbangan waktu untuk berbagai aspek dalam hidupnya. Bagaimana dengan kita? Untuk menyeimbangkan waktu tidak perlu ada aspek yang diabaikan atau bahkan dikorbankan. Dokter kelahiran Bandung ini telah membuktikannya untuk kita. 


________________________________________________________
KESEIMBANGAN WAKTU LIMA ASPEK KEHIDUPAN oleh Ida Cynthia S.
dalam Majalah Samaritan No 4/November 1999-Januari 2000

Tidak ada komentar:

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag