JOHN FOTHERGILL
(1712 -
1780)
DOKTER KELUARGA YANG
MURAH HATI
“.Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan..”
(Matius 5 : 7)
Penemuan-penemuan
Fothergill tidak menempati ranking
pertama dalam dunia kedokteran. Namun
dunia kedokteran tidak bisa mengabaikannya karena filantropi, kasih sayang dan penentangannya
terhadap pertumpahan darah telah memberikannya sebuah nama belakang. Ia memiliki karakter yang agung. Ia mewakili figur seorang dokter sebagai
filantropis. Meskipun upaya-upaya
terbaiknya tersembunyi dari pandangan publik, filantropinya dikenal baik pada pandangannya yang
kontemporer dan memberikan suatu teladan yang begitu mengesankan bagi banyak
dokter lain. Bayaran yang dia terima
dari para pasien yang kaya ia persembahkan sebagian besar untuk amal. Seorang dokter keluarga, demikian ia dikenal
pada zamannya. Menurut para saksi mata,
ia tidak beristirahat bahkan pada saat ia mengadakan perjalanan liburannya.
Berikut penuturan para saksi mata yang menyatakan bahwa hal tersebut benar
adanya.
Kelelahan dengan kerja 16 jam per hari dan
menempuh perjalanan bermil-mil jarak untuk mengunjungi pasien, Dr. John
Fothergill menuju kampung halamannya untuk beristirahat selama dua bulan. Selama dalam perjalanan ia membuat catatan-catatan dan membalas surat-surat. Masih tiga hari lagi lamanya ia akan tiba di
Lea Hall, sebuah rumah pedesaan yang dibelinya sebagai sebuah tempat dimana ia
bisa sedikit terbebas dari kesibukan dan hiruk pikuk kota London yang begitu menyita
waktu dan perhatiannya. Kereta yang
ditumpanginya tiba di suatu pemberhentian. Para penumpang di sana naik dan
turun, tiba-tiba “...Dr.
Fothergill...Dr.Fothergill..” sebuah kepala muncul dari pintu penjemputan. Fothergill menoleh dan bertanya dalam hati, siapa
gerangan orang yang berani kurang sopan ini? “..Mohon saran Anda, Pak...” jelas
orang ini seorang apoteker yang sedang berusaha mendapatkan konsultasi gratis
dari seorang dokter paling terkenal di London. Dengan sopan John mendengar dan
menjawab pertanyaan orang ini. Setelah itu, John kembali memperhatikan
catatannya.
Sebelum ia sempat menulis satu kalimat, ia sudah
diganggu lagi...
“..Suatu kesempatan yang terbaik bagi saya untuk
bertemu Anda di saat seperti ini Dr.
Fothergill..” kata seorang wanita yang baru naik kereta tersebut untuk
perjalanan selanjutnya. Kemudian wanita
ini mengemukakan keluhan-keluhan yang selama ini mengganggunya di depan para
penumpang lain. Apa yang dilakukan dokter ini ? John meletakkan pena sebentar
dan kemudian memberikan tanggapannya,
“..Anda makan terlalu banyak daging dan makanan
berlemak..” ia mengingatkan, kemudian kembali menekuni tulisannya.
“..hmmpf...ia bahkan tidak memikirkan
jawabannya..” gerutu si wanita
Dengan cepat John Fothergill berpaling padanya,
dan dengan kebijaksanaan seorang ahli
yang berpengalaman ia tidak menanggapi wanita tersebut dengan mengatakan bahwa
ia sudah menghadapi banyak sekali kasus
seperti yang dialami wanita itu sehingga ia tidak butuh waktu banyak
untuk memberikan penilaian. Fothergill
kelihatannya agak ”kaku” dalam hal sisi kontemporernya, tetapi jelas ia seorang
yang bijak. Ia mulai lagi menulis beberapa pengamatannya mengenai
epidemik dari penyakit influensa yang waktu itu sedang melanda Inggris. Ia begitu ingin agar pemikiran-pemikirannya
mengenai hal ini dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Ia baru menulis selama 15 menit saat kereta
tiba di satu stasiun dan berhenti di sana. John Fothergill merenggangkan tubuh dan kakinya yang panjang. Di stasiun itu ada banyak sekali orang, pria
dan wanita yang berpakaian compang camping, dengan kuku-kuku mereka yang kotor
dan rusak karena kerja kasar.
“..Dr. Fothergill..!!!...Dr. Fothergill...!!!
terdengar sebuah suara berseru-seru...
“..tolonglah anak saya dokter...” masih terdengar
seruan lagi
“..dokter, tolong aku..” sahut seorang pria dengan
suara parau..
“..Demi Tuhan...kasihanilah...” terdengar lagi
suara lain...
John menarik napas panjang sedikit, tetapi ia
tidak ingin orang lain melihat kekagetannya. Dengan cepat ia menoleh ke petugas
kereta api dan berkata “.. turunkan tas-tas saya... saya akan naik kereta
berikutnya..”
Walaupun John seorang introvert, tetapi ia
mengasihi orang lain dengan belas kasihan sejati. Hatinya terharu dengan masyarakat desa yang
miskin ini, kaum pekerja Inggris yang bekerja sangat kerja untuk memperoleh
hasil yang sangat sedikit.
“..Bawakan sebuah meja...” katanya. Sambil duduk di belakang meja ia mulai memeriksa
penduduk-penduduk desa tersebut satu per satu.
Entah bagaimana, penduduk desa-desa ini tahu ia sedang mengadakan
perjalanan ke kampung halamannya, mereka berbondong-bondong datang dari tempat
mereka yang jauh untuk bisa bertemu dengannya di tempat-tempat perhentian
kereta yang ditumpanginya. Mereka berharap ia bisa memberikan saran atau nasihat untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit yang mereka derita, yang tidak bisa diobati dokter lain. Selama berjam-jam John mendengarkan dan menulis
resep obat. Ia memberikan diagnosa dan
petunjuknya dengan cepat tepat dalam suara yang penuh wibawa seorang ahli yang
sangat berpengalaman.
Seorang janda berdiri di hadapannya, berusia
sekitar 30 tahun tetapi kemiskinan dan kerja keras membuatnya nampak seperti
berusia 50 tahun. John tahu bahwa wanita
ini membutuhkan air daging yang bergizi dan istirahat malam hari, tetapi John
juga sadar wanita tersebut tidak mampu mendapatkan keduanya. Akhirnya ia menulis resep untuk wanita ini
dan mengambil tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalamnya, “..bawalah
kotak ini pulang...” katanya pada wanita itu.
“..ada obat di dalamnya yang bisa membantu
penyakitmu. Ikuti dengan baik petunjuk-petunjuk yang saya tulis di dalamnya..”
katanya sambil tersenyum dengan sukacita tersembunyi. Ketika wanita itu membuka kotak tersebut, ia
menemukan bahwa di dalamnya tidak hanya ada resep tetapi juga sejumlah uang
untuk membeli makanan yang dibutuhkannya. Melihat John tersenyum, wanita itu balas tersenyum juga.
“Terima kasih, dokter...” harapannya bersinar di
wajahnya.
Kasus berikut yang dihadapinya adalah seorang gadis
istimewa namun menyedihkan. Ayahnya
membopong tubuhnya yang ringkih dan Fothergill bisa melihat kemiskinan mereka
dari pakaian sang ayah dan tulang belulang sang anak. Gadis itu memandangnya dengan ketakutan.
“..apakah aku akan mati..??..” bisiknya. Fothergill memegang tangannya dan
menggoyang-goyangnya dengan sangat lembut sebelum ia mengangkat kelopak
matanya. Sebenarnya ia tidak perlu
memeriksa gadis itu sebab hanya dengan sekali lihat baginya kasus gadis
tersebut sudah jelas. Ia menderita TBC
yang diperburuk oleh anemia. Gadis ini
membutuhkan sinar matahari, istirahat, dan udara laut. Mempelajari tanda-tanda yang terdapat
ditangannya jelas Fothergill melihat gadis ini pernah mengalami
pendarahan. “Kapan para dokter berhenti
melakukan tindakan bodoh ini..?” pikirnya. Seorang dokter seharusnya mendukung
kondisi tubuh agar bertahan hidup bukannya melemahkan daya tahannya melalui treatments yang ketinggalan zaman dan
tidak berguna. Ya, masalah si gadis sudah jelas. Jika Fothergill memeriksanya lebih dalam lagi
dari yang dibutuhkan maka ia harus memikirkan dalih yang cukup masuk diakal
untuk membantu keluarga ini tanpa harus menyinggung harga diri sang ayah. Dan
ia melakukannya. Fothergill mendekati pria tersebut dan berbicara di telinganya
dengan suara pelan “..ini merupakan sebuah kasus yang menarik.. bagi saya suatu
kesempatan yang sangat berharga bahwa saya bisa memeriksa putri Anda. Jadi saya
berhutang pada Anda...terimalah ini sebagai penghargaan saya atas kesempatan ini..”
katanya sambil meletakkan lima poundsterling ke dalam tangan pria itu, sambil
ia menuliskan petunjuk-petunjuk untuk tindakan yang diperlukan anaknya. Ia
mengingatkan agar jangan ada lagi tindakan yang mengakibatkan pendarahan.
Sore pun
menjelang, beberapa pasien mulai bertengkar sementara yang lain ada yang tidak
bisa mengerti petunjuk yang diberikan sekalipun secara sederhana. Dalam tiap kasus Fothergill mengulang
nasihatnya dengan sabar, terkadang sampai 2-3 kali hingga ia yakin pasiennya
sudah mengerti. Sangat sedikit yang
menawarkan bayaran yang sedikit. Ia menolaknya secara halus dengan berkata
“..Saya tidak pernah menerima bayaran pada saat sedang liburan...”.
Pada akhirnya ia bisa melanjutkan perjalanannya
dengan kereta berikutnya. Ia sangat
senang ketika tiba di Lea Hall. Di
tempat ini setidaknya ia berharap bisa menikmati kedamaian, kecuali satu hari dalam seminggu ia berdarmawisata ke
Middlewich untuk mengadakan pengobatan gratis bagi para pasien miskin.
Kala malam tiba, Fothergill beristirahat, namun di
bawah wig medis putihnya yang rapi pikirannya mengembara. Koloni-koloni di
Amerika akan segera berperang dengan Inggris. Memalukan bahwa pemerintah tidak mendengarkan nasihatnya untuk menjaga
perdamaian di saat hal itu masih mungkin. Orang-orang baik di kedua tepian laut Atlantik mengharapkan hal itu,
mereka seperti Benjamin Franklin dan dirinya yang dipersatukan dalam the Society of Friends yang lebih dikenal sebagai
The Quakers. Akankah perang menghentikan pasokan
tanaman-tanaman dan belukar eksotik yang sangat diharapkannya dikirim kepadanya
oleh John Bartram?
Botani merupakan satu-satunya bidang yang menarik
baginya setelah kedokteran. Bidang lain
yang juga menarik baginya adalah penelitian dari Benjamin Franklin tentang
listrik. Fothergill masih merasakan
suatu kesenangan tersendiri untuk peran yang dia mainkan dalam menuliskan harga
pada tiap terbitan dari penelitian-penelitian tersebut. Karena itu Royal Society memasukkan Franklin
sebagai anggota. Sekarang bahkan para
ilmuwan membuat replika dan memperluas penemuan-penemuan dari Franklin.
Ia akan menulis karya-karya Franklin lagi. Mungkin ia dan Franklin belum menemukan
rumusan yang tepat untuk memperdamaikan Inggris dengan koloni-koloninya. Baik
sekali kalau mereka bisa saling bertemu lagi. Betapa banyak hal yang mereka temukan dari hasil diskusi mereka saat Franklin
berkunjung terakhir kali, yang antara lain tentang penataan kembali penjara, abolisi, perpustakaan, dan metode terbaik
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, pendidikan generasi muda, peningkatan
standar medis. Fothergill menceritakan
tentang kekecewaannya terhadap pihak berwenang di London yang tidak mau membuka
jalan baru untuk memungkinkan akses ke dalam kota seperti yang dilakukan
pemerintah Philadelphia, kampung halaman sahabat karibnya ini.
Secara terbuka Franklin berbicara tentang
Fothergill “..Saya bisa benar-benar yakin bahwa seorang yang lebih baik telah
hadir..” Franklin juga menambahkan
bahwa Fothergill pantas menerima “penghargaan dan penghormatan dari semua manusia”. Mungkin hati Franklin terbakar dengan
kemarahan, atas nama teman dokternya, karena pelecehan terhadap reputasi dan
wawasan Fothergill yang tinggi dimana Fothergill ditolak oleh Royal College of
Physicians untuk menjadi anggotanya hanya karena ia bukan lulusan dari Oxford atau
Cambridge. Kecemburuan profesional yang menjadi dasar penolakan tersebut. Fothergill mengambil gelarnya di sekolah
medis yang baru di Edinburg. Fakultas
kedokteran Edinburg seluruhnya beranggotakan dokter-dokter yang diajar oleh
sang dokter Belanda yang terkenal, Hermann
Boerhaave, yang membantu
menghancurkan kungkungan kebodohan dunia medis yang kejam selama berabad-abad.
Bila kebiasaan pelayanan bedside Fothergill dipelajarinya dari Boerhaave, maka keahliannya
dalam hal penyakit diperolehnya dari Thomas
Sydenham. Sama halnya seperti dokter-dokter Inggris yang terkenal di abad
sebelumnya, Fothergill mengisolasi dan mendeskripsikan penyakit, menulis
laporan mengenai neuralgia ( a tic), megrim, scarlatina dan metal
poisoning.
Pengucilan Fothergill dari Royal College of
Physicians tidak membuatnya menurunkan standar profesi medisnya yang
tinggi. Teman-teman medisnya sendiri
merupakan orang-orang dengan cap tertinggi, seperti Thomas Dimsdale seorang Pencacar
(vaccinator) yang terkenal dengan
virus cacar yang masih hidup, serta John
Coakley Lettsom pendiri London Medical Society. Mereka inilah para
Quakers. Mereka bersama-sama menikmati
rasa percaya diri Fothergill yang terdalam juga respeknya dan sering
berkorespondensi dengannya.
Seorang Quaker, lulusan dari Edinburg, tidak turut
mengambil bagian dalam kemuliaan Fothergill. Samuel Leeds adalah seorang “buta huruf” yang bebal yang melanjutkan
praktek medis yang membahayakan pasien dan Fothergill jelas menentangnya. Leed membawa kasus ini ke suatu pengadilan
terhadap Quaker. Jelas tidak ada standar
hukum untuk mngadili kasus seperti ini.
Komite ini, yang buta soal dunia medis, melihat secara langsung kepada
pandangan bahwa Fothergill adalah orang yang suka memaksa. Mereka memerintahkan Fothergill untuk
membayar 500 poundsterling. Sejak
mudanya Fothergill sudah mengikuti kehendak Tuhan dengan setia. Menghadapi
masalah tersebut ia memutuskan untuk menolak membayar. Kehidupannya terancam
oleh praktek perdukunan Leeds. Leeds berupaya
membawanya ke pengadilan. Untuk
melindungi dirinya sendiri Fothergill
masuk dalam suatu pembelaan.
Teman-temannya para Quaker pikir ini pasti suatu kesalahan karena
seorang kristen akan pergi ke pengadilan melawan orang kristen lainnya. Setelan berbulan-bulan bertengkar, yang
menyebabkan Fothergill sangat tertekan, akhirnya kasus tersebut
diputuskan. Hakim memutuskan bahwa
Fothergill sesungguhnya hanya mengerjakan tugasnya. Leeds meninggal setahun kemudian dalam
keadaan yang jatuh miskin. Segala
kebutuhannya sebelum itu disediakan oleh seorang tak dikenal. Dan tersebar kabar bahwa itu merupakan
perbuatan baik Fothergill yang dilakukannya secara diam-diam.
Fothergill merupakan seorang anggota jemaat yang
aktif dari gerejanya. Dalam figur seorang pemimpin perkumpulan Quaker, ia
bekerja untuk memulihkan kemurnian dari
Quaker Society. Sebagaimana yang
dituliskannya kepada seorang ahli kimia yang terkenal, Joseph Priestly, yang
sering dibantunya dari segi keuangan: “..harapanku yang paling dalam adalah
bahwa semua profesor kekristenan lebih tekun dan bersungguh-sungguh menjalani
kehidupan mereka sebagai orang kristen...”.
Menurut definisi Fothergill, seorang kristen
adalah seseorang yang melayani sesamanya. Oleh karena itu ia aktif membentuk sebuah perkumpulan dalam rangka
memperkenalkan metode yang kemudian kita kenal sebagai first-aid
resuscitation. Secara aktif ia
mengadakan pendekatan pada pihak berwenang untuk program pelebaran jalan dan
pembuatana jalan baru. Ketika John
Woolman, seorang Quaker abolitionist (anggota gerakan penghapusan) yang cermat,
mengunjungi Inggris, Fothergill menerimanya dan ia mendapakan dukungannya. John Woolman memberikan masukan tentang sebuah
sistem yang lebih baik mengenai pencatatan statistik yang vital, dengan kasus
khusus dalam hal pencatatan kasus kematian. Menyadari pentingnya pendidikan, dengan senang hati ia mendanai sebuah
sekolah Quaker yang kemudian dilaporkannya mempunyai 150 orang murid laki-laki
dan 80 orang murid perempuan. Ia yang
mendukung biaya studi seorang sarjana yang miskin bernama Anthony Purver, yang
kemudian menterjemahkan Alkitab dengan lebih akurat.
Setelah menjalani kehidupan yang sehat dan bebas
dari minuman keras Fothergill menderita kanker prostat yang mematikan. Mendekati ajalnya ia banyak menghabiskan
waktunya bersama sahabat karibnya, David Barclay seorang teolog Quaker. Barclay berkata bahwa Fothergill sangat tenang
menghadapi masa-masa akhir hidupya, karena ia menyadari bahwa kehidupan yang
dijalaninya tidak sia-sia karena ia banyak menolong sesamanya.
Kepada saudara perempuannya yang terkasih, Ann,
yang bersama dengan dia, Fothergill berkata “..Bergembiralah..jangan menahan
saya..Saya sedang ragu apakah akan baik-baik saja bagi saya, tetapi sekarang
saya puas diatas keraguan itu..diatas keraguan, bahwa saya akan merasa senang
selamanya. Kesukaran-kesukaranku sudah
berakhir karena itu bergembiralah..dan kiranya engkau diberkati saat ini dan dalam
kekekalan..” Kehidupannya selama dua minggu terakhir
dijalaninya dengan penuh penderitaan dan ia meninggal setelah natal tahun
1780.
Jika ada seseorang yang mempraktekan keduanya,
iman dan medis maka orang itu adalah
Fothergill.
Sumber:
Diterjemahkan dari buku "Doctors Who Follow Christ, Thirty-two Biographies of Eminent Physiciand & Their Christian Faith(Dan Graves, Grand Rapids-USA: Kregel Publications,1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar