“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga” (Matius 5:3)
Dengan mata berbinar-binar disertai rasa bangga,
seorang aktivis gereja bersaksi di depan saya bahwa di dalam downline
usaha sejenis multi level marketing-nya terdapat seorang dokter yang
punya rumah dan penghasilan lumayan besar karena dari usaha sampingan itu.
Dokter itu kini tak lagi berpraktik sesuai dengan profesinya yang mulia. Dari hard
working ia beralih kepada smart working, begitu kata sebagian orang.
Dalam pikiran saya, mungkin dokter itu dulu salah
menentukan pilihan jurusan studi sehingga ia telanjur sudah membuang banyak
waktu dan uang dengan memasuki fakultas kedokteran yang sulit dan mahal. Namun
bila itu adalah jurusan studi sesuai pilihan hatinya, betapa tidak relevannya
sapaan bahagia Yesus, apalagi di dalam masyarakat yang menganut pemeo “Uang
adalah kuasa” atau, lebih seram lagi, “Ketika uang bicara, Tuhan pun
mendengar.”
Orang awam mana yang mau menjadi tak berdaya atau
menjadi obyek eksploitasi, hanya agar disayang Tuhan? Dalam semangat zaman
konsumerisme di mana kita diukur dari apa yang kita pakai mulai dari pakaian
hingga kendaraan dan itu semua ada nilainya dalam rupiah, kemiskinan tampaknya
tidak cocok sebagai sebuah gaya hidup modern.
Radikalitas Kristen
Panggilan hidup menjadi Kristen bersifat radikal.
Ketika masyarakat mengukur sukses lewat kekayaan, Tuhan justru menegaskan bahwa
kekayaan bukan andalan hidup untuk jangka panjang. Untuk jangka panjang,
dibutuhkan lebih daripada itu. Namun, radikal bukan berarti aneh. Apalagi,
fundamentalis. Radikal berarti mengikut Yesus tidak bisa setengah-setengah.
Kecenderungan pragmatis manusia adalah mau surga
juga mau kaya. Tetapi, bukannya omong kosong ketika Yesus berkata kepada
murid-murid-Nya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang
kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu,
lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk
ke dalam Kerajaan Allah” (Mat. 19:23-24).
Radikalitas panggilan hidup sebagai Kristen
didasari pada realitas hidup dan pada level realitas yang lebih dalam. Kita
datang ke dalam dunia dan meninggalkannya tanpa apa-apa. Dalam kesadaran
tentang siapa diri kita sebenarnya itulah seharusnya kita hidup. Sudah
sepantasnya, selama hidup di dunia kita bersandar penuh pada Tuhan. Itulah
sebuah cara hidup yang mendatangkan kebahagiaan.
Di mana-mana orang sebenarnya mengejar
kebahagiaan. Dari kodratnya, manusia mempertanyakan arti hidupnya. Bahkan,
orang yang berhasrat mau cepat mati sebenarnya sedang merasa lebih baik mati
daripada hidup; sejelek-jeleknya mati, setidaknya itu akan melepaskannya dari
sebuah keadaan yang menyusahkannya dan tidak membuatnya bahagia.
Tetapi mengherankan, tak satu kali pun ada
perintah Tuhan di dalam Alkitab agar kita mengejar kebahagiaan, meski banyak
sekali perintah-perintah lain. Bukan karena Tuhan tidak peduli apakah manusia
bahagia atau tidak, tetapi memang kebahagiaan bukan sesuatu bisa diperoleh
karena dikejar. Kebahagiaan bukan benda yang ditemukan dan kemudian bisa
disimpan.
Persis, di sini orang sering salah dalam
membayangkan kebahagiaan. Orang mengejar kekayaan dan berpikir untuk bahagia.
Padahal, setelah menjadi kaya, orang tidak otomatis menjadi bahagia. Istri dari
suami yang begitu rajin mencari uang hingga tak ada waktu cukup untuk keluarga
bisa merenung di rumah, “Aku menikah dengan kekayaan atau dengan suamiku?”
Kebahagiaan
Kebahagiaan adalah sebuah kondisi
hidup. Hal-hal yang membahagiakan biasanya datang lewat suatu pengorbanan,
bukan karena dikejar. Lebih tepat sebenarnya orang tidak mengejar kebahagiaan
tetapi menikmatinya. Kebahagiaan untuk dinikmati. Dan, ia datang sebagai buah
pengorbanan, kerja keras, keringat. Maka, berhadapan dengan tantangan hidup,
meski bisa lari, sebaiknya kita menghadapinya sambil bersandar pada Tuhan.
Itu sebabnya salah satu kondisi hidup yang membawa
kebahagiaan adalah miskin di hadapan Allah. Orang miskin pada masa Yesus
termasuk kelompok papa, yang untuk melalui hidupnya hari demi hari tak ada
jaminan untuk hari esok. Tidak hanya miskin harta, mereka juga miskin kuasa, tanpa
akses untuk mempengaruhi penguasa dan pengambil keputusan. Orang miskin juga
kurang beragama, tidak tahu detail peraturan agama, sering melanggar ritual
agama, kurang ketat memelihara hukum-hukum agama, kurang rajin sembahyang,
tidak saleh.
Kalau begitu, mengapa orang miskin disayang Tuhan?
Apakah ini glorifikasi kemiskinan? Apakah ini sebuah penghiburan kosong bagi
orang tak punya? Alkitab tak pernah menyatakan menjadi miskin dan tetap hidup
miskin adalah keadaan yang baik. Kemiskinan tak pernah dipuja-puja sebagai
sebuah idealisme hidup sebab kemiskinan bisa membuat orang mencuri dan
mencemarkan nama Tuhan (Ams. 30:8-9).
Banyak tokoh iman dalam Alkitab tergolong orang
berada pada masanya, sebut saja Abraham dan Ayub. Tuhan tidak mengutak-utik
kemakmuran mereka. Sekali lagi, yang terutama bukan soal kaya atau miskin,
tetapi orang miskin lebih mempunyai sikap pasrah sebab tak ada sesuatu lain
yang bisa diandalkan. Miskin harta dan koneksi, mereka lebih mudah bersandar
pada Tuhan dalam arti sebenarnya. Kerajaan Surga menjadi milik orang yang tahu
menggantungkan hidup sepenuhnya pada Tuhan. Memperoleh Kerajaan Surga bukan
dengan harta duniawi yang fana, tetapi dengan kebergantungan mutlak pada Tuhan.
Untuk itu, di hadapan Tuhan memang bukan miskin
secara lahiriah yang menentukan segala-galanya, tetapi sikap hati seperti orang
miskin. Mampu mensyukuri nikmat harta yang ada. Sadar bahwa kekayaan kita
adalah titipan Tuhan kepada kita untuk kebahagiaan kita dan untuk kelancaran
kita dalam bekerja, agar kemudian kita mampu membahagiakan orang lain. Uang,
rumah, mobil, deposito, semua itu dibutuhkan selama hidup di dunia, namun
sifatnya fana. Hari ini milik kita, besok bisa melayang pindah tangan atau
rusak. Kita tidak tahu berapa lama kita boleh memilikinya. Yang penting, selama
masih pada kita, jangan sampai harta itu membutakan penglihatan kita bahwa
Tuhanlah penentu kesejahteraan kita.
Hidup adalah pertarungan antara idealisme dan
pragmatisme. Dan, pertarungan itu tak pernah berakhir. Bisa saja konsumerisme
mengalahkan idealisme, drive untuk menjadi kaya dengan cara mudah
mengalahkan kepentingan menikmati kebersamaan dalam keluarga. Kalah menang
memang biasa. Tetapi, ada kekalahan yang ongkos sosial atau rohaninya amat
besar. Orang arif tak akan membiarkan kekalahan demikian.
_____________________________________________________
Penulis: Yonky Karman
Dalam Majalah Samaritan Edisi I Tahun 2005
1 komentar:
Sangaaaaat memberkati 😍
Posting Komentar