Selasa, 03 Juli 2007

PENGABDIAN SEORANG DOKTER

Seorang teman saya, dokter umum, memiliki anak perempuan yang saat ini sedang mengambil fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di Jakarta. Ia harus membayar biaya masuk sebesar 80 juta rupiah. Mula-mula ia keberatan dengan biaya sebesar itu, tetapi ketika menyadari bahwa biaya tersebut relatif murah dibandingkan perguruan tinggi lain maka akhirnya ia ‘terpaksa’ menyekolahkan anaknya di sana. Luar biasa! Sungguh mahal biaya kuliah seorang calon dokter. Sangat tidak bisa dibayangkan sekarang bagaimana seorang PNS biasa dapat menyekolahkan anaknya untuk menjadi seorang dokter. Terus terang, saya agak merasa heran bila fakultas kedokteran tetap menjadi salah satu fakultas favorit di masyarakat, sebab saya dengar bahwa di negara maju orang enggan sekolah kedokteran. Selain mahal, lama, dan berat mata kuliahnya, setelah lulus pun dihadang oleh tuntutan-tuntutan hukum. Bukan hal yang aneh bila terdengar selentingan bahwa di banyak rumah sakit berkeliaran orang-orang yang memanfaatkan kelengahan dokter untuk mencari uang. Dokter yang relatif ‘buta’ hukum dapat menjadi makanan empuk bagi orang-orang ini. Tingginya tuntutan hukum inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang di negara maju enggan menjadi dokter yang berisiko tinggi. Bahkan di Australia, perusahaan asuransi pun malas membiayai asuransi dokter kebidanan dan anestesi. Kalau pun ada, preminya amat tinggi. Apa dampaknya bagi masyarakat? Hal yang pasti adalah tingginya biaya kesehatan dan semakin renggangnya hubungan dokter dan pasien. Masyarakat menjerit karena biaya kesehatan amat mahal, tetapi di sisi lain para dokter juga terancam tuntutan hukum setiap saat. Setelah lulus dari fakultas kedokteran yang melelahkan, seorang dokter muda harus memutuskan kemana ia selanjutnya. Bagi dokter baru yang kaya (orang tuanya kaya) maka ia dapat langsung melanjutkan spesialisasi, walaupun dengan biaya yang amat tinggi. Tidak heran bila terdengar informasi bahwa biaya masuk spesialisasi favorit berkisar 300 juta – 1 milyar. Sungguh jumlah rupiah yang amat besar.Sedangkan bagi dokter yang modalnya pas-pasan maka ia akan bekerja di puskesmas atau buka klinik sendiri. Tingginya biaya hidup, apalagi bila sudah berkeluarga dan menyekolahkan anak, akan menyebabkan dokter yang penghasilannya pas-pasan melupakan mimpinya menjadi seorang dokter spesialis. Harapannya dan orang tuanya di masa awal kuliah, serta idealismenya saat mahasiswa untuk membantu orang miskin, menjadi sirna ketika ia bekerja sebagai dokter muda. Di lain pihak, seorang dokter muda yang sudah mengabdi kepada masyarakat selama 3 tahun di daerah terpencil akan merasa iri terhadap rekan-rekannya yang bukan dokter, yang seusianya sudah memiliki kehidupan yang mapan. Penulis sendiri merasakan betapa tuanya penulis ketika baru bisa bekerja secara benar saat berusia 33 tahun, yaitu saat lulus spesialisasi. Penulis sudah menghabiskan 6 tahun di fakultas kedokteran, 3 tahun bekerja di pedalaman, dan 4 tahun menjalani spesialisasi. Seorang teman yang mengambil bidang manajemen, pada saat yang sama di usia yang sebaya, sudah melanglang buana dan bekerja di perusahaan terkemuka. Mengapa masih ada orang yang mau jadi dokter? Apakah para mahasiswa kedokteran masih mengharapkan dirinya kelak dapat menjadi dokter yang kaya? Kalau ia ingin kaya, apakah ada tempat baginya untuk mengabdi kepada masyarakat?Di atas kertas atau sesuai logika sehat, maka seseorang akan dikatakan sejahtera bila memiliki pekerjaan yang mencukupkan kebutuhan hidupnya. Masalahnya, sulit buat kita untuk menentukan kelayakan hidup. Contohnya penulis sendiri. Sewaktu kami belum punya uang cukup, kami merasa bahwa mobil Daihatsu Ceria sudah amat memuaskan. Kami berbahagia dengan mobil tersebut. Saat anak-anak mulai agak besar, dimana mobil tersebut mulai kekecilan maka kebahagiaan kami terusik. Kami butuh mobil yang lebih besar. Oleh karena itu kami membeli mobil Xenia 1000 cc. Mula-mula kami juga senang dengan mobil tersebut. Mobil ini terasa luas, bertenaga lumayan besar, dan cukup irit. Tetapi ketika kami pindah ke Sumatera, dimana jalanan berbelok-belok, naik turun, maka kami merasa bahwa tenaga 1000 cc pun kurang. Kami merasa kesenangan kami terusik lagi. Jadi, seberapa sich tingkat kepuasan kami terhadap mobil? Apakah mobil kami saat ini cukup memuaskan sampai 5 tahun ke depan?Penulis merasa bahwa peningkatan kebutuhan seseorang terhadap kebendaan berlaku umum pada semua orang. Manusia cenderung tidak puas dengan miliknya sendiri. Mereka mau menguasai apa pun yang dimauinya. Seorang Kristen pun tidak akan terlepas dari hasrat kemanusiaannya. Sepanjang hari dalam hidupnya, maka tingkat kepuasan pun akan terus bertambah. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak mendasarkan kebahagiaan pada tingkat kepuasan materi, sebab kebahagiaan tersebut tidak menentu/amat labil (I Tim.6:17-19). Kembali ke pertanyaan semula: mengapa masih ada orang yang mau menjadi dokter? Jawabnya adalah karena ingin mengabdi kepada Tuhan dan sesama. Pengabdian tertinggi seseorang adalah pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan membuat orang berbahagia, bahkan ada orang yang rela mati demi Tuhannya. Dan kematian pun dianggap sebagai puncak dari kebahagiaan itu sendiri. Pilot-pilot Jepang dalam perang dunia terdahulu merelakan dirinya mati demi pengabdiannya pada negara dan tuhannya. Mereka berbahagia mati melalui tindakan kamikaze. Para martir Kristen pun rela mengorbankan dirinya bagi kerajaan surga. Mereka pun berbahagia menyongsong kematiannya. Kunci kebahagiaan mereka adalah pengabdian pada Tuhan dan sesama. Pengabdian mempunyai nilai pengorbanan, penderitaan, harapan, dan kesetiaan. Pengabdian kepada Tuhan dan sesama membuat seorang dokter mampu membuang keinginan memuaskan diri semata. Mengapa hal ini penting? Karena ketertarikan kita pada kebendaan bersifat fana sedangkan pengabdian kepada Tuhan bersifat kekal. Kita tidak mungkin terus berbahagia dengan materi yang kita miliki. Pengabdian kepada Tuhan memampukan kita untuk tetap menikmati hidup walaupun telah banyak mengorbankan diri. Mengapa? Karena keindahan hidup kita tidak tergantung pada seberapa banyak materi yang kita peroleh, sebab hidup kita telah difokuskan pada keinginan untuk menyenangkan Allah. Pengabdian kepada masyarakat membuat kita pun dapat menikmati hubungan dokter – pasien yang tulus, yang tidak dibatasi oleh status sosial. Hal ini membuat dokter dapat bekerja maksimal, entah di desa maupun di kota. Kebanggaan yang dirasakan seorang dokter bukan dalam jumlah uang tetapi kebahagiaan melihat kesembuhan pasien. Di sinilah pentingnya para mahasiswa kedokteran diyakinkan bahwa walaupun mereka sudah mengeluarkan uang banyak tetapi tidak tepat bagi mereka bila setelah menjadi dokter maka mereka berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Keterikatan kita pada kebendaan akan memperbudak diri kita. Mereka perlu mengabdikan dirinya kepada Tuhan, sehingga mereka siap ditempatkan di manapun. Penulis yakin bahwa pengabdian kepada Tuhan tidaklah sia-sia. Allah yang akan menolong kita untuk menemukan bentuk pengabdian kita dalam kehidupan sehari-hari. Hidup tanpa pengabdian kepada Allah adalah hidup yang kosong.Ketika kita memahami arti pengabdian, maka kita pun akan mengerti bahwa Tuhan memanggil kita untuk mengabdikan hidup kepadaNya, melalui pekerjaan atau pelayanan kepada masyarakat. Tuhan memanggil kita untuk melakukan pekerjaan baik
Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya (Ef.2:10).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Aku Maniur Tobing mahasiswi FK-UKI Jakarta semester 8.Bersyukur ketika akhir semester dan hampir masuk dunia klinik,aku dikuatkan dengan artikel diatas. Wow!!!! Aku suka dan tertegur dengan kalimat tentang kepuasan sejati adalah bukan materi tapi PENGABDIAN PADA ALLAH. Aku bersyukur dikuatkan kalo sudah lulus nanti jangan menghitung-hitung berapa yang sudah dikeluarkan waktu kuliah.Tapi mau mengabdi dengan UTUH dan TAAT pada Allah agar akhirnya Indonesia merasakan KRISTUS melalui diri para kristen Medis.

Saran: Sering-sering saja memuat kesaksian dari dokter-dokter yang bertahan dalam Integritas dunia kerja.Gbu

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag