SEJARAH DAN MUJIZAT (part 1)
Sejarah, menurut Encarta adalah "pada pengertiannya yang luas, totalitas dari semua kejadian masalalu," dan menurut Britannica "disiplin yang mempelajari rekaman kejadian secara kronologis (menyangkut negara dan manusia) berdasarkan pengujian kritis atas materi sumber dan biasanya menyajikan penjelasan atas penyebabnya," sedangkan Wikipedia menyebut "Sejarah adalah narasi dan penelitian kejadian masa lalu yang sinambung dan sistematis."
Secara singkat ketiganya bisa dirangkum menjadi "Sejarah adalah keseluruhan cerita tentang kejadian masalalu yang disusun secara sistematis, kronologis dan sinambung yang sumbernya diuji secara kritis dan diteliti untuk menjelasan penyebabnya." Ada empat hal kita lihat disini, yaitu: (1) totalitas kejadian (events); (2) materi sumber cerita; (3) penjelasan penyebab terjadinya kejadian tersebut; dan (4) sikap sejarahwan yang menguji dan meneliti.
Yang jelas, sejarah merupakan laporan totalitas kejadian (event). Sekalipun ada yang mempersempit kejadian yang hanya dilihat dari penyebab yang ‘empiris natural, sosiologis, dan kultural dengan hukum sebab-akibatnya,’ faktanya kejadian didunia ini mencakup totalitas realita yang tidak semuanya bisa dicakup dari sudut partial menurut kacamata modern yang terbatas ini.
Sejak awalnya sejarah mencakup totalitas yang sukar dibagi-bagi secara partial. Herodotus yang disebut sebagai ‘bapak sejarah’ dalam tulisannya tentang ‘Sejarah’ mengutip narasi yang ada yang mencakup legenda, ini terlihat dalam tulisannya mengenai ‘Perang Troya’ yang terkenal itu. Agaknya dalam penulisan sejarah kita tidak mungkin bisa memisahkan mana yang dianggap mitos dan mana yang bisa dianggap fakta empiris natural, soalnya baik yang mitos bisa mengandung kebenaran, sedangkan yang disebut empiris natural bisa saja mengandung ketidak-benaran. Sejarahwan Josephus dalam tulisannya juga menyebut mengenai Yesus yang melakukan mujizat, disalibkan dan bangkit pada hari ketiga.
Masa Rasionalisme membuka wawasan sejarah untuk lebih teliti memisahkan narasi yang faktual dan kebenaran pelapor/sejarawan, namun optimis rasionalisme itu kemudian mendorong ilmu sejarah kepada fanatisme modernisme seakan-akan hanya yang modern yang empiris natural yang bersifat sains dan benar dan yang diluar itu dianggap mitos yang tidak benar, namun Masa Informasi postmodern yang lebih dikenal sebagai ‘posmo’ tidak lagi mempercayai kemutlakan sains modern dan kembali terbuka kepada yang supra-natural dan mitologis. Encarta menyebut:
"Optimisme sebelumnya yang menjanjikan pengungkapan kedekatan akan kebenaran pada masa lalu digantikan oleh keyakinan bahwa tidak ada akumulasi fakta menjadi sejarah sebagai struktur yang jelas, dan tidak ada ahli sejarah, bagaimanapun bebas dari bias sekecilpun, dapat secara total netral dan perekam tidak berpribadi dari realitas obyektif." (History & Historiography) .
Sejarah bergantung dari dua hal penting, yaitu keterbukaan kita akan apa realita totalitas itu, dan netralitas dan kejujuran sipelapor / sejarawan yang merangkum laporan-laporan itu. Harus disadari bahwa acapkali sains modern terjerat konsep sempit tentang alam natural yang berdemensi tiga dengan hukum sebab-akibatnya dan mengabaikan totalitas realita tentang keberadaan yang mencakup dimensi supra alami. Memang sejak timbulnya rasionalisme yang menghasilkan ilmu pengetahuan alam dengan hukum-hukum alamnya dan memuncak dalam sekularisme yang hanya berorientasi pada yang ‘Saeculum’ (dunia ini), banyak orang terjerat konsep sempit yang menolak dan mengabaikan realita ‘Aeternum’ (eternal/kekal) . Manusia modern menolak segala hal yang disebut sebagai mujizat dan gejala supranatural/ paranormal, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil terjadi di alam ini, akibatnya semua hal-hal yang berbau mujizat dan supranatural/ paranormal yang dipercayai dalam semua agama, ditolak sebagai tidak pernah terjadi dan dianggap hanya sekedar termasuk ranah teologis yang non-sains.
Dalam teologi kita melihat perkembangan liberalisme yang terungkap dalam pemikiran beberapa orang. Para teolog era rasionalisme banyak terpengaruh liberalisme menolak mujizat dan gejala supranatural sebagai melawan hukum alam. Puncak pemikiran liberal yang menolak mujizat diwakili teolog sekuler Rudolf Bultmann. Istilah Demitologisasi dipopulerkan Rudolf Bultmann (1884-1976), menurutnya kitab Injil seharusnya dianalisis lebih lanjut dalam berbagai bentuk yang dibuat oleh gereja awal sebelum ditulis. Bentuk-bentuk ini tidak banyak menjelaskan kepada kita tentang apa yang sebenarnya dilakukan dan dikatakan Yesus, melainkan tentang 'apa yang dipercayai oleh gereja awal tentang Yesus'. Di tahun 1926 Bultmann menulis buku 'Jesus' dimana dikatakan bahwa yang penting bukan apa yang obyektip tentang Yesus, tetapi bahwa 'kebenaran itu akan timbul dalam tanggapan iman yang subyektip dari para pengikut.' Dalam era Bultman dikotomi ‘Yesus Iman’ dan ‘Yesus Sejarah’ menjadi jurang yang semakin dalam.
Dalam karyanya berjudul 'New Testament and Mythology' (1941) Bultmann mengemukakan bahwa seluruh pola pikir masa Perjanjian Baru terutama kosmologinya bersifat mitologi yang merupakan faham pra-ilmiah yang berasal dari faham Gnostik pra-Kristen (seperti misalnya soal surga-bumi-neraka, kekuatan spiritual, kekuatan supranatural yang menerobos alam nyata, dan perlunya manusia ditebus) (New Testament & Mythology, dalam ‘Karygma & Myth,’ hlm. 1 dst.). Mengenai Mitologi, tepatnya dikatakan:
"Seluruh konsep dunia yang dikemukakan dalam kotbah Yesus seperti yang dijumpai dalam Perjanjian Baru bersifat mitologis; yaitu: konsep mengenai dunia yang terdiri dari tiga lapis, surga, bumi dan neraka; konsep campur tangan kekuatan-kekuatan supranatural pada kejadian-kejadian di bumi; dan konsep mujizat terutama konsep mengenai campur tangan supra-natural dalam kehidupan dalam dari jiwa, konsep bahwa manusia dapat digoda dan dirusak oleh iblis dan roh-roh jahat" (Jesus Christ & Mythology, hlm.15)
Menurut Bultmann, konsep itu disebut mitologi karena berbeda dengan konsep dunia yang dibentuk dan dikembangkan oleh ilmu pengetahuan yang diterima orang modern. Menurutnya, dalam konsep dunia, hubungan sebab-akibat bersifat azasi. Yang sekarang dibutuhkan adalah 'demitologisasi kekristenan' yaitu 'melepaskan dan mengartikan kembali kenyataan sebenarnya lepas dari kerangka mitologi tersebut sehingga Injil dapat diberitakan dalam kemurniannya.' Dalam bukunya Bultmann juga mengatakan bahwa:
"... ucapan mitologis secara keseluruhan mengandung makna yang lebih dalam yang dikemas dalam bungkus mitologi. Bila demikian, tepatnya, kita membuang konsep mitologi karena kita ingin menemukan artinya yang lebih dalam. Cara penafsiran demikian yang berusaha mengungkap artinya yang lebih dalam dibalik konsep mitologi saya sebut sebagai demitologisasi ... Maksudnya bukannya untuk meniadakan pernyataan yang bersifat mitologis tetapi menafsirkannya kembali" (Jesus Christ & Mythology, hlm. 18).
Pada prinsipnya Kritik Historis dan studi tentang Yesus Sejarah dan Kitab Injil menunjukkan 'keraguan akan sifat sejarah kitab-kitab Injil, menolak hal-hal yang bersifat mujizat dan supranatural, dan menjadikan Yesus hanya sebagai tokoh moral atau politis saja,' dan lebih lanjut menurut Bultmann, tugas manusia adalah melepaskan manusia dari kerangka mitos yang tidak ilmiah itu (demitologisasi) atau melepaskan 'Yesus Sejarah' dari 'Yesus Iman.' Konsep de’mitologi’sasi yang dikemukakan oleh Bultmann sama dibandingkan istilah yang dengan tepat disebut de’mirakuli’sasi oleh Deshi Ramadhani dalam tulisannya ‘Historisasi Makam Kosong Yesus’ (Kompas, 5 Mei 2007). Benarkan alam semesta hanya terdiri dari realita alami yang berdemensi tiga? Mungkinkah ada realita lain yang belum terjangkau oleh ilmu pengetahuan alam masakini dengan hukum-hukum alam yang total dan mutakhir?
Menarik menyaksikan perkembangan budaya dunia dimana era modern (abad-17-20) yang sekular dan materialistis ternyata telah membuat manusia mengalami kekosongan batin, dan sejak era 1960-an kembali dunia mencari nilai supranatural dan transendental yang selama ini dibungkam rasionalisme. Era posmo (postmodern) ditandai kembalinya manusia membuka diri akan masalalu dan melongok ke agama-agama tradisional dan mistik. Masyarakat umum kembali membuka diri kepada yang paranormal yang menurut The Journal of Parapsychology (2006), diartikan sebagai:
"semua gejala yang dalam satu dan banyak hal melampaui batas apa yang secara fisik dianggap mungkin menurut perkiraan ilmu pengetahuan masakini".
Encarta memasukkan paranormal dalam kategori Psychical Research, yaitu penelitian ilmiah akan gejala yang terjadi tetapi berada diluar jangkauan teori fisika, biologi, maupun psikologi konvensional. Ensiklopedi Britannica menyebut paranormal sebagai gejala parapsikologi (PSI) yang menyangkut kejadian yang tidak dimengerti hukum alam atau ilmu pengetahuan biasa yang hanya terjangkau oleh pancaindera.
Pendekatan gejala supranatural/ paranormal melalui perspektif penelitian sulit, bukan karena gejala itu tidak benar, tetapi sulit dijelaskan menggunakan ukuran teori dan hukum yang ada. Karena itu gejala paranormal terjadi diluar konvensi yang normal. Apakah paranormal itu realita yang lain dari realita tiga dimensi yang bisa diamati dan dirasakan oleh kelima pancaindera manusia, ataukah paranormal bisa disebut bagian dari realita dimensi supra-natural yang lebih luas dari realita natural? Profesor Hans Bender, salah satu tokoh perintis penyelidikan psikik (psychic), mengemukakan bahwa ia menemukan banyak bukti bahwa dibalik realita alam nyata yang dapat kita hayati dengan pancaindera, ada realita yang lain. Menurutnya:
"Realita yang lain ini bukan supranatural, itu natural, tetapi kita belum bisa menjelaskannya secara penuh." (J.L. Collier, Sciece Probe the Mystery of P.K., Reader Digest, April 1974).
Sedini tahun 1882, di Inggeris sudah dibentuk Society of Psychical Research, dan salah satu tokohnya, J.B. Rhine (1895-1980), di tahun 1930-an mulai menggunakan pendekatan eksperimen untuk meneliti gejala-gejala yang termasuk paranormal atau psikik. Pada tahun 1957 dibentuklah Parapsychological Association yang kemudian berafiliasi dengan American Association for the Advancement of Science, jadi paranormal sudah masuk dalam hitungan sains!
Charles Fort (1874-1932) adalah kolektor anekdot paranormal yang mengumpulkan 40.000 gejala paranormal yang sukar untuk dijelaskan menurut hukum alam yang selama ini kita ketahui. Kejadian ganjil/aneh yang dikumpulkannya termasuk gejala poltergeist (roh ribut), jatuhnya katak/ikan/benda- benda dari langit dalam area yang luas, suara-suara dan ledakan yang tidak jelas penyebabnya, kehadiran api yang tiba-tiba, kondisi melayang, bola-bola api, UFO, penampakan yang misterius, roda cahaya di lautan, penampakan binatang diluar habitatnya, penampakan maupun menghilangnya manusia tanpa kejelasan, dll. Segitiga Bermuda menunjukkan gejala persinggungan alam natural dan material dengan alam supranatural/ paranormal. Justus Schifferes dalam tulisannya mengenai ‘science through the ages’ dalam abad-XX, mengemukakan bahwa:
"Nada ilmu pengetahuan pada abad-XIX bersifat positif dan materialistik; para ahli sains melepaskan ikatannya dengan filsafat yang bersifat spekulatip. Tetapi hari ini situasinya berubah secara drastis. Ahli ilmu pengetahuan modern tidak lagi berbicara secara final; ia tidak berharap mengungkap hukum-hukum yang tidak berubah. Ia mengedepankan kesimpulannya sebagai relatif, tentatif dan tidak tentu." (The Book of Popular Science, 1967, hlm.279).
Bersambung ke: Sejarah dan Mujizat (2).
Salam kasih dari Herlianto www.yabina.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar