Tampilkan postingan dengan label Sharing. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sharing. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 November 2019

Rumah Sakit Ladang Misi yang Unik (Bagian 2-Akhir)

Digarami
Bagian kedua dari kesaksian kita adalah berbicara tentang Tuhan; menceritakan pada orang lain tentang Kabar Baik. Paulus menuliskan hal ini dengan jelas di dalam Roma 10:14. "Bagaimana mereka dapat percaya jikalau mereka tidak pernah mendengar?". Tentu saja tidak bijaksana untuk memberitakan Injil setiap kali kita berdialog dengan seorang pasien. Kita perlu melihat lebih dulu apa yang menjadi kebutuhannya dengan doa dan baru kemudian menginjili mereka. Bertanya  pada pasien apakah mereka memiliki iman dalam riwayat kehidupan sosialnya merupakan suatu cara yang efektif dan tidak mengancam untuk membuka pembicaraan mengenai Yesus. Pertanyaan mengenai iman menjadi sangat penting bagi banyak orang bila dihadapkan dengan penyakit dan kematian. Cara bertanya yang hati-hati dapat menarik masalah ini ke permukaan dan merincikannya.

Baru-baru ini, saya akhirnya berhasil mengerahkan semangat saya untuk bertanya mengenai iman mereka pada waktu mencatat riwayat kehidupan sosial seorang pasien. Tindakan saya ini membutuhkan banyak sekali doa, baik dari diri saya sendiri maupun dari orang lain, sebelum semuanya menjadi lebih mudah. Semuanya berjalan sangat baik, Saya teringat ketika pertama kali saya bertanya tentang hal tersebut. Saya harus bertanya pada seorang wanita miskin tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosialnya; hari apa ia biasa pergi, berapa kali dalam seminggu ia pergi ke suatu tempat, dan apa warna anjingnya; namun saya tetap tidak dapat masuk ke dalam pertanyaan inti. Lalu saya merasa bahwa Allah berbicara agar saya segera beralih pada pertanyaan: "Ehm, apakah Anda memiliki iman yang dapat menolong Anda dalam situasi seperti ini?". "Anda bilang apa?" jawab wanita itu. "Iman, agama, seperti Yesus," jawab saya dengan muka mulai memerah. Tapi kemudian kami sudah terlibat dalam percakapan yang luar biasa dan saya berterima kasih pada Tuhan karena saya diberi kekuatan untuk memulainya dan menyelesaikannya.

Setelah kita selesai menyaksikan tentang Kristus kepada pasien, maka akan lebih baik bila kita berdoa bersama mereka jika kita menginginkannya. Terakhir kali saya melakukan hal ini, saya menjadi sangat terkejut ketika mendapati tiga pasien wanita lain di seberang kami ikut berdoa bersama kami! Peristiwa ini menjadikan mereka orang Kristen dan pasien khusus ini menjadi sangat tertolong oleh pelayanan doa selama dalam masa perawatannya.


Raja yang Melayani
Kita telah berbicara kepada pasien dan telah berdoa bagi mereka. Saya akan menyelesaikan diskusi ini dengan mengatakan sesuatu tentang pelayanan. Setiap saya memikirkan masalah ini, saya selalu teringat akan kata-kata Yesus dalam Injil Matius; "Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani". "Bagaimana kita akan melayani pasien-pasien kita kita sama seperti yang telah Yesus lakukan?"

Kekurangan waktu merupakan salah satu musuh utama bagi seorang dokter muda. Jadi pertama-tama, cantumkan ini dalam kepala Anda - berilah waktu untuk orang lain. Berhentilah dari kesibukan atau rutinitas, meskipun hanya untuk beberapa detik. Tanyakan pada pasien Anda bagaimana keadaan mereka. Jadilah seperti Timotius dan perhatikanlah kesejahteraan mereka (Filipi 2:20). Sangat mudah untuk melihat seorang pasien dan proses penyakit yang sedang berlangsung daripada melihat seorang manusia yang diciptakan sesuai dengan rupa Allah.

Tidak lama setelah saya memulai pekerjaan saya di rumah sakit, saya mulai menemukan diri saya semakin terikat oleh tugas-tugas sehari-hari. Jika Anda adalah seorang perencana yang obsesif seperti saya, lembar kertas resep akan terlihat melambai-lambai di muka Anda dan siapa pun yang saat itu ingin berbicara dengan Anda pada saat Anda sedang mengerjakan sesuatu, pasti akan membuat Anda marah. Dulu saya selalu berkeliling melakukan pemeriksaan pasien dengan membawa catatan, mata yang selalu menunduk ke bawah dan pikiran yang hanya difokuskan pada misi saya ketika itu: berkeliling untuk memeriksa pasien. Sejenak kemudian, sikap ini benar-benar sangat membosankan saya, sehingga saya kembali kepada Alkitab.


"Bertanya pada pasien apakah mereka memiliki iman dalam riwayat kehidupan sosialnya merupakan suatu cara yang efektif dan tidak mengancam untuk membuka pembicaraan mengenai Yesus. Pertanyaan mengenai iman menjadi sangat penting bagi banyak orang bila dihadapkan dengan penyakit dan kematian."


Agenda Yesus sangat jelas. Lihat Lukas 5:31-32: "Aku tidak datang untuk memanggil orang benar tetapi orang yang berdosa untuk bertobat." Intrik-intrik yang ada di sekitar Yesus sedemikian hebatnya sehingga ia sering terganggu di dalam perjalanannya (cerita tentang wanita Kanaan dalam Matius 15"21-28 merupakan sebuah contoh yang baik). Pada kenyataannya, banyak dari pelayanan Yesus, seperti yang tertulis dalam Injil, dilaksanakan di tengah-tengah inrik.

Pelayanan di rumah sakit juga dapat berarti merubah tabel sistem hierarki medis yang telah berusia tua dan mapan. Yesus mengajarkan bahwa "siapa yang terdahulu akan menjadi yang terkemudian dan sebaliknya" (Matius 19:30). Sangat sering saya mendengar orang berkata bahwa dia tidak harus melakukan hal ini/itu karena hal itu bukan merupakan pekerjaannya atau karena mereka tidak dibayar untuk melakukan hal itu.

Juga sangat mudah bagi kita untuk menolak melakukan sesuatu bagi pasien karena hal itu merupakan 'pekerjaan perawat' atau mudah saja untuk membuat kekacauan dan mengharapkan staf kita untuk membersihkannya. Sebagai dokter Kristen jadilah beda, bantulah perawat jika Anda tidak sibuk, bersiap menyingsingkan lengan untuk membantu meskipun hal itu tidak tercantum dalam deskripsi kerja Anda. Ini akan menjadi kesaksian yang luar biasa mengenai kerendahan hati dan hamba Kristus.

Masa kerja sebagai dokter muda berakhir dalam waktu 3 bulan. Namun saya masih saja kagum dengan cara Tuhan yang luar biar biasa untuk menggunakan tenaga kesehatan Kristen yang kemampuannya serba terbatas untuk menjangkau pasien. Saya sungguh ingin memberikan semangat pada Anda yang telah memikirkan tentang sharing iman, untuk terus maju dan membuat lompatan besar. Saya akan tutup kesaksian ini dengan mengutip perkataan yang luar biasa dari seorang wanita Irlandia yang saya temui.

Ia hampir meninggal dan secara fisik kelihatan sangat mengerikan. Saat saya duduk di tepi tempat tidurnya dan menggenggam tanggannya, ia berpaling dan tersenyum pada saya. Wajahnya yang kurus dan matanya yang kuyu menjadi tidak berarti ketika saya melihat cahaya dan semangat di matanya. Secara otomatis, saya bertanya padanya apakah ia mengenal Yesus. "Oh ya, dokter, saya tahu," jawabnya. "Ia sedang duduk di tepi tempat tidurku di sebelah Anda." Wanita tua ini tahu bahwa ia akan berada bersama Tuhan. Sukacitanya tidak tertahankan. Pengalamannya melihat Yesus telah merubah hidupnya dan ia berpulang dengan sukacita.

Inilah yang membuat pelayanan penginjilan di rumah sakit begitu berharga.


________________________________________________________
Sumber: Sharing Christ with Patients, "Nucleus". Januari 2001, Liz Croton/Terjemahan dr. Renny Limarga
Dalam Majalah Samaritan Edisi I Tahun 2001

Rabu, 09 Oktober 2019

Rumah Sakit Ladang Misi yang Unik (Bagian 1)

Bulan-bulan pertama berada di sebuah rumah sakit besar di dalam kota seperti menyaksikan pertunjukan sulap dengan menggunakan bola yang licin. Saya tidak pernah tahu apa yang sedang mengintai di sudut ruangan dan benda apa lagi yang akan saya jatuhkan selanjutnya.

Sebagai seorang Kristen, pemeliharaan iman merupakan hal yang sangat penting bagi saya. Tapi pada hari pertama saya dipertemukan dengan seorang senior yang menyatakan bahwa ia adalah seorang atheis, dan yang kedua, ia akan mengubah saya.

Keadaan ini mengingatkan saya pada seorang teman gereja yang berlatar belakang seorang perawat. Suatu kali ia pernah berkata bahwa ia tertantang untuk memikirkan sebuah tempat yang memiliki banyak keanekaragaman di dalamnya. Suatu tempat dimana terdapat begitu banyak orang dengan berbagai latar belakang, dan semuanya memiliki kepentingan yang berbeda. Masing-masing tidak dapat saling menolong, tetapi satu sama lain dihadapkan dengan berbagai macam karakter yang pernah ditemui Yesus selama selama pelayanan-Nya di dunia. Legion, iblis yang menguasai manusia (Lukas 8:27-33); wanita yang mengalami pendarahan (Lukas 8:42-48); orang lumpuh yang diturunkan melalui atap rumah (Lukas 5:17-20) dan tentunya si orang lumpuh dari Bethesda (Yohanes 5:1-15).

Yesus membuat kehidupan individu-individu tersebut berbalik. Satu menit yang lalu mereka masih dalam keadaan sakit dan tiba-tiba mereka telah disembuhkan. Bahkan mereka tidak perlu kembali lagi untuk perjanjian kontrol lanjutan. Sembuh dari penyakit yang tak dapat disembuhkan atau dari penyakit yang kronis, bukanlah merupakan masalah bagi Pencipta alam semesta ini.

Jika kita meninjau kembali ke belakang, yakni pada awal dari penginjilan, maka kita akan menemui Yohanes Pembabtis. Ia adalah pembuka jalan bagi Yesus, orang yang memberitakan tentang kedatangan-Nya. Apakah ia menggunakan papan reklame besar untuk mengiklankan keajaiban Yesus? "Keajaiban gratis - mari sembuhkan diri Anda". Tentu saja tidak... kata-katanya sangat sederhana: "Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat." (Matius 3:2). Ini merupakan kunci pesan Yesus, ditetapkannya Perjanjian Baru, pengampunan dosa melalui pengorbanan Yesus bagi kita di Kalvari. Inilah Kabar Baik yang sejati dari Penginjilan.


Penggambaran Peran
Mari kita terbang sejenak ke abad 21. Anda mengambil peran utama. Anda sedang duduk di ruangan A & E (Accident & Emergency) dengan kopi yang sudah mulai dingin. Anda masih harus memeriksa 8 orang pasien lagi. Di hadapan Anda duduk seorang wanita setengah baya. Ia menderita infeksi paru-paru, terlalu banyak merokok dan seorang ahli sejarah yang miskin.

Pada saat Anda sudah hampir tiba pada batas kesabaran Anda, karena mendengarkan ceritanya yang panjang, tiba-tiba ia mencucurkan air mata sambil bercerita bahwa ia tidak mempunyai harapan lagi untuk masa depan. Anda merasa kasihan dan menambah 20 menit lagi untuk konsultasi. Apa yang Anda katakan? Bukankah lebih mudah untuk menggumam "jangan kuatir", dan mulai memberikan ia ofloxacin 400 mg lalu bergegas meninggalkannya?

Apa yang pernah Yesus lakukan? Sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk menjadi serupa dengan Dia (Efesus 5:1). Yesus sendiri tidak asing lagi berhubungan dengan masalah sosial. Perjumpaan-Nya dengan wanita di sebuah sumur dalam Yohanes 4 menunjukan perhatian-Nya. Dia 'berhubungan' dengan 'pasien-Nya' dengan penuh rasa kasih dan ketulusan hati, menyembuhkan mereka bilamana perlu, namun selalu membangkitkan rasa keingintahuan mereka tentang Bapa (Yohanes 4:13-15, 21-24). Yesus pasti sudah akan menemui wanita di dalam ruang A & E tersebut dan mengasihinya. Dengan tidak mementingkan diri sendiri Ia akan mendengarkan tentang kekuatiran wanita tersebut dan menceritakan pada-Nya tentang Kabar Baik.


Hari Demi Hari
Jika saya mau jujur, menceritakan Kristus kepada pasien merupakan satu hal yang paling sulit saya lakukan. Saya merasa sangat sulit untuk 'mengklinisikan' Allah, untuk melihat Dia diantara tugas-tugas harian saya yang rumit yang harus saya jalani. Saya juga merasa takut, sama seperti ketakutan yang mungkin juga Anda alami. Bagaimana jika saya menyinggung perasaannya? Bagaimana jika seorang pasien yang saya 'layani' memutuskan untuk menceritakan Kabar Baik tersebut pada konsultan saya pada pagi berikutnya?

Kita telah melihat dari contoh-contoh di atas bahwa Allah kita merasa hal ini sangat penting dan di dalamnya ada dorongan yang luar biasa. Paulus juga menunjukan imannya dengan cara memberitakan Perjanjian Baru tanpa mengenal waktu. Aktif menceritakan iman kita mungkin tampaknya mengerikan, namun pada saat yang sama juga membuat kita merasa dihargai: 'Dan aku berdoa agar persekutuanmu dalam iman turut mengerjakan pengetahuan akan yang baik di antara kita untuk Kristus (Filemon 1:16). Jadi, kita tidak mempunyai alasan untuk takut. Allah sudah berjanji pada kita, bahwa Ia akan memberi kekuatan dan meneguhkan kita dalam pekerjaan kita dalam nama-Nya (Yesaya 41:10).


Doa Mengubah Segalanya
Menceritakan iman kita merupakan suatu bagian integral dalam perjalanan kita bersama Allah. Kita tahu bahwa rumah sakit merupakan ladang misi yang unik, namun dari mana kita akan memulainya? Pertama-tama kita harus berdoa. Komit untuk menyerahkan hari itu bagi Tuhan dan membiarkan Ia membawa Anda pada pasien-pasien yang diperuntukkan bagi Anda.

Saya teringat bahwa saya pernah dibimbing oleh Roh Kudus kepada seorang peminum alkohol dengan DTs. Saya bertanya padanya, apakah ia memiliki iman yang akan menolongnya pada situasi seperti ini atau apakah ia tidak yakin akan adanya iman (suatu awal pembicaraan yang sangat baik dan suatu tindakan yang baik untuk meneruskannya!).

Ia membuka hatinya tentang kerinduannya untuk kembali bersekutu dengan Tuhan. Saya menawarkan diri untuk berdoa baginya dan ia menerima Yesus ke dalam hatinya. Pada saat terakhir saya menyadari bahwa ada seorang suster sedang menatap tajam dan ada pula wanita tua uang berada di ruang sebelah sedang dengan dengan kalut menyesuaikan alat bantu dengarnya supaya dapat mendengar dengan lebih baik.

Bagi dokter yang sibuk, waktu adalah salah satu halangan terbesar untuk berdoa. Kebanyakan doa-doa saya dilakukan dengan berbisik pada saat saya sedang berjuang dengan sungguh-sungguh membuat catatan, berjalan ke sana-ke mari dalam antrian makan malam, atau pada saat sedang menunggu jawaban telepon. Tapi biasanya kita berputar-putar di sekitar pernyataan "Tuhan, tunjukanlah pada saya siapakah yang harus saya hampiri hari ini". Meskipun demikian, Tuhan adalah setia dan dengan lembut Ia akan menguatkan usaha kita yang lemah dan berbuat lebih banyak lagi bagi mereka, lebih daripada yang pernah kita bayangkan (Efesus 3:20).



"Anak Manusia datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani". Bagaimana kita akan melayani pasien-pasien kita sama seperti yang telah Yesus lakukan?


Bersambung (Part 2-akhir) : Digarami, Raja yang Melayani...
________________________________________________________
Sumber: Sharing Christ with Patients, "Nucleus". Januari 2001, Liz Croton/Terjemahan dr. Renny Limarga
Dalam Majalah Samaritan Edisi I Tahun 2001

Rabu, 18 September 2019

KAMP MEDIS NASIONAL ALUMNI, BUKAN HANYA

By: dr. Benyamin Sihombing*



Kamp Medis Nasional Alumni (KMdNA) tahun 2019 merupakan Kamp yang ke-12 yang sudah “berusia” 24 tahun sejak kamp sejenis dilaksanakan tahun 1995. Ini adalah sebuah kamp pembinaan sekaligus pengutusan dalam terminologi yang ada saat ini. Alumni yang datang dari berbagai tahun kelulusan, ada yang baru saja lulus (fresh graduate) dan ada juga yang sudah memasuki usia pensiun. Sangat beragam sehingga berbeda dalam kebutuhan pembinaannya dan berbeda kesiapan untuk diutus dalam misi. Sebagian alumni yang datang bukan sedang mencari tahu kemana dia bermisi, namun sedang menjalankan misi pengutusan ditempat dia berada saat ini. Walaupun sangat variatif kebutuhannya namun PMdN bersama panitia pelaksana sampai saat ini lumayan berhasil menemukan resep “makanan” pembinaan dan mengutus mereka kedunia atau bidang medis dimana Tuhan memanggil para alumni.

Namun bagi alumni yang mengikuti kamp medis alumni ini beberapa kali atau rutin, ada sesuatu tentang kamp ini yang lebih dari kamp pembinaan-pengutusan. Sebagai wadah pembinaan dan pengutusan, sudah pasti, tapi kalau ditanyakan apakah KMdNA adalah tentang itu saja? Sepertinya tidak, rasanya lebih dari itu. Mencoba merenungkannya dalam-dalam dan brainstorming dengan beberapa alumni, akhirnya menemukan keunikan kamp ini yang jarang diungkap secara lugas. Bagi alumni medis, kamp ini adalah wadah dan waktu yang tepat untuk “berhenti sejenak” dari segala pekerjaan dan pelayanan setelah 2 tahun. Tidak berarti bahwa alumni medis tidak pernah istirahat, tapi momen 2 tahunan ini merupakan saat tepat bagi mereka untuk benar-benar “diam dan diisi kembali (recharge)” oleh kebenaran Firman dan menikmati persahabatan rohani dalam keluarga anak-anak Tuhan. Kamp ini juga menjadi moment of reflection dimana alumni mempertanyakan dirinya ditengah tantangan dunia saat ini: “Dimana aku saat ini berdiri dalam misi Allah di dunia medis? Apakah aku bertumbuh dalam pelayanan dan persekutuan? Apakah semangat misiku masih tetap ada 2 tahun belakangan ini, 4 tahun atau 10 tahun belakangan ini?”. Banyak alumni medis yang sudah kehilangan semangat pelayanan, sadar bahwa Kamp ini bisa menjadi sarana untuk mengembalikan mereka ke trek yang benar. Banyak kesaksian alumni medis yang merasakan Tuhan mengembalikannya kepada semangat pelayanan seperti masa di Kampus dulu setelah mengikuti kamp ini.

Kamp ini juga adalah wadah persekutuan 150-200 anak-anak Tuhan dari berbagai daerah, jumlah rata-rata peserta KMdNA. Persekutuan bukan saja dalam pengertian sekedar kumpulan orang, tapi kumpulan anak Tuhan yang berinteraksi dalam kasih, saling berbagi hidup dan menerima, saling mendukung, menguatkan dan memberi jalan. Banyak kelompok sharing alumni yang diawali saat Kamp, berlanjut dengan aksi pelayanan/misi pasca kamp. Kamp menjadi tempat untuk membangun jaringan pelayanan dan kehidupan profesi. Banyak alumni-alumni muda yang masih bingung pimpinan Tuhan dalam bidang profesi medis akhirnya menemukannya dalam kamp ini; bukan hanya dalam bentuk nasihat tapi juga jalan untuk langsung berkarir di dunia profesi yang digumulkan.

Cukup banyak juga alumni yang khusus mencari momen sharing pribadi dengan senior yang dirasanya tepat di Kamp ini. Kebutuhan-kebutuhan khusus yang tak bisa terpenuhi dalam sesi-sesi, akhirnya terpenuhi lewat sharing one to one. Disinilah persekutuan yang saling membangun itu sungguh terasa dan disinilah alumni-alumni senior itu berperan besar dan selalu hadir walaupun kadang tidak mengisi acara sesi.

Kamp Medis Nasional Alumni adalah juga sebuah pesta rohani bagi alumni. Layaknya sebuah pesta,
banyak kegembiraan disana. Bertemu dengan teman pelayanan waktu masa di Kampus dulu, yang masih tetap semangat melayani, adalah kegembiraan besar. Senang, haru dan kadang tertawa terpingkal ketika ingat pengalaman melayani bersama masa lalu. Bertemu dengan teman peserta Kamp Medis mahasiswa atau alumni beberapa tahun sebelumnya, juga sesuatu sukacita besar. Kesemuanya ini menyemangati bahwa kita semua sedang berjalan dalam misi Allah untuk dunia dimana kita ditempatkannya. Tak ada persekutuan yang lebih indah daripada persekutuan anak-anak Tuhan yang secara bersama melakukan kehendakNya. Kamp ini adalah sebuah pesta bagi alumni peserta kamp dan juga bagi alumni panitia. Menyaksikan karya Tuhan dalam merancang sesi-sesi setiap kamp, mensinkronkannya dengan pembicara dan merelasikannya dengan kebutuhan pergumulan zaman dan alumni melahirkan kekaguman. Ada pembicara utama yang sudah menyatakan kesediaannya sebelum panitia Kamp terbentuk, namun ada juga pembicara yang dihubungi kurang lebih satu setengah bulan sebelum kamp berlangsung menggantikan pembicara utama yang sakit tiba-tiba. Namun alumni sama-sama terberkati lewat sesi-sesi yang mereka bawakan. Tangan Tuhan bekerja. Dia membuktikan diriNya yang memiliki pelayanan ini. Mengalami Tuhan menjawab keraguan panitia dalam hal dana kamp adalah kegembiraan, dalam hal pemenuhan kuota peserta adalah sukacita luar biasa. Kamp adalah pesta dimana doa-doa dijawab dan kegembiraan-kegembiraan itu dialami. Ini memang pesta.

Sulit untuk memasukkan Kamp ini kedalam “keranjang” yang ada, karena peran dan fungsi Kamp ini lebih besar dari terminologi yang ada saat ini; karena Kamp Medis Nasional Alumni ini adalah wadah
pembinaan, wadah pengutusan, sebuah rest area, wadah melakukan moment of reflection, recharge station, persekutuan besar, wadah networking dan tempat pesta rohani berlangsung. Kamp Medis Nasional Alumni adalah semuanya itu. Tuhan memberkati.

___________________________________________________
*Panitia Pengarah Kamp Medis Nasional Alumni (KMdNA) XII 2019

Senin, 12 Agustus 2019

Andai Hidup Tinggal Satu Hari

Kita sudah punya perencanaan hidup, kita juga ingin hidup berkualitas, tapi dalam pelaksanaannya ada benturan-benturan, yang membuat perencanaan itu hanya berhasil 30%, misalnya. Dalam kondisi seperti ini apa yang harus kita buat?
Dalam membuat perencanaan kadangkala kita terlalu ambisius, mengawang-awang di udara. Kalau dalam evaluasi ternyata kita tidak mencapai target, bukan di situ masalahnya. Bukan soal mencapai target atau tidak, tapi pelajaran apa yang kita dapatkan dari kegagalan kita? Firman Tuhan katakan, bila orang percaya jatuh, ia tidak akan sampai tergeletak, tapi akan bangun lagi. Apa kita mampu mendapat pelajaran dari kegagalan kita? Bila iya, maka kita akan mampu membuat rencana berikutnya dengan hikmat yang lebih realistis. Biasanya kalau saya mendapat pelajaran dari kegagalan, saya tulis, lalu saya sampaikan ke Tuhan, "Ini kegagalan saya". Yang perlu kita tahu juga adalah, bagaimana membuat perencanaan dalam keadaan yang tidak pasti. Misal, kita masih menunggu ujian negara, menunggu panggilan PTT, buatlah rencana strategis. Dalam rencana strategis ini, selalu ada yang namanya rencana emergency. Makanya kita buat rencana A dan rencana B. Artinya, harus ada rencana utama, tapi kalau kemudian rencana itu tidak dapat diimplementasikan, lakukan rencana B. Jangan tunggu dan melihat saja. Mungkin Saudara dapat melakukan studi lanjutan, atau kursus yang akan memperlengkapi Saudara. Sebelum rencana itu dapat dijalankan, isi dengan kegiatan yang masih dalam konteks misi yang kita pikirkan.
Tuhan banyak berbicara tentang tujuan hidup kita sebagai orang Kristen. Kita arahkan terus pada apa yang saya sebut JOY. J itu Jesus, O itu others, dan Y itu yourself. Joy itu juga berarti sukacita. Itulah yang menjadi pegangan rasul Paulus. Dalam hidupnya ia punya misi, pengabdian kepada Yesus. Jadi, sekalipun ia bekerja ia menjadikan pekerjaannya sebagai kesaksian bagi nama Yesus.
Yang juga harus kita rencanakan dalam hidup adalah apa yang bisa kita buat untuk orang lain, untuk masyarakat, untuk bangsa dan negara ini. Berbahagialah Saudara karena menjadi seorang dokter, karena Saudara begitu dekat dengan masyarakat, hidupmu dapat berguna bagi orang lain. Ini yang dimaksud dengan O, others.
Sekarang Y, yourself. Tujuan Tuhan juga memberi kita talenta, agar kita dapat mengembangkan diri menjadi seperti Yesus. Arahkanlah hidup pada ketiga poin ini: Membawa nama Kristus, berkarya untuk orang lain, dan kembangkanlah potensi diri. Tuhan yang mempunyai rencana seperti itu untuk kita menjadi sukacita.


Tapi bagaimana bila terjadi hal-hal yang di luar rencana kita, dan hal tersebut justru merusak rencana yang sudah kita buat?
Hidup ini memang banyak uncertain-nya, tapi kalau hiupnya terlalu banyak gangguan, perlu dipertanyakan apa yang salah dalam rencananya. Kalau sebuah rencana lebih banyak gangguannya daripada realisasinya, berarti rencana tersebut kurang memperhitungkan situasi dan kondisi yang ada. Kita kurang belajar berhikmat seperti Nehemia yang membuat perencanaan dengan melihat batasan situasi dan kondisinya. Dalam membuat perencanaan kita seharusnya tahu ada keadaan darurat yang bisa masuk. Kita harus terbuka akan hal ini.
Seperti sudah saya katakan, dalam membuat perencanaan kita buat rentang waktu lima tahun ke depan. Saya maju terus untuk rentang waktu lima tahun. Bila dalam evaluasi setahun ternyata ada gangguan-gangguan, rencana yang ada kita geser. Misalnya, saya punya rencana studi lanjut, sudah saya doakan, tapi ternyata sponsornya berhenti, ya rencananya saya revisi lagi. Tapi gangguan pada rencana jangan lebih dari 50%, kalau lebih dari itu, pasti ada sesuatu yang salah. Itu saja.


Begitu berhargakah mengelola hidup?
Bila kepada Anda dikatakan, bahwa kesempatan Anda hidup hanya tinggal satu hari lagi, apa yang ingin Anda lakukan? Mungkin ada yang langsung mengamankan uangnya di bank, atau membuat wasiat. Ada yang langsung sembahyang berjam-jam. Orang jadi bingung karena ternyata masih banyak yang mau dilakukan. Berapa banyak orang akan kebingungan dengan situasi seperti ini karena ia tidak tahu hal yang menjadi prioritas dalam hidup? Ia jalani hidup tanpa mengetahui mana yang prioritas, seakan dia bagian dari dunia ini yang berputar setiap harinya, bukan dia yang menentukan ke mana dia harus hidup. Ada banyak orang di dunia ini yang hidupnya diatur justru oleh situasi di luar dirinya. Dia tidak menentukan dirinya sendiri, tapi terbawa atau dibawa oleh orang lain. Hanya sedikit orang yang hidupnya diatur atau ditentukan oleh dirinya sendiri, biasanya ini adalah para pemimpin atau orang yang berpengaruh di dunia. Dia tahu kemana di pergi, dia tahu apa yang menjadi prioritas, dia tahu sasaran hidupnya. Dia hidup dalam satu lingkungan, tapi dia menjadi trendsetter ketimbang trendfollower. Dia bukan mengikuti orang, tapi dia yang mempengaruhi orang. Kenyakan orang, meskipun ia seorang sarjana, ia hanya mengikuti sesuatu.
Jika kita ingin menjadi dokter Kristen yang profesional, kita bukan menjadi trendfollower, tapi trendsetter. Bangsa ini mau terpuruk atau tidak tergantung kita, apakah mau berperang atau tidak, kita yang menentukan arahnya. Kita yang menentukan arah hidup kita dengan pimpinan Roh Kudus, kita berpegang pada firman Tuhan. Kita bukan mengikuti dunia, tapi mempengaruhi dunia.
Kembali pada pertanyaan, apa yang sebaiknya kita lakukan dalam usia yang tinggal satu jam atau satu minggu lagi? Kalau kita memang sudah mempunyai rencana strategis, kita tidak akan kebingungan. Saya akan tulis apa yang sudah saya lakukan, dan mengucap syukur kepada Tuhan. Seperti Rasul Paulus tulis dalam II Timotius 4. Ia mengatakan sudah tiba waktunya kuakhiri hidupku, saya sudah tahu hari depanku, saya sudah di garis finish. Kita pun tinggal mengatakan demikian, Kau tahu apa yang telah kuperbuat, terima kasih untuk kesempatan yang sudah Kau berikan. Biar Tuhan yang menilaiku.
Kalau kita memang sudah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidup, jangankan satu hari, satu jam pun bila Tuhan panggil, kita hanya mengucap syukur saja. Rasul Paulus tidak menganggap kematian sesuatu yang menyeramkan, tapi terminal untuk memasuki kehidupan yang indah.


_____________________________________________________
Sesi tanya-jawab Rully Simanjuntak dengan peserta retreat co ass pertengahan Juni 2002/LK/ICS
Dalam Majalah Samaritan Edisi 4 Tahun 2002

Jumat, 19 Juli 2019

Sharing Christ with Colleagues

Bagaimana kita dapat membangkitkan semangat untuk bersaksi di lingkungan kerja kita? Liz Croton, preregistration house officer di Birmingham, memberikan pedomannya.


Kita harus memiliki komitmen untuk berdoa bagi rumah sakit
di mana kita bekerja, dan bagi para kolega (rekan kerja) kita.

Ini mungkin situasi yang umum Anda alami: Anda tengah bekerja keras, dan terbiasa mengalami stress sebagai dokter muda di sebuah rumah sakit (RS) yang sibuk. Tempat Anda memiliki prospek yang cerah, dan Anda memiliki teman-teman yang baik.

Kemudian tepat pukul lima sore, Anda meletakkan stethoscope dan mulai mengambil Alkitab. Hadir dalam pertemuan kelompok PA adalah aktivitas Anda berikutnya. Dalam pekerjaan, Anda merupakan dokter yang sungguh berdedikasi, namun tak seorang pun dari rekan kerja Anda yang mengetahui dedikasi Anda. Karena Anda kerap merasa, lebih baik jika mereka melihat apa yang Anda lakukan dalam kegiatan di luar pekerjaan (ekstrakurikuler) yang Anda lakukan.

Padahal, membagikan (sharing) kehidupan kita pada kolega atau rekan sejawat merupakan keindahan yang tak terlukiskan dalam sepanjang hidup kita. Namun kita sering merasa takut akan reaksi mereka yang tampak heran mendengar ucapan kita, bahkan takut dengan olokan akan muncul di tengah-tengah pembicaraan tersebut. Sehingga, jika hal itu terjadi, berkat dan kebenaran Allah yang sedang kita sampaikan, akan berlalu begitu saja. Ketakutan itu, bisa jadi karena kita juga sulit melihat relevansi antara Firman Allah dan dunia profesi. Seperti ada hambatan ketika berhadapan dengan orang-orang yang sedang di puncak karirnya, yaitu mereka yang memiliki power dan kemampuan yang menimbulkan rasa segan bagi orang lain.

Namun demikian, apakah itu berarti bahwa kita tidak dapat bersaksi dalam situasi tersebut? Memang kultur di profesi medis sangat terbiasa dengan sikap kompromis (terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat). Beranikah kita tampil berbeda? Atau sebaliknya, kita keluar saja dari lingkungan kita dan menjalani "kehidupan pribadi" sebagai orang Kristen. Jika Yesus menghadapi situasi yang sama, apa yang akan Ia lakukan? Ia tetap terlibat di tengah-tengah komunitas di mana Ia tinggal.

Pelayanan Yesus selama di dunia sering bersentuhan dengan norma-norma dan kaidah sosial yang rusak pada saat itu. Dengan kata lain, Ia memerintahkan kita untuk melakukan hal yang sama. Kita memang bukan berasal dari dunia ini, tetapi kita dipanggil untuk bekerja di dunia ini (Yohanes 15:18). Mungkin kita tidak suka dengan pilihan ini, tetapi ingatlah bahwa kita bukan hidup untuk menyenangkan hati manusia melainkan Allah (Galatia 1:10).

Anugerah keselamatan yang diberikan Allah kepada kita adalah anugerah yang dinamis. Anugerah itu harus kita bagikan kepada orang-orang yang belum memilikinya. Kedatangan Tuhan Yesus mungkin tampaknya lambat, itu terjadi supaya sebanyak mungkin orang datang untuk mengenal Dia (2 Petrus 3:9). Pada masa ini Yesus mengutus kita untuk menjadikan seluruh bangsa murid-Nya. Kita tidak boleh menundanya.


Kuasa Roh Kudus
Jika kita melihat apa yang Tuhan perintahkan untuk kita, tampaknya perintah tersebut berlebihan. Bagaimana pun kita adalah manusia biasa. Namun kita patut bersyukur karena Allah mengaruniakan kita Roh Kudus yang melakukan pekerjaan baik dan yang menolong kita di dalam kelemahan kita (Roma 8:26), serta memampukan kita dalam melakukan pekerjaan pekabaran Injil.

Sama seperti para rasul, orang-orang Kristen adalah bau yang harum di antara mereka yang belum percaya (2 Korintus 2:14-16). Kita hidup dengan tujuan yang telah diperbaharui, yakni melayani Tuhan. Pada zaman para rasul, mereka pergi ke tempat-tempat yang tidak menjanjikan kelimpahan materi, setelah mengalami pencurahan Roh Kudus di hari Pentakosta di mana pada saat itu sekitar 3000 orang bertobat oleh pemberitaan Injil yang dilakukan oleh Petrus. Kita mungkin tidak melakukan tugas-tugas kita di rumah sakit dengan lidah berapi (simbol pencurahan Roh Kudus) di kelapa kita. Tetapi kita memiliki potensi dan kuasa untuk memenangkan orang-orang yang belum percaya bagi Kristus.


Jangan Malu untuk Bersaksi
Lalu, apa yang dapat kita lakukan? Bersaksi! 'Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus' (Roma 10:17). Ingatlah bahwa di tengah-tengah kita hidup orang-orang yang tidak menyembah Tuhan (atheis). Inilah saatnya bagi kita untuk memberikan kesaksian dengan memberitakan Injil kepada mereka.

Ketika Timotius masih dilatih dalam pelayanan, mentornya, yakni Rasul Paulus mendorong Timotius supaya tidak malu untuk menyaksikan tentang Tuhan (2 Timotius 1:8). Ini merupakan nasehat yang dari seorang yang tidak pernah sedikitpun malu dalam memberitakan Firman Allah. Keberanian Paulus berkotbah langsung tentang Injil berasal dari keyakinannya yang kokoh terhadap kekuatan Allah (Roma 1:16).

Saya sedih melihat pandangan umum mengenai Alkitab, yang menganggap bahwa Alkitab hanyalah bacaan/kisah kuno berisi cerita-cerita seperti yang terdapat dengan kemampuan dalam perubahan hidup dari sebuah pertunjukan opera sabun. Kita harus siap memberitakan kuasa Roh untuk mengubah konsep yang salah ini.

Membagikan Injil kepada kolega Anda, bisa dilakukan dalam situasi apa saja. Misalnya, pada waktu makan siang, dan lain-lain. Cukup banyak orang yang hidupnya kosong dan putus asa, yang tontonannya semacam MTV. Dari data statistik, 20 persen diantaranya adalah teman-teman sebaya Anda. Seorang pria bertanya kepada saya mengapa saya tidak menggunakan obat (drugs) seperti dia. "Oh, saya ke gereja tadi malam," jawab saya. Anda dapat memanfaatkan situasi ini untuk masuk dalam percakapan mengenai Injil. Atau kesempatan di mana Anda dan para pasien tengah berada di ruang tunggu. Ini merupakan kesempatan Anda untuk memperkenalkan diri Anda dan bercerita tentang Yesus.

Timotius diminta oleh Paulus untuk memberitakan firman Tuhan baik atau tidak baik waktunya (2 Tim. 4:2). Paulus tidak ragu ketika menghadapi reaksi yang negatif dari pendengarnya. Itu justru merupakan tantangan untuk berdiam diri dan menanti sampai tiba datangnya kesempatan yang lebih tepat untuk memberitakan Injil.

Kalau membaca kitab Kisah Para Rasul kita melihat bahwa mayoritas pendengar Paulus adalah orang-orang yang bengis dan beberapa di antaranya berkali-kali keluar-masuk penjara. Namun Paulus tetap bergembira memberitakan Injil, menurutnya itu lebih baik daripada menyimpannya (I Kor. 9:2). Semangat Paulus seharusnya menjadi semangat kita juga. Jangan terlalu memperdulikan masalah-masalah yang ada. Sebaliknya, biarlah kita bangga dan gembira menyatakan kuasa dari Allah yang kita layani.


Hormati Atasan Kita
Banyak para senior/ atasan yang mengalami problema ini. Yakni, berada di posisi yang sulit dan tidak dapat menjadi teladan bagi bawahannya. Apakah kita masih dapat bersikap respek terhadap mereka atau justru menjadikan mereka sebagai objek gunjingan dan fitnah?

Saya pribadi sering mengalami kekhilafan, misalnya terlalu berkeluh-kesah terhadap pekerjaan. Salah satu keluhan saya adalah rutinitas post clinic setiap pukul 04.30, dan itu kerap saya utarakan kepada setiap orang. Padahal, sesungguhnya tidak baik melibatkan kolega yang gemar mengeluh. Sebelum Anda menyadari dampaknya, Anda sudah tertular oleh kebiasaan buruknya.

Sebagai orang Kristen, kita memiliki kuasa untuk mengubah kebiasaan buruk dan kembali pada bentukan Allah. Namun demikian, seperti yang dikatakan oleh Rasul Petrus, kita harus tunduk kepada Allah kepada semua lembaga manusia (1 Pet. 2:13). Memang beberapa orang bisa lebih bertanggung jawab dalam pekerjaannya dari pada orang lain. Namun demikian, kita tetap harus tunduk kepada atasan kita dan kita punya alasan untuk melakukan hal ini lebih besar dari orang lain.

Mengapa kita perlu tunduk kepada atasan kita? Pertama. menolak otoritas orang-orang pilihan Allah berarti memberontak terhadap Dia. Kedua, kasih dan sikap hormat adalah tanda dari sifat Kristus, dan melalui 'pengesahan' itu, kita menunjukan referensi kita kepada Allah. Menghormati atasan kita merupakan kesaksian yang penuh kuasa efektif untuk membungkam perkataan-perkataan yang tak bermanfaat dari orang-orang yang bodoh (1 Pet. 2:13).


Pelayanan dan Doa
"Saya benci dengan pekerjaan administrasi", seorang kolega bercerita kepada saya suatu hari. Dia telah melakukan pekerjaan rutin seperti mengambil darah dari pasien-pasien dan menangani registrasi. Dia mati-matian ingin menjadi seorang SHO dan dapat membanggakan pekerjaannya tersebut kepada orang lain. Menurut saya, dia telah merancang hal-hal yang tidak lazim dan melakukan beberapa beberapa cara yang sulit dimengerti.

Memang pandangan umum mengatakan bahwa lebih menyenangkan bila dekat dengan pucuk pimpinan. Dia minta saya menyetujuinya. Namun kemudian saya menjelaskan bahwa sebagai orang Kristen, saya dipanggil untuk melayani. Mungkin dia berpikir saya gila, namun saya telah belajar bagaimana Kristus pun telah berkorban dan melayani manusia.

Jika Yesus sebagai Allah, rela merendahkan diri-Nya untuk melayani manusia berdosa, sebagai pengikut-Nya kita harus melakukan hal yang sama. Tentu saja dengan tidak bersungut-sungut (Fil. 2:14), meskipun tugas itu tampaknya rendah atau tidak adil bagi kita. Kita dipanggil ke tempat dimana orang-orang ditolak, dipanggil untuk membangkitkan orang-orang yang terjatuh, dan dipanggil untuk menguatkan orang-orang yang putus asa.

Di dalam melakukan kesaksian tersebut kita harus menghayati bahwa melalui persekutuan dengan penderitaan-Nya (Fil. 3:10) dunia harus tahu bahwa kita sebagai anak-anak Allah bercahaya seperti bintang-bintang di dunia (Fil. 2:15), dan sebagai saksi bagi Allah kita.

Akhir kata, kita harus memiliki komitmen untuk berdoa bagi rumah sakit dimana kita bekerja, dan bagi para kolega (rekan sekerja) kita. 'Bagaimana Aku tidak sayang kepada kota yang besar itu?' Tuhan berkata kepada nabi Yunus. Dia, tentu saja berbicara tentang Niniwe, kota yang penuh dengan orang-orang yang belum percaya. Dengan demikian, Ia pun peduli dengan orang-orang di lingkungan di mana kita bekerja.

Berulang kali dalam suratnya, Rasul Paulus mendorong kita untuk tetap berdoa (lih. 1 Tes. 5:17). Mengapa? Doa membawa dampak yang besar. Setelah peristiwa Pentakosta, Roh Allah memenuhi para rasul, sehingga mereka bertekad untuk berdoa bagi keberanian mereka dalam memberitakan firman Tuhan. Perilaku mereka pun dihormati orang banyak melalui kebangunan yang besar di seluruh Yerusalem (Kis. 2:42-47; 4:31).

Selama kita berdoa (bagi tempat kita bekerja) kita harus melihat berkat Allah yang turun dan anugerah-Nya mulai membuka hati orang-orang bagi Injil. Buatlah kelompok dan jam doa di tempat Anda, untuk berdoa bagi pekerjaan Allah disitu. Kami mempraktekannya dengan berdoa sambil menyusuri koridor RS pada suatu hari. Allah mulai membuka jalan bagi pemberitaan kami, di antaranya melalui penyebaran literatur-literatur Kristen yang membangkitkan rasa ingin tahu mereka.


Over to You
Bukti atau dampak yang nyata dari kesaksian kita kepada kolega kita adalah bahwa Kristus yang kita beritakan dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Kita harus menerima panggilan Allah, 'tenggelam' dalam Firman-Nya dan berani untuk berbeda dengan yang lain! Ada banyak orang yang tidak pernah mendengar Injil. Atau kalaupun ada, itu hanya sebagaian alternatif saja, yang bahkan kadang menganggap hal tersebut sebagai hal yang tidak relevan dengan kehidupan. Kita akan bergaul dengan banyak orang seperti ini di dalam perjalanan karir kita di dunia medis. Janganlah takut menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk menjadikan Allah kita dikenal oleh mereka.


_______________________________________________________________
Oleh Liz Croton (Nucleus, Juli 2000)/Erna M.
Dalam Majalah Samaritan Edisi 4 Tahun 2002

Senin, 01 April 2019

Profesiku, Panggilanku (Yesaya 6:1-13; 1 Korintus 7:17-24)

Mungkin di antara kita ada yang dibesarkan dengan konsep adanya piramida atau kelas-kelas dalam dunia pekerjaan. Ada pekerjaan yang lebih mulia bahkan paling mulia di antara jenis-jenis pekerjaan yang ada. Sebaliknya ada yang hina bahkan paling hina. Yang sering kita letakkan di urutan tertinggi adalah pendeta, penginjil, hamba Tuhan penuh waktu. Di urutan berikutnya mungkin itu guru SD (bukan dosen). Ketiga, keempat, dan seterusnya. Benarkah ada piramida dan kelas-kelas dalam dunia pekerjaan? Apakah sesungguhnya pekerjaan itu menurut Alkitab?


Melihat pada Yesaya

Di dalam suatu penglihatan nabi Yesaya mendengar suara Tuhan berkata: "Siapakah yang akan Kuutus dan siapakah yang mau pergi untuk Aku (Kami)?
Maka sahutku: "Ini aku, utuslah Aku!" (Yes 6:8).

Konteks ayat ini adalah ketika tahun matinya raja Uzia. Uzia adalah raja yang baik dan melakukan apa yang benar di mata Allah. Akan tetapi ketika posisinya mulai kuat ia menjadi sombong. Allah menghukumnya dengan penyakit kusta sehingga ia harus turun takhta ketika masih hidup. Uzia digantikan oleh Yotam, anaknya. Ketika itu Yotam berusia 25 tahun. Yotam memerintah selama 16 tahun jauh lebih singkat dibanding masa pemerintahan Uzia.

Kemudian Ahas menggantikan Yotam. Ia hidup tidak sesuai dengan kehendak Allah tetapi menurut kelakukan raja-raja Israel. Ia membuat patung-patung untuk Baal, bahkan membakar anaknya sendiri sebagai korban dalam api sesuai perbuatan keji bangsa-bangsa Kanaan. Kemungkinan besar penglihatan Yesaya ini pada zaman Ahas atau paling tidak masa peralihan dari zaman Yotam - yang hidup dalam kebenaran Tuhan - ke zaman Ahas yang membelakangi Tuhan dan kebenaran-Nya dengan sengaja. Di dalam pengliuhatan yang Yesaya terima ditampakkan gambaran kekudusan Allah. Kekudusan itu sangat dahsyat dan menggetarkan: "Maka bergoyanglah alas ambang pintu disebabkan suara orang yang berseru: Kudus, kudus, kuduslah TUHAN."

Di sisi lain dari gambaran kekudusan Allah kesadaran Yesaya akan dirinya yang najis. "Celakalah aku sebab aku ini najis bibir!" Ya pengenalan akan Allah secara benar akan mengakibatkan pengenalan diri yang benar dan radikal: "Aku orang berdosa." Bahkan lebih jauh, juga mengakibatkan pengenalan lingkungan: "Aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir." Pengenalan diri dan lingkungan secara benar membawa Yesaya pada satu kesimpulan: "Aku tidak layak menghampiri-Mu bahkan memandang Engkau saja aku seharusnya telah mati (Yes 6:5)."

Tetapi respon TUHAN sungguh sangat berbeda dengan kekuatiran Yesaya. Pertobatan Yesaya menjadi momentum penyuciannya. Setelah itu Allah menyatakan panggilan-Nya kepada Yesaya. Dalam perikop ini dengan jelas Allah memberitahukan misi-Nya yang akan dikerjakan oleh Yesaya. Sepintas kita mendapati aneh sekali misi tersebut. Sebuah misi yang merupakan penghukuman atas Israel. "Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup." (Yes 6:10). Penghayatan akan visi, misi dan relevansi panggilan Allah atas diri Yesaya dengan kondisi riil lingkungannya membangkitkan kesadaran penuh yang tidak lain adalah hancurnya hati hamba Allah: "Sampai berapa lama, ya TUHAN?" (Yes 6:11).

Seruan Yesaya itu adalah sebuah ratapan. Bukan meratapi nasibnya yang seakan-akan disuruh melakukan hal yang "gagal" tetapi meratapi bangsanya yang akan menerima hukuman Allah yang sangat dahsyat. Tidak ada hukuman yang lebih besar dari Allah dibandingkan dikeraskannya hati seseorang atau sebuah bangsa. Bencana alam, kecelakaan, sakit bukanlah hukuman yang paling berat karena semua itu adalah hal yang nyata. Biasanya dengan cepat itu bisa menyadarkan kita lalu berbalik kepada Allah.


"Hidup kita di mata Allah tidak ditentukan oleh hari tetapi arti"



Mempelajari "Panggilan"
Dalam perikop ini kita mempelajari hal yang penting berkaitan dengan syarat "panggilan". Syarat yang dituntut Tuhan dari manusia sebelum Ia menyatakan panggilan-Nya adalah adanya pengenalan akan Allah yang secara serentak membuat kita mengenal diri sendiri dan lingkungan kita. Dan kedua, penyucian dosa di dalam kehidupan kita.

Bagi orang Kristen panggilan dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama panggilan umum (general calling) yaitu menjadi murid Kristus untuk menghidupi sebuah kehidupan baru dan menikmati semua berkat yang telah Allah berikan di dalam Yesus Kristus. Dengan kata lain panggilan umum bagi setiap orang Kristen adalah panggilan menyerupai Kristus.

Yang kedua adalah panggilan khusus. Untuk membahas ini lebih lanjut mari kita membaca 1 Kor 7:17-24. Kata "keadaan" di ayat 17,20,24 secara harfiah dapat kita terjemahkan "panggilan". Dengan kata lain kita dapat menerjemahkannya demikian: "hendaklah tiap-tiap orang tetap hidup/tinggal dalam panggilannya seperti pada waktu ia dipanggil Allah." Frase "dipanggil Allah" menunjuk pada titik waktu di mana seseorang bertobat. Yang menjadi fokus kita adalah "panggilan".

Panggilan disini menunjuk pada keadaan kita pada waktu pertobatan kita. Dalam bagian ini Paulus memberi 3 contoh: menyangkut status menikah atau tidak menikah, keadaan budaya kita: Yahudi atau non Yahudi (sunat dan tidak bersunat), keadaan sosial kita: budak atau orang merdeka. Mengapa Paulus menasehatkan mereka seperti itu? Ini tidak terlepas dari latar belakang jemaat Korintus. Orang-orang petobat baru menemukan hidup dalam Kristus adalah hidup yang memberi damai sejahtera dan berbeda secara radikal dari keadaan sebelumnya. Oleh karena itu mereka merasa segala hal yang berkaitan dengan kehidupan lama harus dihapuskan atau ditanggalkan.

Memang segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia lama harus ditanggalkan ketika hidup di dalam hidup yang baru. Tetapi segala sesuatu di sini adalah hal-hal yang merupakan dosa atau kebiasaan yang buruk. Karena itu menghambat pertumbuhan iman kita. Tetapi bukan segala sesuatu dalam arti harafiah.

Jika kita dipanggil Tuhan dan masuk dalam kehidupan baru ketika kita seorang mahasiswa kedokteran maka tinggallah di dalam panggilan sebagai mahasiswa kedokteran. Jangan kemudian segera berpaling menjadi mahasiswa teologi. Atau seorang dokter tinggallah di dalam profesi dokter dan tidak (selalu) berubah menjadi seorang penginjil atau pendeta.

Tetapi mengapa banyak orang gampang berpikir untuk segera meninggalkan pekerjaan yang mereka sedang geluti saat ini ketika mereka mendapat "panggilan" dari Tuhan? Bisa jadi karena konsep yang salah tentang pekerjaan atau bentuk dari panggilan itu. Ada yang berpikir bahwa panggilan tertinggi adalah menjadi hamba Tuhan penuh waktu. "Oleh karena itu jika saya telah mengalami kasih karunia Tuhan dan Kristus telah mati untuk saya maka bagaimana saya membalas cinta kasih Tuhan itu?" Mempersembahkan diri menjadi hamba Tuhan dalam arti menjadi penginjil atau pendeta?

Mempersembahkan diri menjadi hamba Tuhan adalah sangat baik dan memang seharusnya orang yang ditebus Yesus Kristus menjadi hamba-Nya. Itu otomatis secara de jure! Tetapi apakah menjadi hamba Tuhan seumur hidup bentuknya selalu menjadi penginjil, pendeta? Saya berkata dan lebih lagi Alkitab berkata: Tidak!

Dalam bahasa Inggris kata yang dipakai untuk pekerjaan adalah vocation (akar katanya bersal dari bahasa latin) yang berarti sama dengan calling (panggilan). Memang Paulus menasehati jemaat Korintus untuk tinggal dalam panggilan semula. Tetapi walaupun demikian kita tetap dapat terbuka pada kemungkinan bahwa Allah memanggil kita untuk berbeda ketika bertibat atau ketika kita sedang menjalani kehidupan baru kita di dalam Kristus. Yang Paulus tolak adalah tindakan yang tidak dipertimbangkan secara matang atau sembrono, di mana perubahan yang dilakukan hanya untuk perubahan tanpa alasan atau tujuan yang jelas. Atau melakukan sesuatu yang tidak berharga bagi Allah.

________________________________________________________________________________________
"Di tengah-tengah dunia medis yang tidak sedikit orang menjadikan uang dan popularitas menjadi orientasi, mari tampil sebagai insan medis yang berorientasi kepada Allah dan ketaatan mutlak kepada Firman-Nya."
_________________________________________________________________________________________

Pandangan Alkitab tentang panggilan khusus atau pekerjaan adalah kesetaraan. Semua pekerjaan adalah mulia di mata Allah. Karena jikalau ada panggilan khusus yang kurang mulia maka bisa jadi Allah yang memanggil tidak sempurna. Apa mungkin? Tetapi jangan-jangan ada yang bertanya bagaimana dengan pekerjaan sebagai pencuri, peminta-minta, pemeras, dsb. Tanggapan saya, apakah itu pekerjaan dan sebuah panggilan khusus? Tidak! Itu semua dan segala jenisnya pastilah bukan panggilan khusus. Itulah sebabnya Paulus menasehatkan jemaat di Tesalonika agar mereka bekerja dengan tangannya supaya dapat mencukupi kebutuhan sendiri bahkan membantu orang lain (2 Tesalonika 3:10-12).

Mengutip John Stott dalam bukunya Contemporary Christian ada prinsip penting yang harus kita ingat dalam memandang panggilan khusus atau pekerjaan, "Seluruh kehidupan kita adalah milik Allah dan salah satu bagiannya adalah panggilan khusus dari Allah atau pekerjaan, entah itu sebelum pertobatan kita atau diluar aktivitas keagamaan. Kita jangan membayangkan bahwa Allah pertama kali tertarik dalam segala kebiasaan keagamaan kita. Allah mengasihi kita bahkan Kristus telah mati bagi kita sebelum ketika kita masih berdosa." Berangkat dari kebenaran ini maka marilah kita menghidupi hidup yang diinspirasikan semangat dari Kolose 3:23: "Apapun yang kamu perbuat perbuatlah itu untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.


Menggumuli Secara Khusus
Apakah saat ini kita sudah mengetahui apa panggilan khusus Allah bagi diri kita? Jika belum mari ambil waktu untuk menggumuli secara khusus. Hidup kita sangat singkat dan hanya satu kali. Jangan sia-siakan itu. Hidup kita di mata Allah tidak ditentukan oleh hari tetapi arti. Tidak ditentukan oleh berapa banyak harta yang kita kumpulkan tetapi berapa banyak hidup yang terpecah bagi orang lain. Tidak ditentukan berapa banyak prestasi dan kesuksesan yang kita capai tetapi oleh kata Allah: "Baik sekali perbuatanmu hai hambaku yang baik dan setia." Di dalam jangka waktu hidup kita yang sangat singkat ini mari berlomba melakukan kehendak Allah, baik dalam panggilan umum kita: menyerupai Kristus maupun dalam panggilan khusus kita.

Sebagai insan medis (dan calon), sejauh mana Anda mengenali dan menghayati hal yang sedang Anda tekuni saat ini? Apakah yang mendorong Anda menekuninya? Mengejar status sosial, amanat orang tua, kekayaan, atau apa? Di manakah Tuhan dan bagaimana posisi-Nya ketika Anda sedang menjalaninya? Bagaimana dengan orang-orang yang Anda tolong, siapakah mereka bagi Anda? Beban yang membosankan atau mengganggu hidup Anda atau "sumber uang", atau....

Mari ambil waktu untuk merenungkan kembali apa yang Anda tekuni hingga saat ini. Firman Tuhan menjadi cermin untuk mengoreksi dan meneguhkan kita. Tuhan bertanya, "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Dunia medis adalah ladang dimana Allah memanggil anak-anak-Nya berkarya disana. Jika orang Israel di zaman nabi Yesaya dalam kondisi yang makmur dan "sejahtera" sehingga sangat sulit melihat Allah, hal yang sebaliknya di dunia medis. Anda berhadapan dengan orang-orang yang terkondisikan untuk menyadari keterbatasan diri mereka. Mungkin mereka sedang putus asa, frustasi, tertekan dengan keadaan fisik dan emosi mereka. Mereka butuh bantuan, perlu dilayani, butuh penghiburan, perlu dirawat. Dan yang lebih mendasar mereka butuh Tuhan di dalam hidup mereka. Adakah kesadaran ini menguasai Anda? Jika ya, jawablah panggilan kudus Allah: "Ini aku, utuslah aku!"

Konkritkan jawaban Anda melalui profesionalitas yang handal dan teruji. Profesional dalam pengetahuan, keterampilan, dedikasi, motivasi dan kejujuran. Di tengah-tengah dunia medis yang tidak sedikit orang menjadikan uang dan popularitas menjadi orientasi, mari tampil sebagai insan medis yang berorientasi kepada Allah dan ketaatan mutlak kepada Firman-Nya. Yang mewujud nyata di dalam profesionalisme insan medis Kristen.

Tidak ada konsep piramida dalam pandangan Alkitabiag tentang pekerjaan. Mengenali kehendak khusus Allah di dalam hidup kita dan menaati-Nya adalah rahasia menjalani hidup yang bermakna dan limpah (bukan materi dan popularitas). Karena kita tahu kita sedang berjalan di dalam ketaatan. Itu jalan yang benar. Tidak ada rasa minder tetapi bangga. Tidak ada rasa kuatir tetapi damai sejahtera. Tidak ada rasa bersalah tetapi sukacita. Bukan aku tetapi Allah tujuanku. Tuhan, profesiku adalah wujud ketaatanku kepada panggilan-Mu secara khusus bagiku. Inilah ibadahku.



__________________________________________________
Oleh: Fery Alexander Pasang
Dalam Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2002

Senin, 28 Januari 2019

Manusia Baru: Jasmani atau Rohani?

Buta itu susah. Tidak percaya? Coba seduh kopi atau teh. Dengan mata tertutup berjalanlah dari ruang tamu ke dapur. Di dapur dengan mata masih tertutup tuanglah air mendidih ke dalam gelas. Susah bukan? Ini masih di rumah. Bagaimana di luar rumah? Di Indonesia fasilitas umum kurang, jika tidak ingin dikatakan tidak, memberikan tempat dan perhatian terhadap orang buta. Jangankan orang buta, yang memakai kursi roda saja tidak mungkin dapat menikmati indahnya sore hari kecuali di rumah sakit. Jika di Indonesia fasilitas untuk pejalan kaki saja masih langka dapat dibayangkan betapa rendahnya perhatian kita terhadap orang buta. Suatu bangsa dikatakan maju dan beradap bukan hanya diukur dari kemajuan ekonominya. Di balik perhatian yang serius terhadap orang buta terdapat pemahaman kesamaan derajat dan hak antara yang buta dan yang celik. Selama masih terjadi diskriminasi terhadap orang buta maka dapat dikatakan bangsa tersebut masih memiliki pemahaman yang rendah akan hak dan martabat manusia. Ingatlah menjadi buta bukanlah pilihan seseorang. Jika orang Kristen ingin dikenal sebagai 'manusia baru' ia harus memperjuangkan fasilitas umum bagi orang buta.

Saya memiliki seorang teman yang buta. Ia beruntung karena tinggal di negara maju. Mengapa saya katakan beruntung? Setiap fasilitas umum yang dibangun pemerintah harus memperhatikan kepentingan pergerakan teman saya ini. Ia juga beruntung karena memiliki seekor anjing yang bertindak sebagai 'mata' baginya. Kira adalah nama anjing itu. Kira begitu terlatih sehingga tahu kapan harus menyeberang jalan. Dia akan berhenti ketika lampu menyala merah dan sabar menunggu hingga lampu berubah hijau. Anjing saja begitu patuh terhadap tertib lalu lintas yang dibangun manusia. Malu rasanya jika manusia harus belajar pada Kira soal disiplin. Ada lagi yang luar biasa. Ketika Kira dibawa ke persekutuan doa maka ia akan duduk tenang menanti persekutuan doa selesai. Tidak pernah ia mengganggu suasana persekutuan. Dengan hikmat ia duduk seolah menikmati suasana persekutuan. Saya tidak tahu apakah ini karena dia sudah dilatih atau ada faktor lain. Ringkasnya, teman saya ini dengan Kira dan fasilitas umum yang mendukung benar-benar mandiri. Ada yang lebih penting lagi.Teman saya ini adalah orang Kristen yang setia dan rajin mendoakan pekerjaan-pekerjaan Tuhan di belahan dunia lain. Buta tidak membatasinya untuk 'melihat' dunia ini sebagai tempat pelayanan.

Alkitab mencatat hidup seorang buta. Tepatnya dalam Yohanes 9. Jika kita membandingkan teman saya ini dengan orang buta dalam Yohanes 9. Jika kita membandingkan teman saya ini dengan orang buta dalam Yohanes 9, mungkin anda akan setuju bahwa keadaan dan situasi keduanya berbeda. Orang buta dalam Yohanes 9 ini tidak mandiri. Bagaimana tidak. Sepanjang hari ia hanya duduk meminta-minta. Ketergantungan pada orang lain sudah begitu melekat padanya sehingga ia mendapat 'label' sebagai peminta-minta (ayat 8). Masyarakat mengenalnya sebagai pengemis. Kita tentu maklum. Karena ia sudah buta sejak lahirnya dapat dibayangkan ia tidak pernah dilatih memiliki keahlian. Untuk hidup ia sangat bergantung pada belas kasihan orang lain. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain duduk dan meminta-minta. Keadaannya bertambah sulit karena minimnya fasilitas umum yang menolongnya untuk hidup sebagaimana manusia lainnya. Kita tidak diberi tahu apakah ia memiliki hewan peliharaan, anjing misalnya, yang bertindak sebagai 'mata' baginya. Jika kita bandingkan orang buta ini dengan teman saya, maka terlihat perbedaan yang sangat menyolok. Yang satu mandiri sedang yang lainnya tidak. 

Ada label lain yang melekat padanya selain sebagai peminta-minta. Ia orang berdosa. Persepsi umum masyarakat pada masa itu adalah ia buta karena dosa. Dosa dan penyakit tidak dapat dipisahkan. Itu pengertian masyarakat pada zaman itu. Apakah ia buta karena dosanya sendiri atau dosa orang tuanya? Ini perdebatan teologis. Murid-murid Yesus tertarik memperdebatkannya (ayat 2). Pertanyaan murid-murid kepada Tuhan Yesus memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka tidak memiliki rasa simpati kepada orang buta ini. Mereka hanya tertarik perdebatan teologis soal dosanya ketimbang orangnya. Tetapi jawaban Tuhan Yesus sangat mengejutkan. Yesus menepis debat teologis pada murid. Yesus mengatakan bahwa melalui orang buta ini karya Allah akan dinyatakan. Tuhan Yesus lebih memperhatikan orangnya ketimbang label-label yang melekat padanya. Tuhan Yesus, dengan satu perbuatan yang mengejutkan, mencelikkan orang buta ini. Adukan tanah yang dioleskan pada mata orang buta diperintahkan untuk dibersihkan di kolam Siloam. Kita tidak tahu berapa jauhnya jarak ke kolam Siloam dan bagaimana orang buta ini menemukan kolam Siloam. Dan orang buta itu juga tidak bertanya mengapa harus ke kolam Siloam. Anehnya, orang buta ini patuh. Ia mencuci di kolam Siloam dan...ia melihat. Kita tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya ketika pertama sekali melihat matahari, melihat manusia, melihat laki-laki, melihat perempuan, melihat anak-anak, melihat orang yang tua, melihat rumah-rumah di Yerusalem. Apakah ia begitu terpesona melihat dunia ini sehingga ia lupa berterima kasih kepada Tuhan Yesus? Kita tidak tahu mengapa ia tidak kembali kepada Tuhan Yesus. Sedikitnnya sebagai orang Timur yang baik ia harus berterima kasih. Apakah hal ini menunjukan bahwa menerima kesembuhan ilahi bukan merupakan jaminan untuk percaya kepada Tuhan Yesus? Nampaknya tidak salah jika jawabannya adalah 'ya'.

Orang buta yang celik, tanpa menghiraukan Tuhan Yesus, segera kembali ke rumahnya. Kita tidak diberi tahu bagaimana ia tahu rumah yang tidak pernah dilihatnya adalah yang benar. Hal ini dianggap tidak penting sehingga tidak dicatat. Reaksi tetangga-tetangganya maupun teman-temannya dianggap lebih utama untuk menegaskan peristiwa ajaib ini. Mereka tidak percaya. Mustahil orang buta sejak lahir melihat kembali. Namun dengan tegas orang buta yang celik menepis keraguan-raguan mereka. Dahulu buta sekarang celik merupakan bukti yang terbantahkan. 

Tetangga-tetangganya dan teman-temannya bukannya merayakan peristiwa luar biasa yang telah dialami orang buta ini. Bukankah sebaiknya mereka mengadakan pesta syukuran untuk kesembuhan teman mereka yang sejak lahirnya buta? Lagi-lagi mereka lebih tertarik soal teologis ketimbang celiknya teman mereka. Bagi mereka tidak penting teman yang dahulu buta sekarang celik. Peristiwa celiknya teman buta ini terjadi pada hari Sabat. Ini merupakan persoalan teologis serius. Lebih serius dari celiknya teman mereka yang buta. Mereka membawa masalah ini kepada pemimpin-pemimpin agama Yahudi. Mengapa? Apakah mereka bermaksud agar pemimpin-pemimpin agama memutuskan agar ia tetap buta saja? Apakah mereka tidak siap melepas label-label yang telah ditempelkan pada orang buta ini? Apakah mereka tidak mau menerimanya? Apakah mereka ingin agar pemimpin-pemimpin agama menghukum orang yang menyembuhkannya? Apapun alasannya terlihat bahwa soal teologis dianggap lebih penting dari soal orang buta ini. Mereka tidak ubahnya seperti murid-murid Yesus.

Orang buta yang sejak lahir ini bukannya menerima suatu perayaan syukuran, malahan suatu 'pengadilan'. Ia harus diadili karena ia sekarang melihat. Namun saat diadili terjadi peristiwa yang tidak terduga. Pengenalannya terhadap Yesus yang menyembuhkannya semakin dalam. Mulanya ia hanya tahu nama yang menyembuhkannya, Yesus (ayat 11). Kemudian ketika berdebat dengan pemimpin-pemimpin agama ia sampai pada kesimpulan bahwa Yesus adalah nabi (ayat 17). Para pemimpin agama merasa perlu mengkonfirmasi orangtuanya apakah benar ia buta sejak lahir. Orang buta yang celik kemudian menegaskan bahwa Yesus bukan orang berdosa (ayat 25, 31) seperti yang dituduhkan pemimpin-pemimpin agama. Pada puncak perdebatannya dengan pemimpin-pemimpin agama dua pemahaman baru muncul. Pertama, Yesus yang menyembuhkan didengar Allah (ayat 31) dan, kedua, Yesus datang dari Allah (ayat 33). Pengadilan yang seharusnya memojokannya malahan menjadi sarana di mana pengenalannya akan Yesus semakin dalam. Dari hanya mengenal nama Yesus ia sampai kepada kesimpulan bahwa Yesus diutus Allah.

Tetapi ada yang lebih indah lagi. Sebagai akibat kekerasan hatinya mempertahankan pengenalannya akan Yesus, ia dibuang. Kita tidak tahu apakah ia dilemparkan keluar dari ruang pengadilan itu atau ia dikucilkan dari masyarakat atau diberhentikan keanggotaannya dari sinogage. Apapun yang terjadi ia tidak sendirian. Tuhan Yesus mencarinya. Meski ia dahulu tidak kembali kepada Tuhan Yesus setelah dicelikkan, namun Tuhan Yesus tidak melupakannya. Ketika berjumpa dengannya, Tuhan Yesus tidak menegur kealpaannya dahulu. Bahkan Tuhan Yesus mengundangnya untuk percaya kepada-Nya. Orang buta ini tanpa ragu segera memproklamirkan imannya dan menyembah Yesus (ayat 38). Iman membawa kepada penyembahan pada Yesus.

Lantas apa hubungan peristiwa celiknya orang buta sejak lahir dengan judul diatas? Ada beberapa hal yang terungkap jelas dari uraian diatas:

1. Menerima atau mengalami penyembuhan ilahi tidak selalu membawa seseorang kepada Tuhan Yesus. Sebaliknya, mengalami penyembuhan ilahi bukanlah merupakan bukti bahwa seseorang telah percaya kepada Yesus. Tidak penting apakah seseorang sempurna secara jasmani untuk datang kepada Tuhan Yesus. Lebih baik buta namun percaya pada Yesus dan mampu melihat seluruh dunia sebagai tempat pelayanan ketimbang celik dan menerima kesembuhan ilahi tetapi tidak percaya pada Yesus.

2. Menjadi manusia baru berarti percaya kepada Tuhan Yesus. Menjadi manusia baru bukan soal mengalami perubahan jasmaniah. Menjadi manusia baru adalah soal spiritual bukan soal menerima kesembuhan ilahi. Menjadi manusia baru berarti memiliki hubungan pribadi dengan Yesus. Hubungan dengan Yesus terungkap dalam bentuk penyembahan kepada-Nya. Ibadah kepada Yesus di tengah-tengah dunia ini merupakan bukti manusia baru.

3. Pertemuan dengan Tuhan Yesus akan mengundang pertanyaan dari tetangga-tetangga maupun dari masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut jawab. Dalam istilah yang kita kenal, hal ini disebut sebagai bersaksi. Ketika bersaksi bagi Yesus, ada akibat yang harus ditanggung. Namun Tuhan Yesus tidak pernah melupakan bahkan meninggalkan orang yang bersaksi bagi-Nya. 'Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, disitupun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa' (Yohanes 11:26). Mustahil seseorang mengatakan ia manusia baru dalam Kristus jika tidak bersaksi Yesus adalah Kristus.

Ringkasnya, manusia baru adalah manusia yang percaya kepada Tuhan Yesus dan bersaksi bagi-Nya. Ini lebih penting ketimbang menerima kesembuhan ilahi.



______________________________________________________
Oleh: Armand Barus - Puket I STT Cipanas
Dalam Majalah Samaritan Edisi III Tahun 2007


Senin, 19 November 2018

Buah Roh atau Buah Daging

          Seseorang mengirim surat kepada Dr. Morris Cerullo. Dia menyatakan bahwa, penyakit kataraknya telah sembuh tanpa operasi dokter, tetapi dengan menggunakan doa yang dikirimkan oleh penginjil tersebut.1

          Seorang arsitek dari Toronto memberi kesaksian dalam ibadah di gereja Airport Vineyard. Ia telah sembuh dari keretakan pada tulang punggung yang mengakibatkan dirinya sulit bergerak dan harus istirahat kerja selama 4 tahun, karena telah didoakan dalam ibadah tersebut pada tahun lalu.2

          Di Indonesia, ada juga orang yang sembuh dari sakit-penyakit setelah menerima Holy Laughter. Ruth, tidak pincang lagi. Dan Kenny, tidak sesak napas lagi.3 Namun, ada seorang hamba Tuhan yang mendoakan supaya kakeknya sadar dari koma dan sembuh dari penyakitnya. Tapi kakek itu tak sadar dari komanya sampai meninggal dunia. Tujuh tahun kemudian, ayahnya terserang kanker. Setiap hari dia berdoa supaya ayahnya sembuh. Tetapi kanker itu merengut nyawa ayah yang dikasihi dan telah menjadi anak Tuhan itu.4

          Sama-sama sakit dan sama-sama didoakan oleh orang Kristen, mengapa ada yang sembuh dan mengapa ada yang tidak sembuh? Apakah yang sembuh telah menerima kesembuhan ilahi dan yang tidak sembuh tidak mengalami kesembuhan ilahi? 


Derita Sakit-Penyakit

          Sebelum melihat tentang kesembuhan Ilahi, perlu kita mengerti, mengapa manusia menderita sakit-penyakit. Ada beberapa prinsip dalam pokok Alkitab yang menunjukan akar dan penyebab semua penderitaan manusia, termasuk penyakit dalam dunia ini. Dalam Kejadian 1:31 dinyatakan bahwa "... Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik." Secara total "baik" artinya tanpa penderitaan, tanpa kesakitan, tanpa kejahatan dan tanpa tragedi.5 Tetapi dalam Kejadian 3:16-17 disebutkan tentang akibat dosa yang telah dilakukan manusia. Dari sanalah muncul kesakitan dan kematian. 

          Akibat dosa, mempengaruhi tubuh.6 Pada saat manusia mulai makan dari pohon yang dilarang itu, ia menjadi makhluk yang akan mati. Pencemaran yang mematikan mulai bekerja seketika itu juga. Kesakitan dan derita yang akan dialami laki-laki maupun wanita, timbul dari pelanggaran mereka.7 Ini tidak berarti bahwa setiap penyakit merupakan akibat langsung perbuatan dosa seseorang (Ayub 1,2; Yohanes 9:3; 2 Korintus 12:7). Maksudnya adalah pada hakekatnya, penyakit fisik dan mental merupakan akibat dosa Adam. Kita manusia sebagai keturunannya mengalami akibat tersebut. Dan dampak dosa bagi lingkungan jelas berubah. Semula mereka berada dalam lingkungan yang pali indah dan sempurna, kini terpaksa tinggal di lingkungan yang ganas dan tidak sempurna.8

          Jadi, tidaklah mengherankan bila di dunia ini sama sekali tidak ada orang yang memiliki kesehatan yang sempurna. Hal ini berkaitan dengan jatuhnya manusia pertama ke dalam dosa.9


Tentang Kesembuhan Ilahi

          Kita mengerti sekarang, bahwa derita sakit-penyakit adalah karena dosa manusia. Tetapi Allah itu baik (Roma 8:28-29). Yang disebut kebaikan itu bukan berarti orang yang telah menjadi umat Allah bebas dari sakit-penyakit. Kebaikan itulah maksud Allah, yaitu supaya kita menjadi serupa dengan gambaran Tuhan Yesus Kristus.10 Hal senada juga dinyatakan oleh Witness Lee.11  Dan maksud itu mendapat prioritas di atas segala sesuatu dan Allah tidak akan membiarkan apa pun mengganggu pekerjaan-Nya yang besar itu di dalam kehidupan seorang Kristen. Berati penyembuhan dapat ditunda... bahkan tidak disembuhkan.12

          Allah telah menjelma menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. Dia mati di kayu salib untuk menanggung dosa manusia dan bilur-bilur-Nya menyembuhkan manusia yang percaya kepada-Nya (1 Petrus 2:24). Penyembuhan dari Juru Selamat itu terutama dalam bentuk rohani, bukan jasmani.13 Penyembuhan dari kematian. Kita dahulu mati karena dosa (Efesus 2:1), tetapi penderitaan kematian Kristus telah menyembuhkan kematian kita sehingga kita dapat hidup dalam kebangkitan-Nya.14 Manusia akan mengalami bukan saja kematian fisik, tetapi juga kematian kekal. Namun kematian Kristus membawa kepada kehidupan kekal.15

          Manusia akan bebas dari derita dan sakit-penyakit pada waktu Kristus datang kembali (1 Yohanes 3:2). Maut dan penyakit akan dilenyapkan dari umat percaya untuk selama-lamanya (Filipi 3:20-21). Itulah kehidupan kekal.

Memang, ketika bertugas di dunia Tuhan Yesus juga menyembuhkan sakit secara jasmani. Tapi seringkali Dia menyuruh orang untuk tidak menyiarkannya (Matius 8:8, Markus 5:43, 7:36). Ini karena Tuhan Yesus sendiri tidak menghendaki orang-orang menjadi percaya hanya dengan tujuan memperoleh tanda ajaib dan mujizat.16  Dan dalam peristiwa tanda-tanda dan mujizat yang dilakukan-Nya, pertobatan dan iman tidak selalu mengiringinya. Ada kalanya pertobatan dan iman terjadi tanpa adanya tanda-tanda dan mujizat.17

          Bila Allah menghendaki penyakit sembuh, Allah bermaksud supaya orang itu menjadi serupa dengan Kristus. Allah menyembuhkan bisa melalui karunia iman, karunia kesembuhan atau melalui cara-cara medis. Jika orang Kristen sakit ingin beriman untuk kesembuhan, ia harus pasti bahwa Allah telah memberi iman itu kepadanya. Jika tidak memilikinya ia harus mencari pertolongan dokter, pertolongan medis telah disediakan Allah.. obat-obatan dan dokter (seperti Lukas) juga dari Allah.18

          Ada contoh tragis. Hobert Freeman yang tinggal dekat Fort Wayne, Indiana; mengajarkan bahwa Allah menghendaki penyembuhan semua penyakit orang-orang percaya, tanpa jasa medis (memaksa Allah dengan kehendaknya sendiri). Akibatnya, lebih dari 50 anggota 19 gereja termasuk bayi-bayi meninggal karena menolak jasa medis.19

          Jika Allah menghendaki kesembuhan melalui karunia penyembuhan, perhatikanlah I Korintus 12:4-12. Roh yang memberi macam-macam karunia adalah untuk kepentingan bersama (ayat 7), bukan untuk kepentingan golongan maupun penginjil tertentu. Karunia-karunia itu menyinggung persekutuan dan karena itu harus dipakai untuk kesejahteraan persekutuan itu sebagai keseluruhan, supaya karunia itu membawa keharmonisan dan Roh Allah memegang kendali secara berdaulat.20  Jadi Allah tidak bisa didikte atau disuruh, dan manusia tidak bisa memaksa-Nya dengan bergulingan, rebah, melompat-lompat apalagi tertawa tanpa kendali.

          Apabila Allah menghendaki penyakit tidak disembuhkan, Allah juga bermaksud supaya si penderita menjadi semakin serupa dengan Kristus. Fanny Crosby seumur hidup buta, namun menulis beratus nyanyian rohani, telah memberi semangat dan menghibur orang-orang Kristen. Begitu juga Ken Medema yang buta, mengubah derita penyakit menjadi puji-pujian akan kemuliaan Allah. John Milton, yang meski buta mengarang buku Paradise Lost, yang memuliakan dan memuji kebesaran Allah. Para utusan Injil seperti, David Livingstone, William Carey, Amy Carmichael dan sebagainya. Mereka menderita sakit penyakit, tetapi mereka menjadi semakin serupa dengan Kristus.

          Seorang rasul besar; Paulus, memiliki duri dalam daging yang kalau dirasakan mengganggu pelayanannya. Tetapi dengan itu hidup Kristus makin nyata dalam hidup dan matinya (Filipi 1:20).


Buah Daging atau Buah Roh?

          Prinsip ajaran Gerakan Zaman Baru beranggapan bahwa, manusia dalam dirinya mempunyai potensi untuk mengolah tenaga batin dan tenaga alam untuk dirinya sendiri dan dalam usahanya menguasai keberuntungan dan kesehatan dirinya.21

          Jadi kesehatan dan keberuntungan merupakan hasil usahanya dan untuk kepentingannya sendiri. Cara mencapai usaha ya, memakai caranya sendiri. Sedangkan yang ditekankan dalam ajaran Word of Faith adalah sehat dan makmur yang dilihat dan diukur secara lahiriah. Hidup yang berkelimpahan materi dan kesehatan yang sempurna adalah tujuannya. Di luar ini bukanlah kehendak Allah.22

          Di samping itu, manusia adalah alah-alah kecil sehingga mereka menganggap diri mereka memiliki sifat keallahan yang ditunjukkan dengan "kesembuhan pelepasan... kemakmuran uang, mental... fisik dan kemakmuran keluarga.”23

          Kemudian Vineyard Fellowship dengan ajaran Signs and Wonders menekankan, bahwa iman yang berhasil dibuktikan dengan tanda-tanda dan mujizat, tidak beriman. Jadi, ajaran-ajaran itu mengajarkan orang untuk mencintai dunia dan dirinya sendiri dan tidak menekankan sikap hidup berkorban dan memperhatikan sesamanya.

          Rasul Paulus menasehati orang percaya di Filipi dan relevan untuk orang percaya masa kini, bahwa tujuan umat Allah hidup di dunia adalah untuk memberi buah (Filipi 1:21-22). Karena terbatasnya tempat, berikut ini penulis kutip buah Roh Pentakosta (dari Kisah Para Rasul) dalam buku Toronto Blessing karangan Ir. Herlianto, M.Th. Buah-buah itu adalah:

1. Keberanian para rasul untuk bersaksi dan berkorban demi pemberitaan firman Yesus (1:8; 2:14; 4:13).
2. Mereka memberitakan pertobatan, penebusan Kristus, kebangkitan kebangunan Mesias (2:21-24; 31-32; 38; 4:12) dan menTuhankan Yesus (2:36)
3. Pelayanan para rasul disertai kuasa dan mujizat; terjadi kebangunan rohani yang menghasilkan pertobatan dan perubahan hati.
4. Mereka hidup dalam kasih karunia yang melimpah, tetapi tidak diukur dan dilihat secara lahiriah (4:33).
5. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul (2:42).
6. Mereka hidup dalam persekutuan berjemaat, dibabtis dan perjamuan kasih (2:42).24

          Adalah kenyataan sepanjang sejarah umat manusia, mereka lebih terpikat akan sesuatu yang tidak biasa, dan sesuatu yang hebat.25 Begitu mendengar atau melihat sesuatu yang mengherankan dan lain dari yang lain, mereka mudah tergoda dan terpikat.

          Bila kesembuhan Ilahi adalah merupakan buah Roh, itu berasal dari Allah untuk membawa manusia menjadi serupa dengan Kristus. Kesembuhan itu bisa melalui karunia iman atau karunia menyembuhkan, juga melalui jasa medis serta obat-obatan. Dalam kesembuhan Ilahi, penderita masih bisa menderita sakit jasmani, karena yang terutama adalah sembuh secara rohani. Dan si penderita menang atas derita sakit penyakit dan hidup memuliakan Allah.

          Jadi, bagaimana orang yang sembuh karena hasil doa kiriman Dr. Morris Cerullo atau karena Holy Laughter, silahkan dinilai apakah kesembuhan itu merupakan buah Roh atau buah daging.



Sumber Acuan:

1. Bahana, Juni 1994, 70.
2.   "  , Mei 1995, 36.
3. Ibid.,  52.
4. Christianity Tiday, November 16, 1983.
5. Billy Graham, Hingga Harmagedon, 74.
6. Charles Ryrie, Teologi Dasar I, 294.
7. Thiesen, Teologi Sistematika, 281.
8. Ibid., 282.
9. Richard A. Sipley, Mengerti Kesembuhan Ilahi, 136.
10. Ibid., 105.
11. Witness Lee, Perjanjian Baru, 788.
12. Sipley, 106.
13. Graham, Roh Kudus, 258.
14. Lee, 1395.
15. Bibliotheca Sacra, January 1965, 50.
16. Herlianto, Toronto Blessing, 73.
17. Obid.
18. Graham, Roh..., 261.
19. Christianity Today, November 16, 1983; 13.
21. Herlianti, 76. 
22. Ibid., 32.
23. Ibid., 29.
24. Ibid., 30.
25. Graham, Roh ..., 256.
26. Herlianto, 76.


_____________________________________________
Buah Roh atau Buah Daging oleh Nanni. M. Priyono, S.Th
Dalam Majalah Samaritan Edisi 1 Tahun 1999.




Jumat, 10 Agustus 2018

Tuhan Mengingatkan Kita

          Kita bersyukur, setiap ada bencana, respon muncul dari berbagai pihak untuk segera bertindak. Baik pemerintah maupun lembaga-lembaga lain, tak ketinggalan warga yang bergerak spontan mengulurkan bantuan. Pakaian dan selimut, makanan dan obat-obatan segera dikumpulkan untuk selanjutnya dikirimkan bagi saudara dan saudari kita yang tengah berjuang menyelamatkan hidup.

          Gempa yang terjadi berkali-kali seharusnya menyadarkan kita bahwa Tanah Air tercinta ini berlokasi di tempat yang akrab dengan gempa dan berbagai bencana lain. Ini berarti, setelah gempa yang ke sekian kali terjadi lagi, reaksi terkejut dan kebingungan sudah tidak tepat lagi untuk menjadi reaksi kita. Sebaliknya, dengan kesadaran tentang kondisi tanah tempat kita berpijak serta pemahaman yang benar tentang gempa dan berbagai dampaknya, sudah waktunya kita bisa menangani bencana ini dengan lebih baik.

          Yang dimaksud dengan penanganan yang lebih baik tentu saja bukan semata soal penanggulangan masalah setelah masalah tersebut terjadi. Justru, yang perlu kita upayakan adalah meminimalkan masalah sebelum masalah itu benar-benar menghampiri kita (dalam hal gempa, dengan mengetahui bahwa lokasi negeri tercinta memang rawan gempa, yang bisa kita lakukan tentunya bukan meniadakan gempa melainkan mengatasi masalah yang ditimbulkannya). Dalam rangka berupaya ini, kita pun bisa belajar dari negara-negara, baik yang dekat maupun yang jauh, yang juga punya pengalaman yang sama dan yang telah lebih dulu menyadari situasi yang terjadi serta berupaya mengatasinya.

          Dengan cara pandang seperti di atas, kita bisa memahami gempa juga sebagai cara Tuhan mengingatkan kita untuk menggunakan dengan sebaik-baiknya akal-budi yang telah Ia anugerahkan dan percayakan pada kita (jadi, gempa bukan semata cara Tuhan mengingatkan kita tentang dosa-dosa kita!). Melalui gempa, Tuhan memberikan kepada kita informasi tentang kondisi tanah yang Ia percayakan pada kita untuk kita tempati. Meresponsnya, tentu saja, kita bisa menggerutui Tuhan karena di tanah rawan gempa seperti ini Ia mendirikan negeri kita tercinta. Sebaliknya, jika kita merespons dan menindaklanjuti informasi dari Tuhan tersebut dengan mendaya-gunakan akal-budi yang juga berasal dari Tuhan, dijamin kita akan dimampukan bukan saja untuk mengatasi masalah yang timbul akibat gempa, melainkan juga memanfaatkannya demi kebaikan yang sebesar-besarnya dan sebanyak-banyaknya. Sebab, bukankah, sebagaimana kita yakini ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi, Tuhan membuat segala-sesuatunya "baik"? Dengan kata lain, Tuhan tidak menciptakan bencana bagi kita. Jangan pernah lupakan hal ini!

          Cara pandang seperti inilah yang digemakan pula dalam Kitab Mazmur, yang pada salah satu bagiannya menyatakan demikian: "Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu. Janganlah seperti kuda atau bagal yang tidak berakal, yang kegarangannya harus dikendalikan dengan tali les dan kekang, kalau tidak, ia tidak akan mendekati engkau." (Mazmur 32:8-9)

          Tampaknya, ini berarti, sudah waktunya bagi kita untuk memperbaiki doa kita: Bukan lagi berdoa agar Tuhan tidak lagi "mengirimkan" gempa dan bencana lanjutannya pada kita, melainkan meminta Tuhan membantu kita mendaya-gunakan akal-budi pemberian-Nya, sehingga kita dijadikan bisa mengolah dan mengelola, bahkan, bencana yang seperti apa pun!


_____________________________________________________
/tnp, dalam Majalah Samaritan Edisi 4 Tahun 2009

Copyright 2007, Pelayanan Medis Nasional (PMdN) Perkantas

Jl. Pintu Air Raya 7, Komplek Mitra Pintu Air Blok C-5, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3522923, 3442463-4 Fax (021) 3522170
Twitter/IG : @MedisPerkantas
Download Majalah Samaritan Versi Digital : https://issuu.com/samaritanmag