“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” (Efesus 2:10)
Bekerja adalah kodrat manusia. Allah menciptakan manusia dengan tugas
menaklukkan dan menguasai dunia ini bagi Dia (Kej. 1:26). Manusia pertama, Adam
mendapat tugas mengolah dan memelihara Taman Eden serta menamai
binatang-binatang yang Tuhan tempatkan di sana (Kej. 2:15, 19-20).
Seberapa susah dan beratkah pekerjaan yang menjadi
kewajiban manusia pertama? Pekerjaannya mungkin tidak terlalu berat karena
semua masih dalam keadaan harmonis dan asri: alam bersahabat dan binatang pun
jinak. Namun, tanggung jawab manusia pertama besar. Kuasa yang diberikan Allah
kepadanya besar maka pertanggungjawabannya juga besar.
Setelah pasangan manusia pertama jatuh ke dalam
dosa, tugas mereka tidak berubah dan pertanggungjawaban mereka tetap sama.
Hanya saja sekarang pelaksanaan menjadi bertambah berat karena dunia tidak lagi
harmonis. Alam menumbuhkan semak duri yang mengganggu upaya bercocok tanam.
Sesama manusia tidak lagi menjadi rekan kerja yang seirama dan serasi melainkan
pesaing dan penghambat karir. Kasus seperti Kain membunuh Habil dan Lamekh
membunuh seseorang merupakan kasus yang berkembang seiring dengan berkembangnya
masyarakat dan kebudayaan.
Setelah air bah, Allah dalam anugerah-Nya
menetapkan Nuh dan keluarganya untuk membangun kembali melalui pekerjaan mereka
dunia yang telah diperbarui (Kej. 9:1, 7). Mereka tetap gambar Allah yang
dipanggil untuk menaklukkan dan menguasai dunia ini bagi kemuliaan Allah (Ay.
6). Bekerja adalah panggilan untuk mewujudkan hal tersebut.
Pekerjaan Menara Babel.
Dalam keberdosaannya manusia memilih untuk mengarahkan hidup mereka melawan
rencana dan panggilan Allah dengan mendirikan menara Babel (Kej. 11:1-4). Kerja
bagi mereka adalah sarana untuk mencapai kemandirian dan kebebasan dari Sang
Pencipta mereka. Hal ini menjadi tipikal dunia bekerja sampai pada zaman
sekarang. Bagi mereka keberhasilan berarti lepas diri dari otoritas Allah dan
menikmati hidup ini tanpa bayang-bayang kendali dari pihak lain.
Segera kita dapat melihat bahwa semua cita-cita
atau idealisme seperti itu adalah omong kosong. Pertama, Allah yang
berdaulat tidak membiarkan manusia melangkah keluar dari kodratnya dan bebas
dari konsekuensinya. Dalam kisah menara Babel, Allah mengintervensi upaya
arogansi manusia tersebut dan mengacaukan bahasa mereka sehingga mereka dipaksa
untuk berpencar ke penjuru dunia (Kej. 11:8-9). Dengan demikian, mereka secara
terpaksa menggenapi rencana Allah agar manusia memenuhi bumi ini.
Kedua, kenyataan mereka bisa mencapai satu titik
keberhasilan tidak akan menjamin mereka akan menikmati keberhasilan itu. Itu
yang dikatakan oleh Kitab Pengkhotbah. Pengalaman hidup yang dituliskan Si
Pengkhotbah nyata dan jelas menunjuk kepada kesia-siaan hidup. Semua
keberhasilan yang bisa dipikirkan dan yang telah dicapai oleh manusia tidak
menjamin hidup menjadi berarti dan memuaskan (Pengkh. 2). Dengan kata lain
kemandirian dan kebebasan dari Allah tidak membuat manusia menikmati hidup
sebagaimana Allah telah menggariskannya bagi mereka. Alhasil, tujuan hidup
mereka tidak tercapai.
Pekerjaan Menara Babel yang sampai masa kini tetap
menjadi filosofi hidup di luar Tuhan bisa mengambil bentuk yang berbeda, namun
esensinya sama. Salah satu contoh, dunia modern mengenal bekerja sebagai sarana
aktualisasi diri. Manusia menemukan arti hidupnya dengan bekerja. Manusia
merasa dengan bekerja ia mampu mengendalikan hidup. Ia bebas memilih pekerjaan,
karir, profesi, dan sebagainya. Tidak jarang hal kerja menjadi satu-satunya aspek yang
ditekuninya mati-matian dengan mengabaikan aspek-aspek lain dari kehidupannya
yang sebenarnya membutuhkan perhatian. Ada pula orang lain yang memilih untuk
mencengkeram sebanyak-banyaknya peran dalam hidup ini dengan alasan yang sama,
yaitu mengendalikan hidup. Semua aspek kehidupan ia coba kendalikan dan
taklukkan di bawah egonya yang besar. Pada dasarnya ia dikendalikan oleh
perasaan tidak aman bila tidak mampu mengendalikan hidup ini. Ini salah satu
jenis perbudakan yang paling menyedihkan: menyangka diri mengendalikan hidup,
tetapi sebenarnya dikendalikan oleh kebutuhan mengendalikan itu sendiri!
Pekerjaan Menara Babel tidak lebih daripada
perbudakan dosa. Manusia merasa harus bekerja untuk mengendalikan hidupnya.
Sebenarnya kendali hidup mereka bukan pada mereka, melainkan pada kuasa dosa
yang membuat manusia tidak mampu melihat ke luar dirinya dan mengenali
kodratnya sebagai ciptaan; bahwa kendali hidup ada pada Allah. Itu pula yang
dikatakan oleh Paulus pada perikop sebelum nas kita. “Kamu dahulu sudah mati
karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya karena
kamu menaati penguasa kerajaan angkasa… di dalam hawa nafsu daging dan menuruti
kehendak daging dan pikiran …jahat.” (Ef. 2:1-3). Pekerjaan Menara Babel
adalah pekerjaan daging.
Pekerjaan
Kristus bagi kita
Oleh rahmat-Nya kita dihidupkan kembali dari kematian rohani itu, sehingga
kita menjadi manusia baru (Ef. 2:4-5). Kristus berkarya melalui kematian dan
kebangkitan-Nya untuk melepaskan kita dari belenggu dosa. Dengan demikian,
hidup kita tidak lagi diperbudak oleh Iblis, keinginan dunia, dan hawa nafsu
kedagingan, melainkan telah menjadi milik Kristus. Demikian juga, Kristus
sebagai gambar Allah yang sempurna telah meninggalkan teladan hidup,
pengajaran, dan pelayanan-Nya sehingga kita memiliki panutan sempurna menjalani
hidup sebagai gambar Allah yang sudah diperbarui.
Jadi, karya Kristus bagi kita bersifat memberikan
kuasa hidup baru dalam diri kita untuk hidup suci dan berkenan kepada Allah,
sekaligus memberikan contoh yang dapat kita terapkan tentang bagaimana
menjalani hidup suci tersebut. Pekerjaan Kristus bagi kita memampukan kita
menjalani hidup ini dengan melakukan perbuatan baik yang Allah rencanakan dalam
hidup kita.
Pekerjaan baik
orang Kristen
Penebusan Kristus bagi kita adalah dalam rangka mengembalikan kita kepada
maksud dan tujuan Allah yang semula bagi manusia ciptaan-Nya. “…diciptakan
dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah
sebelumnya.” Secara umum pekerjaan baik itu adalah menjadi representatif
Allah di dalam dunia ini sebagaimana tujuan Allah menjadikan manusia sebagai
gambar-Nya. Oleh karena itu, setiap anak Tuhan harus menjadikan pekerjaan baik
sebagai tujuan hidupnya selama di dunia ini. Sekaligus, pekerjaan baik itu
menjadi standar untuk menilai segala pekerjaan yang akan, sudah, dan sedang
kita lakukan.
Bagaimana menilai pekerjaan kita berdasarkan
pekerjaan baik itu? Beberapa hal yang harus diingat adalah: pertama,
pekerjaan kita dinilai bukan semata-mata dari hasil akhirnya, tetapi terutama
dari motivasi yang mendorongnya dan dari prosesnya. Motivasi untuk memuliakan
Allah dan menyejahterakan orang lain serta proses bekerja yang sesuai dengan
karakter Allah harus selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari hasil akhir
yang akan dicapai (1Kor.3:5, 10-13). Hasil akhir dinilai baik bukan hanya
karena prestasi kuantitatifnya tetapi juga prestasi kualitatifnya, yaitu
nilai-nilai yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut.
Kedua, pekerjaan dinilai baik dari relasi-relasi yang
terkait di dalamnya. Pekerjaan baik Kristus untuk manusia terjadi didorong oleh
relasi Kristus kepada Allah Bapa. Kristus taat kepada Bapa untuk melaksanakan
kehendak-Nya, yaitu mengurbankan diri-Nya demi menyelamatkan manusia. Akibat
perbuatan baik Kristus kepada manusia, relasi manusia dengan Allah dipulihkan.
Demikian juga pekerjaan kita dinilai baik dari relasi-relasi yang memotivasi
pekerjaan itu (Yoh. 15:13-15) dan relasi-relasi yang kita hasilkan melaluinya.
Pekerjaan yang dilakukan karena dorongan kasih, untuk kesejahteraan lebih
banyak orang, didasarkan loyalitas pada pimpinan, tanggungjawab untuk
menyejahterakan keluarga, dan seterusnya adalah pekerjaan baik! Demikian juga ketika
pekerjaan itu menghasilkan atau memulihkan relasi-relasi di sekitar kita,
misalnya para karyawan menjadi semakin senang bekerja dan bekerja sama dengan
pihak pimpinan perusahaan, atau keluarga kita menjadi lebih diperhatikan
daripada sebelumnya; itu adalah hasil dari pekerjaan baik kita!
Bob Buford dalam bukunya Halftime (Cipta Olah Pustaka, 2000)
mengatakan ada dua masa di dalam seseorang melakukan pekerjaannya. Paruh waktu
pertama ditandai dengan pengejaran kesuksesan (apa pun itu bentuknya: kekayaan,
kekuasaan, kepuasan, dst.). Namun, mendekati usia separuh baya (sekitar 40-an),
yaitu waktu paruhnya, orang mulai merenungkan apa yang ia sudah lakukan.
Memasuki paruh waktu kedua ia mulai mencari signifikansi (keberartian) dari
pekerjaannya: apa makna bekerja bagi saya; apa tujuan mulia saya bekerja; dan seterusnya.
Kita tidak perlu menunggu sampai usia menjelang
40-an untuk mencapai waktu paruh kita. Setiap kita harus dan segera
merefleksikan apa yang tengah kita lakukan. Apakah kita sedang terjebak kepada
tujuan hidup ‘sukses’ menurut ukuran dunia, atau kita sedang memaknai hidup
sebagaimana yang Allah inginkan.
___________________________________________________________________
Oleh: Hans Wuysang
Dalam: Majalah Samaritan Edisi 2 Tahun 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar